Rabu, April 20, 2011

Imperialisme Baru Budaya

Saat mengajar mata kuliah Komunikasi Massa, saya ditanya oleh seorang mahasiswa, “Mengapa ide, sikap, perilaku, dan apa yang kita pakai tidak jauh berbeda dengan budaya Barat?”. Sejak beberapa tahun saya mengajar mata kuliah tersebut, baru kali ini saya mendapat pertanyaan seperti itu. Tentu saja, ada banyak ragam yang bisa menjawab pertanyaan cerdas tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya bercerita terlebih dahulu tentang sebuah film yang pernah diproduksi secara kolosal, Titanic, yang dibintangi oleh Kate Winslet dan Leonardo Dicaprio. Film yang dibuat dengan mengandalkan efek audio visual kuat itu sangat digemari oleh penonton Indonesia. Mengapa? Karena film-film Indonesia belum mungkin membuat film seperti itu. Akhirnya, film itu sangat digemari penonton Indonesia.

Yang ingin saya tekankan adalah tanpa sadar ketika kita menyaksikan sebuah film atau mengakses berita-berita dari media massa, kita sedang mengadopsi apa yang datang dari Barat. Lihat saja, mengapa perhelatan Miss Indonesia selalu memakai kriteria sebagai berikut; tinggi, langsing, kulit kuning, rambut lurus (atau kalau perlu pirang), hidung macung, pintar berbahasa asing dan kriteria fisik lainnya. Ini sangat mungkin terjadi karena pengaruh dari apa yang dijadikan kriteria di negara Barat yang disiarkan lewat media massanya. Akan sangat aneh, jika memakai kriteria di luar itu.

Tanpa sengaja, identifikasi ini akan mengarahkan pada kenyataan bahwa untuk menjadi seorang gadis ideal harus bisa memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Apalagi, mereka yang laris untuk jadi artis, bintang sinetron, dan semacamnya memang juga dianggap punya kriteria seperti itu. Di sinilah adopsi budaya Barat yang sadar atau tidak sedang menggejala pada masyarakat kita.

Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang). Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.

Karenanya, kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa di seluruh dunia.

Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film 2012 seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah kenyataan akan hancurnya dunia ini, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Itu semua bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.

Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran yang berasal dari Barat. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan, dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.

Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Inilah yang disebut dengan imperialisme budaya Barat dengan mendominasi media massa dunia ketiga.

Salah satu yang mendasari munculnya kajian imperialisme budaya itu adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan, dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.

Ia juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.

Yang tak kalah “ganasnya” adalah bea siswa yang diberikan secara gratis oleh negara Barat ke negara berkembang. Mengapa mereka memberikan cuma-cuma bea siswa itu? Mereka jelas punya misi tertentu untuk “menguasai” negara berkembang.

Mereka yang sempat kuliah di luar negeri akan mengadopsi nilai-nilai luar negeri kemudian dibawa ke Indonesia. Tidak saja gaya hidup, pemikiran, tetapi juga perilaku. Tanpa sadar mereka telah “dijajah” oleh bangsa asing. Saya punya kolega dosen yang selalu cerita tentang luar negeri. Seolah dia menjejalkan semua hal yang berbau luar negeri ke mahasiswanya. Bahkan ada juga yang baru kuliah sebentar saja sudah bercerita kembaikan bangsa asing dan mengolok-olok bangsa sendiri. Bukan tidak boleh, tapi tanpa dipilah-pilah secara cerdas itu jelas akan meracuni. Memang, tak semua budaya kita bagus, begitu juga tak semua budaya asing jelek.

Tentu saja, tidak semua mereka yang kuliah di luar negeri menjadi “agen” bangsa asing. Mereka yang secara sadar tetap kuat pada budaya sendiri dan bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik juga masih ada. Hanya, tanpa disertai sikap rendah diri dan kecerdasan penuh hal itu tak gampang dilakukan.

Dua bentuk imperialisme budaya yang dilakukan media massa dan para pendidik jelas sangat berpengaruh untuk mempengaruhi dan membentuk watak dan bentuk budaya Indonesia. Jadi jelas, pertanyaan mahasiswa di awal tulisan ini bisa dijawab karena adanya imperialisme budaya yang telah merasuk ke dalam pikiran, sikap, dan perilaku manusia Indonesia. Cara penyebarannya secara halus, bahkan mereka yang melakukan dan menerimanya kadang tidak sadar. Inilah cara kerja imperialisme budaya yang riil terjadi dan tak gampang untuk dihindari.
Type rest of the post here

Comments :

1

pak nurudin... ini bukunya ada di Gramedia kah ? dan ada tidak pak buku yang membahas khusus ttg Imperialisme Budaya ? apakah Gaya hidup, pemikiran, dan kepercayaan adalah aspek-aspek dari imperialisme budaya? terimakasih banyak pak.

Jessica mengatakan...
on