Selasa, November 18, 2008

Rendahnya Pengaruh Media Massa dalam Pilpres 2004

Tak satupun calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang menyangsikan kekuatan media massa dalam mempengaruhi perilaku pemilih pada Pemilu 2004 tahun ini. Hal ini terbukti bahwa semua kandidat merasa perlu untuk melakukan kegiatan yang punya dampak diliput media massa. Bahkan, ratusan juta rupiah sudah dikeluarkan untuk memasang iklan sebelum kampanye resmi diperbolehkan. Ini membuktikan bahwa media massa dianggap sangat penting dalam mempengaruhi opini publik.

Yang menjadi persoalan kita kemudian adalah apakah media massa punya pengaruh sangat kuat (unlimited effect) dalam mengubah perilaku pemilih pada Pemilihan Presiden (pilpres) 5 Juli 2004 nanti?


Media massa memang diyakini punya pengaruh kuat dalam mempengaruhi opini mayarakat itu tidak bisa dibantah. Tetapi, mempengaruhi perubahan pilihan masyarakat dalam Pilpres nanti masih perlu dikaji lebih jauh. Ini tak bermaksud mengecilkan peran media massa. Masalahnya, perubahan perilaku pemilih sangat berkait erat dengan banyak faktor. Tulisan ini akan membahas berbagai faktor yang ikut mempengaruhi kenapa media massa punya peran kecil dalam mengubah perilaku pemilih.

Survei Membuktikan
Di Amerika Serikat (AS) pernah dibuktikan bahwa media massa tak punya pengaruh kuat pada diri audience dalam perubahan pilihan mereka. CBS News Release pada bulan Oktober 1980 pernah menyelenggarakan polling secara langsung setelah terjadi debat kandidat presiden antara Jimmy Carter dan Ronald Reagen. Ternyata, hanya 7 persen pendukung Carter yang pindah untuk mendukung Reagen. Dengan kata lain, ada perubahan perilaku pemilih tetapi tak besar-besaran (massive).

Paul Lazarfeld, Bernard Barelson dan H Gudet dalam tulisannya “The People’s Choice” (pilihan rakyat) pernah juga menunjukkan bahwa media massa punya pengaruh terbatas (limited effect) dalam mempengaruhi masyarakat, terutama dalam masalah pemilihan presiden.

Perhatian para peneliti tersebut adalah memfokuskan pengaruh kampanye pada perilaku pemberian suara. Mereka mencari bukti seberapa jauh “perubahan” yang terjadi pada diri para pemilih. Misalnya, berapa besar dari para pemilih itu “membelot” dari pilihannya semula setelah adanya kampanye politik tadi. Ternyata, hanya sekitar 8 persen para pemilih itu membuat perubahan pilihan sepanjang waktu penelitian. Ini artinya bahwa perubahan tersebut relatif kecil. Dengan kata lain, efek media massa sangatlah kecil. Studi di Elmira, Rovere dan Decatur juga menjadi bukti bahwa media massa punya efek terbatas.
Mengapa ini terjadi? Peranan pemimpin opini (opinion leader) ikut andil dalam menentukan pilihan masyarakat. Artinya, pengaruh yang mengenai audience tidak disebabkan oleh terpaan media massa, tetapi pemimpin opini tadi. Jadi pemimpin opini di sini berfungsi sebagai penerusan pesan-pesan media massa. Bahkan pesan-pesan yang diterima audience sudah diinterpretasikan oleh para pemimpin opini tersebut.

Media Massa dan Pilpres Indonesia
Sekarang masalahnya adalah jika media massa punya pengaruh yang terbatas dalam Pilpres 5 Juli 2004 mendatang apa yang menyebabkannya? Pertama, munculnya pengaruh pemimpin opini (kiai, dukun, pemuka adat, key person masyarakat) di Indonesia yang kian menguat. Sebab tanpa bisa dipungkiri, peran pemimpin opini ini masih dijadikan rujukan utama seseorang akan menentukan pilihan mendukung kadidat tertentu atau tidak. Masyarakat Indonesia mayoritas masih tinggal di pedesaan. Sehingga dasar pilihannya bukan pada pertimbangan rasional tetapi masih berdasarkan pada ikatan emosional dan primordial.

Perilaku memilih massa Nahdlatul Ulama (NU) sangat ditentukan oleh “himbauan” para kiai. Apalagi massa ini juga mayoritas tinggal di pesesaan. Menjadikan kata kiai sebagai bahan rujukan untuk memilih masih ditempatkan pada posisi depan. Itu pulalah kenapa, para kandidat presiden merasa perlu untuk mendekati atau “minta restu” para kiai. Itu tak lain karena para kiai tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih dalam Pemilu tahun ini.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Warga ini juga tidak jauh berbeda. Meskipun sering dikatakan lebih rasional dalam berpikir dan banyak yang bertempat tinggal di perkotaan tetapi dasar pilihan masih tetap pada apa yang sudah diputuskan oleh PP Muhammadiyah. Karena Buya Syafii Ma’arif selaku Ketua PP Muhammadiyah sudah memutuskan untuk mendukung pasangan Amien Rais-Siswono, warga Muhammadiyah tentu tak jauh berbeda perilaku pilihannya. Kalaupun ada perubahan tidaklah begitu besar. Ikatan primordial keorganisasian masih menjadi faktor dominan yang ikut menentukan perilaku memilih warga Muhammadiyah.

Kenyataan ini juga berlaku untuk kandidat lain. Massa PDI-P tentu masih akan setia dengan Megawati, apapun kelemahannya. Faktor keaderahan (luar Jawa) tentu akan menjadikan alasan kuat untuk memilih Yusuf Kalla mendampingi Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Sementara Wiranto, SBY dan Agum Gumelar akan mendulang suara dari kalangan militer serta didukung oleh swing voters.

Kedua, audience lebih banyak menyukai acara hiburan daripada pembicaraan politik. Maka dalam urusan politik prosentase yang diraih oleh penonton sangat sedikit. Bahkan secara provokatif Searson dan Chaffe (1979) mengatakan, “Perubahan besar-besaran akibat pemberitaan politik pemilihan presiden bisa jadi tidak mungkin”.

Fenomena ini memang terjadi di Amerika, tetapi sangat mungkin terjadi pula di Indonesia. Apalagi, tingkat melek huruf masyarakat kita relatif masih kecil. Artinya pula, pengaruh media massa dalam mempegaruhi perilaku pemilih tidaklah besar. Alasannya, acara politik seperti debat calon presiden dan kampanye presiden biasa dinikmati oleh mereka yang taraf pendidikannya tinggi, itupun belum tentu semua dari mereka menyukainya.

Dengan demikian, mengandalkan liputan media massa dalam mempengaruhi perilaku pemilih dalam Pilpres 2004 ini bukan menjadi jaminan terjadi perubahan besar-besaran pada diri pemilih. Media sekadar menjadi alat yang ikut mempengaruhi opini publik. Mungkin benar, bahwa opini masyarakat mengatakan calon tertentu layak untuk dipilih karena berdasar pemberitaan positif dari media massa. Tetapi, soal memilih itu masalah lain. Jadi belum tentu apa yang diopinikan masyarakat mewakili pilihan yang dilakukan pada Pilpres 2004. Tetapi meskipun begitu, media massa tetap punya andil besar dalam menciptakan citra seorang kandidat. Citra buruk yang dibangun dan diberitakan media massa bukan mustahil akan mempengaruhi pilihan masyarakatnya.

Comments :

0 comments to “Rendahnya Pengaruh Media Massa dalam Pilpres 2004”