Dua hal yang bertolak belakang tengah terjadi di Indonesia yakni, televisi berkembang dengan pesat sementara pendidikan belum berkembang, untuk tak mengatakan stagnan. Mengapa masyarakat kita lebih senang melihat televisi dan enggan untuk membaca buku, koran, majalah atau bentuk cetakan lain?
Oleh karena itu, asumsi yang diajukan dalam artikel ini adalah bahwa televisi menjadi salah satu penyebab rusaknya budaya baca di masyarakat. Jika diteruskan asumsi ini, bisa dikatakan bahwa usaha untuk mengentaskan “keterpurukan” masyarakat mau tidak mau akan mengalami keterlambatan jika budaya baca tidak bisa dipelihara.
Tentu saja, asumsi awal ini tidak bermaksud mengkerdilkan peran televisi dalam menciptakan kemajuan masyarakat. Tentunya, televisi bukan satu-satunya “kambing hitam” yang tertuduh. Tetapi, perkembangan televisi juga tidak akan lepas dari kekurangan yang melekat, salah satunya menurunnya budaya baca.
Perkembangan televisi telah menciptakan masyarakat budaya dengar dan lihat. Ini berarti, televisi sulit menciptakan budaya baca. Artinya, jika kita berbicara tentang budaya baca, maka televisi akan menjadi tertuduh. Perkembangan televisi telah mengantarkan masyarakat untuk terus memupuk budaya lihat dan bukan budaya baca.
Coba saja kita amati dalam sebuah keluarga. Sebuah keluarga akan menikmati televisi untuk hiburan. Bagaimana tidak, televisi bisa mempererat hubungan orang tua dengan anak atau antar saudara. Mereka bisa menikmati bersama di waktu malam hari setelah semua anggota keluarga itu berkumpul (anak sudah pulang sekolah, orang tua sudah pulang dari kerja).
Itu pulalah kenapa, acara-acara hiburan seperti sinetron biasa ditempatkan pada jam prime time (jam 7 sampai 9 malam). Jarang ada acara yang “serius” ditempatkan pada rentang jam ini. Ini pulalah kenapa jam ini harga spot iklan mencapai puluhan juta rupiah.
***
Dalam realitasnya, televisi itu memformat fungsi hiburan lebih besar dari pada fungsi-fungsi yang lain. Itu pulalah kenapa, televisi tidak akan diminati masyarakat kalau tidak bisa menghibur.
Kita bisa ambil contoh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada awal berdirinya. Bagaimana mungkin televisi itu mau hidup (padahal pemasukan untuk pengelolaan biasanya dari iklan) kalau hanya membuat acara-acara pendidikan? Siapa yang mau menonton acara pendidikan pada jam 8 padi sampai jam 12 siang? Guru mengajar di kelas, sementara anak-anak sekolah. Maka, TPI (pendidikan) berubah menjadi TPI (umum). AN-Teve awalnya hanya menampilkan musik untuk anak-anak muda, akhirnya harus menjadi televisi umum pula.
Televisi mana yang tidak tergiur dengan acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang memberikan keuntungan 1 milyar bersih untuk Indosiar sekali tayang hanya dari kiriman Short Message Service (SMS? Ini belum termasuk iklan. Maka, mewabahlah acara-acara model AFI. Sebut saja KDI (TPI), Indonesian Idol (RCTI), Kontes Cantik Indonesia (Trans TV), AFI Yunior (Indosiar), Polling Capres dan semacamnya yang menggunakan fasilitas SMS. Semua acara ini meletakkan fungsi hiburan dalam posisi yang paling tinggi.
Dampaknya kemudian menciptakan generasi instan. Menjadi bintang tidak perlu bertahun-tahun (belajar dari pengalaman, membaca buku pengetahuan), cukup lewat acara-acara seperti itu. Kondisi ini tentu saja akan membuat para remaja untuk berlomba-lomba menjadi “orang terkenal”, bukan lewat kecerdasan tetapi cukup bisa menyanyi, dan punya penampilan yang lumayan.
Apa dampaknya bagi masyarakat? Masyarakat kita tentu saja akan terbawa pada budaya-budaya instan akibat tayangan di televisi. Masyarakat kita tidak diarahkan untuk berpikir kritis. Padahal pemikiran kritis lebih banyak bisa diperoleh karena bacaan buku. Dengan kata lain, banyak menonton televisi akan mengurangi sikap kritis masyarakat.
Padahal sikap kritis dan kecerdasan sangat dibutuhkan dalam upaya untuk segera mengatasi multi krisis yang tengah melanda bangsa ini. Buku-buku “kiri” yang sempat menjadi popular, saat ini sudah “sekarat”. Disamping kebosanan masyarakat, saat ini buku-buku itu sudah tidak menjadi idola lagi. Justru buku-buku seks yang sedang menjadi idola. Maraknya buku seks ini secara langsung atau tidak berkait erat dengan keberadaan televisi.
Melihat kenyataan yang seperti itu, tak ada cara lain untuk menumbuhkan daya kritis kecuali dengan cara mengurangi menonton televisi. Tentu saja, menyalahkan televisi juga bukan tindakan yang bijaksana. Melarang masyarakat menonton televisi juga tidak kalah tak bijaksananya.
Namun, televisi adalah “cucu kandung” kapitalisme dunia. Kemunculannya sebuah keniscayaan yang sulit dihindari. Dia diciptakan apalagi kalau bukan mencari keuntungan.
Mengurangi menonton televisi ini penting mengingat televisi itu hanya memfungsikan hiburan dalam porsi yang kelewat besar. Bahkan seperti yang dikatakan William Stephenson, kodrat televisi itu adalah menghibur.
Dengan kata lain, masyarakat menikmati acara televisi karena menghibur. Maka, pihak televisi hanya mau membuat acara yang menghibur. Sebab, acara itulah yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Bahkan Neil Postman pernah berujar bahwa televisi itu menghibur diri sampai mati. Nah sekarang, sudah sanggupkan kita menekan untuk tak menonton televisi? Atau sudah siapkan kita mematikan televisi? Nyata bahwa televisi telah merusak budaya kita bukan sesuatu yang mengada-ada.
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Televisi, dan Runtuhnya Budaya Baca
Selasa, November 18, 2008
Televisi, dan Runtuhnya Budaya Baca
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Televisi, dan Runtuhnya Budaya Baca”
Posting Komentar