Rabu, April 20, 2011

"Boikotlah Daku, Kau Kugigit"

Tidak banyak pejabat pemerintah yang dengan terang-terangan berani melawan media. Umumnya, karena kepentingannya, mereka cenderung melayani apa yang diinginkan media. Alasannya, media menjadi jembatan emas untuk meraih ambisi, tujuan dan orientasi pragmatis lainnya.

Tetapi, Dipo Alam (Sekretaris Kabinet) sangat berbeda. Ia berani melawan arus. Bahkan ia menginstruksikan untuk memboikot media. Tidak itu saja, ia akan melawan jika ada somasi dari media sekalipun. Pernyataan yang berani, tetapi tidak melihat dampak “psikologis” dari media. Jadi, pernyataannya bagai bara dalam sekam.

Dua Alasan
Ada beberapa hal yang bisa dikaji dari pernyataan Dipo Alam. Pertama, Dipo Alam memang risih dengan pemberitaan media massa selama ini yang dianggapnya berat sebelah. Bahkan itu terjadi pada media-media yang menjadi “musuh” pemerintah (Dipo Alam berposisi pada pihak pemerintah). Pemberitaan media selama ini dianggap cenderung memojokkan pemerintah secara membabi buta tanpa berimbang.

Kedua, sebagai pejabat pemerintah, tingkah laku Dipo Alam sengaja dibiarkan untuk “melawan” media. Dengan kata lain, dia dijadikan martil. Memang benar berita media selama ini cenderung buruk pada pemerintah, tetapi pejabat pemerintah (presiden, wakil presiden dan menteri) sangat riskan untuk berkomentar seperti Dipo Alam. Dampak politiknya sangat tinggi. Maka, ketika Dipo Alam berani melawan media, dibiarkan saja. Bagi pemerintah (yang disebutkan di atas), biarlah Dipo Alam mewakili pemerintah. Toh kalau punya dampak politik juga tidak terlalu tinggi. Bisa jadi Dipo Alam menyadari fakta ini (?). Dari kasus ini, terbukti bahwa dia adalah sosok sangat loyal pada pemerintah sampai-sampai mengorbankan diri untuk kepentingan (politik) pemerintah (mungkin juga dirinya).

Media itu Pemantau Kekuasaan
Dipo Alam boleh sewot atas pemberitaan, tetapi media mempunyai pilihan sendiri apa yang ingin disiarkan kepada publik. Sama juga dengan pemerintah, apakah akan memilih kebijakan ini dan itu, itu urusan pemerintah.

Sebenarnya, salah satu fungsi ideal media massa dalam politik adalah pemantau kekuasaan (Kovach dan Rosenstiel, 2004). Dalam kaitan ini, media seringkali diangap sebagai “watch dog” (anjing penjaga). Bahkan seorang pakar bernama Wilson Harris pernah mengatakan press is a watch dog of the the public. Artinya, media harus memfungsikan diri sebagai pengamat sosial. Pengamat sosial ini fungsinya meluruskan apa yang bengkok dan menjaga agar yang lurus tetap lurus.

Sebagai anjing penjaga, anjing itu harus bisa menjaga rumah majikanya. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, anjing harus menggongong memberitahu tuannya. Maksudnya agar tuannya waspada ada sesuatu yang harus dia pertimbangkan untuk dilakukan.
Fungsi media massa juga tak jauh berbeda dengan anjing penjaga tadi. Media harus menjadi pengawas. Media harus loyal pada majikannya. Majikan di sini idealnya adalah masyarakat. Tentu saja, majikan yang dimaksud bukan pemilik modal. Jika di masyarakat ada kejadian yang merugikan masyarakat secara umum, media harus berani “menggonggong”, kalau perlu menggigit.

Maka dari itu, jika media mencurigai ada perilaku menyimpang dari pemerintah, media harus berteriak. Tidak jadi soal apakah teriakannya itu lembek atau keras. Sebab itu semua tergantung pada karakteristik masing-masing media. Yang jelas, suara untuk menyampaikan yang kurang berjalan sebagaimana mestinya harus dikatakan. Jika ada korupsi di pemerintahan yang belum juga terselesaikan, media juga harus lantang bersuara. “Hei ada korupsi”, demikian kalau dikatakan secara verbal.

Lebih lanjut, media juga punya tugas untuk memantau kekuasaan pemerintah. Sebab, jika pemerintah tidak dipantau, kebijakannya bisa melenceng dan merugikan masyarakat. Memantau kekuasaan yang di maksud di sini adalah bertujuan untuk menegakkan demokrasi dan keadilan. Artinya, media tidak sekadar memberikan fakta-fakta telanjang saja, tetapi fakta-fakta itu benar-benar memperjelas duduk persoalannya. Misalnya, media sedang melaporkan tindak pidana korupsi seorang pejabat. Media harus bisa menunjukkan bahwa seseorang itu memang benar-benar bersalah dan orang lain tidak bersalah. Tentu saja, semangat praduga tak bersalah harus tetap dipegang teguh.

Demokrasi juga mensyaratkan bahwa media harus menyuarakan “kaum lemah”. Dengan kata lain, media harus menjadi penyambung lidah rakyat. Media bukan sebagai pelayan kekuasaan semata. Ini tak berarti bahwa media itu “menyusahkan orang yang senang”. Misalnya, jangan hanya gara-gara tidak suka dengan seorang politikus, secara membabi buta media mencari-cari kesalahan dia. Ini berarti, media semata-mata hanya menyusahkan orang yang senang.

Fungsi media di sini juga sama dengan parlemen, yakni mengawasi kinerja pemeritah. “Parliament is one lung, and the pers is the other” (parlemen itu ibarat sebuah paru-paru, yang lainya adalah media). Jadi, peran media sangatlah vital, sama dengan fungsi paru-paru dalam tubuh kita. Apa jadinya jika paru-paru seseorang sakit atau bahkan tidak berfungsi sama sekali? Di sinilah media berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat, sama seperti fungsi parlemen.

Sebagai penyambung lidah rakyat, media dituntut untuk tak hanya menampilkan pemberitaan yang berasal dari keterangan pejabat resmi. Atau, hanya berisi silang pendapat dari beragam sumber yang dia liput. Saat ini, media Indonesia banyak yang terjebak dengan jurnalisme kutipan. Mereka lebih suka dengan mengutip pernyataan seseorang, lalu selesai dan diberitakan. Lain hari, jika ada pernyataan lain diberitakan lagi. Kalau begini upaya untuk mencari esensi tidak akan pernah terlaksana.

Jadi, Dipo Alam boleh saja marah dan melakukan boikot. Tetapi media tetap akan terus bersuara. Memang tidak bisa dipungkiri media kadang menyuarakan secara sepihak yang menurutnya perlu dibela. Namun demikian, hal itu tidak harus membuat pejabat atau pihak yang dikritik media menjadi lupa diri, apalagi melakukan tindak kekerasan. Jangan sampai perilakunya menjadi kontraproduktif bagi kemajuan masyarakat di masa datang. Media itu punya tugas mulia untuk pemantau kekuasaan.

Barangkali kita perlu menyimak pendapat Thomas Jefferson, “Jika saya harus memilih antara ada media tanpa ada pemerintah, dengan ada pemerintah tapi tak ada media saya tidak ragu-ragu lagi akan memilih yang pertama”. Jadi, “Boikotlah daku, kau kugigit”
Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “"Boikotlah Daku, Kau Kugigit"”