"Seandainya saya harus memilih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya—tidak ragu-ragu lagi–akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah” (Thomas Jefferson, mantan Presiden AS)
Ketika saya menjadi peserta dalam acara Konferensi dan Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnalisme di Indonesia: Tantangan dan Kompetensi, di Yogyakarta beberapa waktu lalu, terungkap imbauan agar peserta ikut menolak revisi Undang-undang Pokok Pers No 40/1999 yang diusulkan pemerintah. Sementara itu, dalam kunjungan kerja di harian Kompas beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Mohammad Nuh, mengatakan revisi itu sifatnya penyempurnaan. Ia kemudian menegaskan, dalam konsep rancangannya tak ada pasal yang menyebut pemberedelan. Bahkan dikatakan lebih lanjut, freedom of the press menjadi kata kunci, tetapi dilengkapi tanggung jawab.
Alasan pemerintah
Mengapa pemerintah ngotot melakukan revisi UU Pokok Pers? Pertama, media massa saat ini dianggap membahayakan pemerintah dan juga DPR. Dengan adanya jaminan kebebasan, pers dinilai terlalu membahayakan posisi mereka. Pers dianggap liar sehingga harus dikendalikan. Lihat saja, bagaimana pers “menguliti” para anggota DPR yang kinerjanya buruk dan terlibat korupsi. Sementara, pemerintah juga gerah karena program yang selama ini dijalankannya, di mata pers tidak ada yang benar.
Kedua, masalah pornografi. Pemerintah juga risau dengan masalah pornografi. Bukan lantaran risau atas pornografi itu, tetapi dampak dari pornografi tersebut. Akibat pornografi, masyarakat yang tidak suka pornografi akan bertindak di luar batas. Ini jelas akan mengancam stabilitas dan kedamaian di tengah masyarakat. Masyarakat akan selalu terbuka peluang untuk terus konflik yang jelas tidak kondusif bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Alasan persSementara itu, kalangan pers menolak revisi UU Pokok Pers dengan alasan: Pertama, revisi UU Pokok Pers hanya akan membuka peluang pemerintah ikut campur tangan lagi dalam kebijakan media massa di Indonesia.
Karena berangkat dari ketidaksukaan pemerintah atas pemberitaan pers, bukan tidak mungkin ada “kepentingan tersembunyi” di balik usulan revisi UU Pokok Pers tersebut. Bukan mustahil juga kalau pemberedelan gaya baru akan muncul lagi. Yang tak kalah pentingnya, neo-Orde Baru (Orba) dikhawatirkan juga akan muncul lagi setelah revisi dilakukan.
Dalam buku saya Pers dalam Lipatan Kekuasaan, Tragedi Pers Tiga Zaman (2003) terungkap bukti bahwa pemerintah selalu akan berusaha untuk mengekang kebebasan pers. Ketika ada usulan revisi UU Pokok Pers (UU Pokok Pers No 11/1966 jo UU No 4/1967 dan jo UU No 21/1982) yang mengatur Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) berdasar Peraturan Menteri Penerangan No 01/Per/Menpen/1984, harapan ideal atas aturan pers sangat tinggi, terutama dari kalangan pers.
SIUPP akan bisa menyejahterakan wartawan dan karyawan serta melindungi media dari kekangan pemerintah. Namun, setelah revisi dilakukan dan SIUPP dimunculkan, kebebasan pers justru makin terkekang. SIUPP yang posisinya berada di bawah UU Pokok Pers justru dalam praktiknya berada di atasnya. Misalnya, UU Pokok Pers waktu itu mengatur kebebasan pers, tetapi SIUPP memperbolehkan pemberedelan. Faktanya, pers banyak yang diberedel dengan alasan sepihak dari pemerintah dan tak ada jaminan kepastian.
Kedua, alasan mengukuhkan kekuasaan. Di mana pun, siapa pun dan kapan pun kekuasaan akan terus dilanggengkan. Penguasa akan selalu berusaha agar ia bisa berkuasa tanpa ada gangguan. Bahkan, meminjam istilah Lord Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Artinya, ada semangat agar pers tidak terlalu “merongrong” kekuasaan.
Di mata kalangan pers, hal demikian jelas tidak bisa dibenarkan. Kekuasaan harus terus dikawal. Pers bertugas untuk membongkar semua kebobrokan yang dilakulan pemerintah dan anggota Dewan. Kalau tidak dengan “suara” mereka, lalu siapa lagi? Media jelas punya kekuatan dalam penyebaran dan pengaruh ke masyarakat.
Maka, mereka sepakat menolak revisi UU Pokok Pers.Melihat sejarahSelama pemerintahan Orba, pers kita mempunyai banyak suri teladan dalam memahami dan memaknai kebebasan pers. Pers Indonesia dalam era itu menganut faham kebebasan pers yang bertanggung jawab seperti akan diusulkan Menkominfo dalam revisi UU Pokok Pers No 40/1999 dewasa ini.
Artinya, kebebasan pers di Indonesia sangat dijamin, tentu saja harus disertai dengan tanggung jawab. Tidak asal bebas sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.Namun, itu semua hanya ada dalam wacana. Dalam praktiknya tidak gampang untuk diwujudkan. Kebebasan yang bertanggung jawab seringkali dimaknai kebebasan sebagai hak dan tanggung jawab sebagai kewajiban.
Jadi, pers diharuskan melaksanakan kewajiban (tanggung jawab), baru boleh melaksanakan hak (kebebasan). Sementara itu, tanggung jawab sendiri interpretasinya berada di tangan pemerintah. Akibatnya, pers tidak pernah bisa bebas, tetapi selalu dituntut tanggung jawab seperti yang diinginkan pemerintah secara sepihak. Contoh, ketika majalah Tempo (edisi 4, 11 dan 18 Juni 1994) memuat perbedaan pendapat sekitar pembelian kapal perang bekas, eks angkatan laut Jerman Timur antara Departemen Keuangan (Mar’ie Muhammad) dengan Departemen Riset dan Teknologi Habibie).
Perbedaan pendapat yang sudah ditulis Tempo secara cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang) masih merisaukan pemerintah. Tempo dianggap tidak ikut bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Padahal, majalah dengan motto “Enak dibaca dan perlu” tersebut hanya memberitakan perbedaan pendapat dua menteri Orba itu, dan menunjukkan fakta-fakta tentang keadaan kapal perang tersebut. Dalam hal ini, meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang saja sangat susah, apalagi mempraktikkan kebebasan pers. Jadi, atribut yang melekat pada kebebasan seringkali disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.Ini juga sama kasusnya dengan istilah pers Pancasila. Pemerintah waktu itu ngotot bahwa Indonesia tidak menganut pers dari negara mana pun, tetapi kita punya ciri khusus yakni pers Pancasila.
Dalam praktiknya, bukan berarti Pancasila tidak baik, tetapi interpretasinya berada dalam “ketiak” penguasa waktu itu. Pancasila digunakan secara membabi buta untuk kepentingan kekuasaan politik juga. Interpretasi bahwa pers melanggar nilai-nilai Pancasila juga berada di tangan pemerintah. Sungguh, sebuah pilihan yang sangat sulit. Tak heran jika pers berada dalam posisi “hidup enggan, mati tak mau”.
Mengancam pers
Kebebasan pers tidak bisa diberikan atribut lain yang akhirnya mengancam kebebasan pers itu sendiri. Biarlah kebebasan berjalan sebagaimana mestinya. Semua itu akan tergantung pada kedewasaan berpikir masyarakat. Meskipun saat ini sudah ada kebebasan, pro-kontra pelaksanaan kasus pers juga terus berlangsung.
Kasus yang melibatkan Tommy Winata vs majalah Tempo diselesaikan dengan KUHP, sementara kasus FPI vs majalah Play Boy diselesaikan dengan UU Pokok Pers. Kasus tersebut jelas masih menimbulkan dualisme tentang aturan hukum yang menyangkut pers. Masalah kita saat ini adalah tiadanya jaminan kepastian hukum dari pemerintah. Sementara itu, pers yang berusaha membongkar kasus di lingkar pemerintahan justru terancam secara hukum.
Kita berhadapan dengan dua pilihan. Pers membongkar kasus di pemerintahan dan sangat berguna bagi masyarakat, tetapi membuat marah pemerintah; atau pers tidak membongkar kebobrokan pemerintah yang tidak berguna bagi masyarakat tetapi menyenangkan pemerintah. Pilihan yang kedua, tentu pilihan yang lebih ideal. Revisi UU Pokok Pers memang boleh, tetapi jika itu dibarengi dengan semangat menghambat kebebasan pers dengan alasan ideal adalah jangan, apa pun alasannya (Sumber: Solo Pos, 25 Juli 2007)
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Kepentingan Dibalik Revisi UU Pokok Pers
Kamis, Desember 11, 2008
Kepentingan Dibalik Revisi UU Pokok Pers
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Kepentingan Dibalik Revisi UU Pokok Pers”
Posting Komentar