Selasa, November 18, 2008

Pilih Mana, KUHP atau UU Pokok Pers?

Beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh, pernah mengatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan revisi terhadap Undang-Undang Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Menurutnya, dalam konsep rancangannya tak ada pasal yang menyebut pembredelan. Bahwa kebebasan pers itu harus dikawal. Makanya, kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab.

Sementara itu, dalam berbagai kesempatan, penolakan terhadap revisi UU Pokok Pers juga tak kalah gencarnya. Berbagai seminar yang pernah diadakan di Semarang dan Jakarta mengarah pada upaya penolakan itu. Bahkan ketika saya mengikuti acara “Konferensi dan Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnalisme di Indonesia: Tantangan dan Kompetensi” di Yogyakarta tahun 2007 usaha untuk mempengaruhi peserta agar menolak revisi UU Pokok Pers tidak kalah kuatnya.

Yang menjadi permasalahan kita adalah mengapa pemerintan bersikeras untuk melakukan revisi UU Pokok Pers? Mengapa pula kalangan pers menolak revisi UU tersebut? Apa yang perlu dilakukan kaitannya dengan pro dan kontra soal itu?

Kalangan yang menganggap bahwa UU Pokok Pers harus direvisi adalah; (1) pers saat ini sudah dianggap melanggar prinsip kebebasan pers, (2) munculnya pornografi dan pornoaksi yang tak terkendali, (3) media terlalu mencampuri urusan privat seseorang, (4) pers telah ikut menyulut konflik antar etnis.

Sementara itu, kekhawatiran kalangan pers adalah; (1) pers curiga, evisi itu hanya akal-akalan pemerintah untuk mengontrol pers, (2) UU Pokok Pers selama ini sudah menjamin kebebasan mendapatkan dan menyiarkan informasi.

Antara KUHP dan UU Pokok Pers
Satu persoalan rumit yang menyertai UU Pokok Pers adalah aplikasinya. Ternyata, UU Pokok Pers seringkali tidak dipakai untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa berita pers. Tidak jarang, kasus yang berkait dengan pemberitaan diselesaikan dengan KUHP. Sementara itu, ada kasus lain yang diselesaikan dengan UU Pokok Pers. Jadi sudah terkesan plin-plan dalam penerapannya. Kasus majalah Play Boy Vs FPI diselesaikan dengan UU Pokok Pers, sementara kasus Tomy Winata Vs Majalah Tempo diselesaikan dengan KUHP.

Kita bisa ambil contoh kasus Tomy Winata melawan majalah Tempo. Majalah berita Mingguan Berita Tempo edisi 3-9 Maret 2003 di halaman 31 memuat tulisan berjudul “Ada Tomy di Tenabang?”. Berita tersebut berkaitan dengan peristiwa kebakaran di Pasar Tanah Abang pada tanggal 19 Februari 2003. Majalah Tempo melakukan investigasi dan menemukan rumor bahwa kebakaran ini disengaja terkait dengan rencana Pemerintah daerah jakarta untuk membangun kembali menjadi pasar yang lebih modern. Rumor itu kemudian dikaitkan dengan nama Tomy Winata (pengusaha dan pemilik Bank Artha Graha).
Atas pemberitaan itu, Tomy melalui pengacaranya mengajukan tuntutan perdata maupun pidana terhadap Tempo. Pemberitaan ini dianggap mencermarkan nama baik Tomy Winata.

Tempo dituduh telah melanggar KUHP dengan mengajukan tuntutan 100 milyar sebagai kerugian material dan 100 milyar pula sebaga kerugian immaterial. Tidak itu saja, tergugat diwajibkan melakukan permohonan maaf secara terbuka kepada penggugat melalui media elektronik maupun cetak.

Disinilah kemudian terjadi silang pendapat. Pihak Tomy memakai KUHP sebagai dasar pijakan gugatan, sementara pihak tergugat memakai UU Pokok Pers sebagai dasar alasan menjawab penggugat. Tergugat mengungkapkan, berdasarkan UU Pokok Pers no. 40 tahun 1999, apabila ada pihak yang merasa dirugikan harus menggunakan mekanisme UU itu yakni menggunakan hak jawab (Pasal 1 ayat 11) dan/atau dengan cara melaporkan pers tersebut ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat 2 butir d).

Kasus tersebut juga hampir sama dengan Tomy melawan Koran Tempo. Koran Tempo edisi 6 Februari 2003 memuat tulisan berjudul “Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi”. Di dalam berita tersebut termuat juga berita kecil dan diberikan box dengan judul “Dari Edi Tansil Sampai Zarima”. Tomy Winata merasa dicemarkan nama baiknya. Kasus ini dilaporkan dengan memakai KUHPerdata yakni pelanggaran pasal 1365 KUHP dan 1372 KUHPerdata. Pihak tergugat menggunakan UU Pokok Pers sebagai dasar hukum pembelaannya.

Lepas dari siapa yang menang atau kalah, dua kasus di atas memperlihatkan pada kita betapa ada ketumpangtindihan antara masuk wilayah KUHP/Perdata atau wilayah UU Pokok Pers berkaitan dengan kasus pemberitaan pers. Memang, pers tetap harus dihukum jika memang punya kesalahan. Dimanapun pers jika terbukti bersalah layak dihakimi dan diberikan sanksi. Pers bukan lembaga yang bebas dari kesalahan karenanya bebas pula dari segala hukuman. Namun yang menjadi permasalahannya adalah, penggunaan aturan sebagai dasar pemutusan perkara masih simpang siur. Pers, merasa setiap kasus harus diselesaikan UU Pokok Pers, sementara pihak di luar pers mengatakan bahwa pers juga bisa dihakimi dengan KUHP/Perdata jika sudah menyangkut pidana atau perdata.

Dasar Hukum Tepat
Ada benang merah yang bisa ditarik dari pro kontra revisi UU Pokok Pers, pertama, kebebasan pers memang harus dijamin di dalam sebuah negara. Hanya dengan kebebasan pers, pemerintahan bisa berjalan lebih demokratis. Karenanya, kebebasan pers harus dijamin oleh Undang-Undang.

Kedua, pers adalah lembaga di bawah negara. Pers sama dengan manusia pada umumnya. Jika ia terbukti bersalah tak ada alasan untuk menghindar dan membenarkan segala tindakannya. Apa jadinya jika pers bertindak di luar kontrol hukum yang sudah ada di Indonesia. Masalahnya, acuan pelaksanaan hukum seringkali berat sebelah. Pers ingin segala persoalan yang menyangkut pemberitaannya diselesaikan dengan UU Pokok Pers. Sementara itu ada beberapa hal yang belum tersentuh UU Pokok Pers.

Di sinilah dibutuhkan saling pemahaman antara pihak yang setuju dengan yang tidak terkait dengan revisi UU Pokok Pers. Jadi, jangan sampai penyelesaian kasus pers diselesaikan dengan dasar hukum yang tidak tepat dan hanya sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak.

Comments :

0 comments to “Pilih Mana, KUHP atau UU Pokok Pers?”