Kamis, Desember 11, 2008

Media Massa dan Tantangan Objektivitas

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta agar media massa menjaga akurasi, keseimbangan dan melakukan self cencorship (sensor diri). Dengan cara seperti itu, diharapkan kesalahpahaman antara pemerintah, masyarakat dan dengan media massa bisa diatasi. Hal demikian disampaikan presiden dalam acara pertemuan dengan pimpinan media massa di Istana Negara beberapa waktu lalu. Tulisan ini akan melihat dari sisi apa yang telah dilakukan media massa dan pemerintah dan apa yang harus dilakukan.

Objektivitas
Yang sering dikhawatirkan pemerintah adalah bahwa media massa sudah kehilangan objektivitas pemberitaannya. Harapan presiden agar media massa melakukan self cencorhsip sebenarnya tarungkap harapan sekaligus sindiran selama ini media lemah dalam melakukan itu.

Berbicara tentang objektivitas media massa kita tidak akan bisa melepaskan diri dari bahasan fakta dan opini/fiksi. Westerstahl (McQuail, 2000), pernah meyodorkan bahwa yang dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas.

Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.

Dengan demikian, informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata.

Apa yang dikemukakan oleh Westerstahl tersebut di atas dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan. Media massa tidak lepas dari subjektivitas atau subjektivitas yang objektif. Subjektivitas dilakukan jika media massa memberitakan suatu kejadian yang tidak pernah terjadi. Sementara itu, subjektivitas yang objektif terjadi ketika media massa secara terang-terangan atau tidak cenderung membela salah satu pihak yang sedang diberitakan. Pemberitaannya berdasarkan fakta-fakta yang terjadi (objektif) tetapi penulisannya secara subjektif.

Kecenderungan ini mewarnai setiap kebijakan media massa. Bahkan koran sebesar New York Times (NYT) yang sudah berusia 100 tahun dan mengawal 20 presiden AS tidak lepas dari kepentingan itu. Noam Chomsky pernah menulis bahwa cara pandang koran itu sangatlah elitis dan sangat menekankan kepentingan AS dalam melihat negara dunia ketiga. Dalam masalah Timor Timur misalnya sangat sedikit ditulis sementara di Vietnam (AS punya kepentingan di sana) begitu gencarnya. Padahal pada tahun 70-an itu, di Timor Timur terjadi banyak pelanggaran HAM yang membutuhkan perhatian serius bagi koran sebenar NYT (Haryanto, 2006).

Apalagi media massa di Indonesia yang usianya belum setengah abad, jelas sangat tidak mudah melakukan objektivitas penulisan. Ini bukan bermaksud membela media massa, tetapi kita juga perlu melihat sisi lain yang mengitari media massa. Paling tidak dibandingkan dengan era Orba, media massa Indonesia jauh lebih baik.

Yang tidak kalah menariknya adalah objektivitas yang terjadi pada media televisi kita Dalam beberapa kasus, televisi jauh lebih besar dalam melanggar objektivitas tayangan. Ini bisa kita lihat dari tayangan infotainmet yang sedang marak di televisi kita. Tayangan itu sering mencampuradukkan antara fakta dan opini.

Pernyataan yang dibacakan oleh narator atau pembawa acara seringkali “menuduh” pihak tertentu dan mengarahkan penonton untuk setuju dan tidak setuju terhadap realitas yang disajikannya. Meskipun, mereka merasa hanya sekadar memberikan ilustrasi dari apa yang disajikan. Kata-kata seperti “sungguh tragis”, “sayangnya”, “tidak disangka” dan sebagainya menjadi contoh kongkrit keberpihakan tersebut.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena orang-orang yang terlibat dalam acara infotainment itu tidak banyak yang berlatarbelakang jurnalistik. Dampaknya, mereka memproduksi acara yang penting penonton. Yang berlatarbelakng jurnalistik saja belum tentu bisa mempengaruhi bahwa berita seharusnya menampilkan fakta-fakta detail yang disajikan tanpa bermaksud menggiring pembacanya. Dalam hal ini kekuasaan produser sedemikian kuatnya.

Dalam kasus poligami yang dilakukan Aa Gym media massa telah berhasil memojokkan kiai itu dan mempengaruhi opini masyarakat untuk memprotesnya. Tidak salah memang, tetapi haruskah sepihak dalam memberitakan? Ini lepas dari setuju dan tidak setujunya terhadap poligami.

Akibat pemberitaan yang tidak proporsional itu pula, ketidakadilan di masyarakat terjadi. Misalnya, mengapa masyarakat sangat memprotes Aa Gym yang nikah secara sah, disetujui istrinya dan memakai dananya sendiri? Bagaimana enerji kita begitu terkuras hanya mengurusi masalah poligami sementara korupsi yang menimpa anggota DPR dan jajaran pemerintah sering luput dari pengamatan kita? Bagaimana pula dengan DPRD meminta gaji yang selangit dan berkilah atas dasar PP no. 37/2006?

Watch Dog

Kekhawatiran pemerintah atas tayangan media massa selama ini seperti yang dikemukakan SBY sebenarnya terlalu dibesar-besarnya. Bagaimanapun juga media massa punya tugas sebagai pengawas atau seperti anjing penjaga (watch dog). Jika di pemerintahan terjadi ketidakadilan, pemerintah cenderung diam sementara permasalahan di masyarakat semakin akut, media punya tanggungjawab “menggongongnya”.Kalau tidak media massa, lalu siapa lagi? Apakah pemerintah juga berani untuk tidak menaikkan gaji DPRD di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan ini? Di tangan media massalah kasus itu diserahkan agar diketahui oleh publik.

Media massa sebagai pengawas mempunyai tugas untuk memunculkan berita, dan memberikan fakta-fakta yang ada agar diketahui masyarakat. Dengan cara seperti itu diharapkan masyarakat mengkritisi apa yang sudah diberitakan media massa tersebut. Perkara nanti mau diproses biarlah hukum yang akan memutuskannya.

Ini penting untuk dilakukan karena sistem pemerintahan di Indonesia tidak berjalan dengan baik manakala tidak disorot media terus menerus. Kasus korupsi yang menimpa mantan elite politik sangat jauh dari penyelesaiaan jika media massa tidak terus-menerus mendorong untuk dilakukan pengusutannya. Di sinilah peran penting media massa perlu didudukkan.

Tentu saja, bagi media massa yang partisan hal demikian sangat susah untuk diwujudkan. Sebab, mereka berada di bawah kepentingan tertentu. Tetapi yang jelas antara memilih membela pemerintah dengan mengkritik pemerintah media massa harus memilih yang kedua. Sebab dimana, kapan dan siapa pun yang berkuasa cenderung tidak mau dikritik, ingin kemapanan dan tidak ada gejolak. Padahal pelanggaran justru semakin subur dalam kondisi seperti itu. Barangkali kita perlu ingat kata-kata klasik Lord Acton, power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutely. (Sumber: Solo Pos, 17 januari 2007).

Comments :

0 comments to “Media Massa dan Tantangan Objektivitas”