Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung Jawa Tengah (Jateng) dalam waktu dekat akan digelar. Hiruk pikuk untuk menyambut perhelatan demokrasi di daerah itu sudah dirasakan dimana-mana. Berbagai spanduk, stiker, baliho identitas para kandidat sudah bermunculan hampir di setiap tempat. Model kampanye terselubung seperti itu juga dilakukan oleh masing-masing kandidat dengan berbagai cara agar dikenal oleh masyarakat luas. Tetapi, kampanye itu tidak akan populer dan berdampak kuat tanpa peran media massa. Inilah kunci pemenangan Pilkada Jatim.
McGinniss (1969) dalam The Selling of The President 1968 menyebutkan adanya kekuatan menentukan yang diperankan oleh media massa dalam pemilihan. Alasannya, media massa dalam praktiknya ikut menentukan pilihan seseorang setelah ikut membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah dipublikasi media massa.
Maka, media juga secara sengaja telah memainkan peran besar dalam menjadikan sejumlah kandidat, dengan sifat-sifat tertentu yang dipunyai kandidat itu. Bahkan, seorang kandidat bisa ditonjolkan lebih mencolok dibanding dengan kandidat lain dalam sebuah media massa.
Dengan demikian, tak ada cara lain yang harus dilakukan oleh para kandidat dan para tim suksesnya kecuali dengan melihat dengan mata kepalanya akan kekuatan yang dipunyai media massa. Memainkan peran strategis media massa akan mendulang keberhasilan, sementara menjauhkan diri dari media massa berarti “kiamat”.
Mengapa? Saat ini adalah era media massa yang berbicara. Bahkan secara bombastis, Al dan Laura Ries dalam bukunya The Fall of Advertising and the Rise of PR (2003) pernah mengatakan, saat ini era periklanan sudah mati, yang muncul adalah era Public Relations (PR). Era PR modern adalah dengan memakai media relations (hubungan media) yang cerdas.
Ini tak berarti menganggap rendah faktor lain seperti kapasitas kepemimpinan, atau ikatan emosional dengan kandidat. Media bisa membentuk bagaimana citra kepemimpinan seorang kandidat ditampilkan. Artinya pula, apa yang kurang pada diri kandidat bisa ditutupi, dan dicitrakan secara baik lewat media massa. Karenanya, media massa mampu membentuk seperti apa sosok seorang gubernur Jatim mendatang.
Dalam kajian komunikasi massa, hal itu bisa dijelaskan dengan teori agenda setting. Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisannya berjudul “The Agenda Setting Function of The Mass Media” menemukan bahwa ada hubungan yang tinggi antara penekanan berita dan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh pemilih. Meningkatnya nilai penting suatu topik berita pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut bagi khalayaknya. Artinya, apa yang terus diekspos media akan dianggap layak baca, tonton, dengar oleh masyarakat.
Media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang harus dipikir seseorang, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu seseorang apa yang harus dipikirkannya. Akibatnya, media massa selalu mengarahkan pada masyarakat apa yang harus mereka lakukan.
Media akan memberikan agenda-agenda lewat pemberitaannya, sedangkan masyarakat akan mengikutinya. Menurut asumsi teori itu, media punya kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media mengatakan pada kita apa yang penting dan apa yang tidak penting. Media pun mengatur apa yang harus kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung dalam pemilihan.
Dengan demikian, apa yang menjadi agenda pembicaraan masyarakat, jelas dipengaruhi oleh agenda media massa. Karenanya, para kandidat akan memandang media punya kekuatan hebat sehingga dengan berbagai macam cara akan mereka lakukan. Dengan kata lain, di tahun 2008 ini, para kandidat berada di bawah “ketiak” media massa. Medialah yang akan bisa memuluskan keinginan dirinya untuk mencapai Jateng-1.
Strategi Media
Dengan demikian, para kandidat harus bisa memainkan peran media relations secara baik. Lalu apa yang bisa dilakukan kandidat?
Pertama, para calon harus bisa menjalin hubungan dekat dengan media massa. Ini bisa dilakukan dengan kunjungan ke dapur redaksi media yang bersangkutan. Media, karena dikunjungi calon kepala daerah, ada kemungkinan besar untuk memberitakannya. Ini pulalah yang dahulu pernah dilakukan SBY dan Amien Rais untuk menyaingi kepopuleran Megawati karena kedudukannya sebagai presiden sudah menarik perhatian media massa.
Media yang dikunjungi kandidat tersebut biasanya akan menurunkan berita atau bahkan memuat foto kunjungan seorang kandidat. Disamping itu, sang kandidat juga bisa lebih dekat dengan para wartawan yang akan ikut menentukan bagaimana berita-berita seputar kandidat diframe (dibingkai).
Kedua, kandidat juga bisa sering-sering mengundang media massa dimana calon itu melakukan kegiatan politik seperti kampanye, pidato politik, kebijakan yang akan diputuskan. Bisa jadi media tanpa diundangpun ingin meliputnya, tetapi mengundang mereka bukan pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua calon. Ini dimaksudkan agar setiap kegiatan yang dilakukan kandidat bisa diketahui masyarakat. Paling tidak, masyarakat tahu bahwa “seseorang” itu calon kepala daerah.
Ketiga, sering membuat press release (siaran pers). Entah memang ada kebijakan atau keinginan yang ingin disampaikan ke masyarakat atau hal lain. Tetapi yang jelas, calon kepala daerah tidak boleh “menyakiti” pers. Atau membuat pernyataan yang membuat jengkel wartawan. Sebab, begitu sang kandidat membuat “kesalahan” seperti itu kandidat mungkin tetap muncul di media massa tetapi dengan berita yang justru merugikan. Termasuk di sini, menghindari untuk mengatakan “no comment”. Pernyataan seperti itu jelas tidak disukai oleh wartawan. Seorang kandidat akan dicitrakan sebagai orang yang tertutup.
Tetapi ada satu hal lain yang harus dilakukan jika ia terpilih menjadi seorang kepala daerah yakni tetap menjaga hubungan baik dengan wartawan. Umumnya, para politisi kita pada awalnya berhubungan baik dengan wartawan (ketika sedang mencari popularitas), tetapi ketika sudah “mapan” ia lupa bahkan menghindar dari wartawan. Biasanya, politisi itu takut karena “dosanya” diketahui umum.
Maka, menjaga hubungan baik dengan media massa tidak saja akan memuluskan langkah sang calon, tetapi juga akan menentukan “hidup matinya” kebijakan daerah yang akan dipimpinnya nanti.
Sudah saatnya, menempatkan media massa di depan dan bukan dipolitisir untuk tujuan yang mementingkan kepentingannya sendiri. Media massa punya mata dan telinga. Sang kandidat akan diberitakan baik manakala ia baik, tetapi akan diberitakan jelek jika sebaliknya. Jadi, saat ini hidup matinya calon kepala daerah sangat ditentukan oleh media massa, bukan?
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Mendesak, Strategi Media Calon Kepala Daerah
Selasa, November 18, 2008
Mendesak, Strategi Media Calon Kepala Daerah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Mendesak, Strategi Media Calon Kepala Daerah”
Posting Komentar