Jumat, Oktober 23, 2009

Televisi, Merenggut Fungsi Mendidik Guru

Pendidikan dan Realitas TV Indonesia
Munculnya televisi adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tak gampang untuk ditolak kehadirannya. Kemunculan “kotak ajaib” itu merupakan konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi massa yang diakui atau tidak telah membawa perubahan-perubahan yang berarti di masyarakat. Akibat munculnya televisi, masyarakat mengalami percepatan kemajuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Begitu dahsyatnya perubahan yang diakibatkan oleh televisi, ada banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan percepatan perkembangan teknologi komunikasi massa itu. Untuk sekadar menyebut contoh, kita saat ini telah memasuki era yang disebut “Revolusi Komunikasi” (Daniel Lerner), “Masyarakat Pasca Industri” atau the post industrial society (Daniel Bell), “Abad Komunikasi” atau “Gelombang Ketiga” atau the third wave (Alvin Toffler), “Global Village” (Marshall McLuhan), dan “Ledakan Komunikasi Massa” (Collin Cherry).

Tentu saja, perkembangan tersebut membawa dampak perubahan format masyarakat. Bahkan masyarakat saat ini tidak lagi mengandalkan komunikasinya melalui face to face communication, tetapi telah melalui media massa (cetak dan elektronik). Disamping itu, pola pikir dan perilaku kita sangat dipengaruhi oleh media massa pula. Coba kita pertanyakan, adakah barang yang kita miliki di rumah kebanyakan bermerek yang dikenalkan media massa? Adalah kita punya kemampuan untuk tidak memanfaatkan media massa dalam satu hari saja?

Dampak yang terjadi di masyarakat seperti yang dikemukakan di atas, tak terkecuali berdampak pada perkembangan anak-anak sebagai “pasar” televisi. Televisi memang membawa pengetahuan baru bagi anak-anak. Pengaruh yang sedemikian dahsyat akan pengaruh televisi pernah dikatakan Davis dan Abelman, “Although the family has been regarded as the primary agent in the socialization process (Gecas, 1992; Grusec & Goodnow, 1994; Maccoby, 1992), there is some evidence that television has the potential to transform the socialization process and displace the family from its traditional place in socialization” (Davis & Abelman, 1983) (Alexis Tan et.tal, 2000).

Banyak cerita memang, setelah menonton layar kaca tersebut anak-anak jadi semangat mempelajari Fisika atau IPA (bagi yang masih SD) ketika ditayangkan "Indosat Galileo". Melalui "Keluarga Cemara", anak-anak juga mendapat pelajaran tentang nilai keluarga dan bagaimana cara keluarga sederhana itu mengatasi kesulitan hidup mereka sehari-hari. Namun demikian, meskipun punya dampak positif, televisi juga bermuatan negatif. Bahkan muatan negatifnya jauh lebih besar pada diri anak-anak. Akan ampuhnya dampak televisi, pernah dikatakan oleh Huston, Zillman, & Bryant (1994), “Television is one of the most powerful socializing agents of children for several reasons. One is that children’s exposure to television begins in infancy and conservative estimate s are that it is watched three or more hours per day. Further, children’s access to television requires no special skills such as the ability to read” (Mary Strom Larson, 2002).

Pendapat itu jika ditarik ke dalam permasalahan yang lebih kongkrit adalah semakin banyak anak menonton televisi semakin kuat dampak negatif yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, semakin seringnya anak menonton televisi semakin sedikit minat membacanya. Di sinilah persoalannya bahwa televisi juga telah menumpulkan kecerdasan seseorang.

Dampak lain keberadaan televisi bisa dilihat dari kasus yang pernah menimpa Nyoya Rani (40 tahun). Suatu saat, ia sangat kaget ketika anak sulungnya yang berusia 11 tahun dan baru duduk di kelas 5 SD menanyakan apa artinya kondom. Dengan sedikit terbata-bata ibu yang juga karyawati sebuah perusahaan swasta itu menjawab pertanyaan sang anak dan berusaha disesuaikan dengan kemampuan nalarnya. Ketika diajak ngobrol, akhirnya si sulung mengemukakan istilah itu didapatnya dari tayangan televisi (Pikiran Rakyat, 22 Mei 2005).

Mengapa ini semua terjadi? Menurut sebuah penelitian, dari 15 judul sinetron ditemukan unsur yang kental sensualitas. Berpakaian seronok menempati aspek tertinggi (49 persen dari 169 pemunculan), lalu merayu (14 persen), merangkul (11 persen), dan menatap penuh hasrat lawan jenis (11 persen). Unsur seksualitas itu dikhawatirkan berujung pada pembentukan sikap permisif yaitu, cuek bebek pada terjadinya pelanggaran norma agama, sosial, bahkan hukum dalam kehidupan nyata (Republika, 30 Desember 2005).

Nyatalah bahwa televisi mempunyai dampak yang hebat pada sikap dan perilaku anak-anak. Anak-anak pun tak jarang menghabiskan waktunya di depan televisi. Dari sinilah kemudian problem muncul. Anak-anak terpengaruh oleh apa yang disajikan televisi. Televisi, dalam posisi ini sudah diposisikan sebagai seorang guru. “Sang guru” itu berceramah, bercerita, memberikan informasi, memberikan persuasi pada anak-anak tersebut, sementara anak-anak tanpa sengaja menurut dengan apa yang disajikan dari televisi itu. Televisi telah dianggap sebagai guru lantaran apa yang disajikannya bisa menghibur, sementara pelajaran di sekolah dianggapnya membebani, meskipun berguna bagi masa depan mereka.

Dari deskripsi latar belakang tersebut di atas permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah 1) sejauhmana dampak negatif televisi bagi anak-anak dan 2) bagaimana televisi telah mencabut fungsi mendidik seorang guru?

Baca lebih lanjut dalam: Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009.

Comments :

0 comments to “Televisi, Merenggut Fungsi Mendidik Guru”