Selasa, April 12, 2011

Gejolak Timteng dan Kemenangan Jejaring Sosial


(Tulisan ini bagian dari naskah buku "Internet Menuju Cyber Village")
Timur Tengah (Timteng) tengah diguncang prahara. Setelah Zine al-Abidine Ben Ali (Tunisia) turun dari jabatannya pada tanggal 14 Januari dan Hosni Mubarak (Mesir) pada tanggal 11 Februari tumbang, Moammar Khadafy (Libya) digoncang. Khadafy sendiri bereaksi keras atas protes pada dirinya. Peristiwa itu membuka mata para pemimpin Timteng untuk melakukan langkah-langkah baru. Ali Abdullah (presiden Yaman), Omar Hasan (presiden Sudan), buru-buru tidak mencalonkan lagi sebagai kandidat pada Pemilu mendatang. Raja Bahrain, Sheikh Hamad, dengan cepat melakukan dialog dengan oposisi untuk mengantisipasi keadaan.

Tidak bisa dipungkiri meluasnya protes dan tergulingnya dua presiden di Timteng tersebut akibat dari pengaruh teknologi komunikasi jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube dan Flickr. Teknologi komunikasi itu telah memberikan pengaruh pada pola pikir, sikap, dan perilaku warganya (klik: buku)

Dunia Arab yang dikenal dengan budaya Islamnya telah terpengaruh film-film Hollywood dari budaya Barat serta internet yang membuat kehidupan masyarakatnya semakin terbuka dan demokratis. Apalagi, saat ini keberadaan jejaring sosial sudah menjadi keniscayaan. Meskipun berada dalam sebuah negara dengan budaya tertentu, mereka bisa berhubungan dan mengakses informasi dari luar. Ini akan menggesek budaya lokal.

Imperialisme Jejaring Sosial
Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang).

Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk memengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.

Apalagi untuk saat sekarang, berbagai bentuk imperialisme budaya bisa diperluas lewat jejaring sosial. Lihat kasus yang terjadi di Mesir beberapa waktu lalu. Begitu ada gejolak protes di alun-alun Tahrir, banyak saksi mata melihat, merekam dan menulis. Fakta-fakta itu kemudian disiarkan oleh tidak saja stasiun televisi Al Jazeera tetapi juga CNN. Bahkan begitu aksi muncul, kita bisa membaca peristiwa demi peristiwa dalam situs jejaring sosial. Peristiwa ini bisa diakses pula oleh mereka yang tidak hadir dalam demonstrasi di lapangan itu. Tetapi mereka ini ikut menyebarkan gagasan-gagasan akan pentingnya Mubarak mundur dari jabatannya lewat jejaring sosial itu.

Memang, teknologi itu sendiri tidak membuat gerakan. Tetapi orang-orang yang memanfaatkan teknologi jejaring sosial itu dengan antusias memanfaatkannya. Dalam kajian komunikasi kenyataan itu sering disebut dengan communication technological animal.

Communication technological animal berarti individu-individu yang menjadikan teknologi sebagai sangat fundamental bagi humanitasnya. Bagi mereka, teknologi adalah faktor utama dalam melakukan perubahan. Bahkan teknologi komunikasi seperti jejaring sosial dipercaya sebagai alat yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya.

Jejaring sosial telah memungkinkan sesuatu yang selama ini dipendam, misalnya kecurangan presiden, bisa diungkap secara transparan. Barangkali, awalnya sekadar informasi yang disebar, tetapi informasi yang disebar dalam jejaring sosial itu telah membuka mata banyak orang untuk ikut menyebarkannya.

Fenomena di Indonesia juga bisa dijadikan contoh. Berapa banyak kasus-kasus yang diungkap, dipercepat penyelesaiannya, undangan simpati dibangun melalui jejaring sosial? Gerakan sejuta Facebooker pendukung Priya Mulyasari atau gerakan mendukung ditetapkannya Sultan Yogya sebagai gubernur menyebar luas diketahui dari jejaring sosial.

Begitu juga, kepemimpinan tangan besi yang dilakukan mantan presiden Mesir dan Tunisia telah menyebabkan ketidakpuasan masyarakat di dua negara itu. Ketidakpuasan ini kemudian ditulis dalam jejaring sosial. Dengan cepat hal itu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Lihat pula aksi brutal pemimpin Libya Moammar Khadafy yang memerintahkan pasukannya menghalau protes massa dengan rudal antipesawat. Bahkan 1000 orang lebih sudah tewas sejak marak aksi protes di negara yang beribukota Tripoli tersebut. Semua itu bisa diakses melalui jejaring sosial.

Pelajaran Berharga
Pelajaran yang bisa dipetik dari meluasnya jejaring sosial itu antara lain; pertama, tidak ada sesuatu rahasia politik yang terus menerus tersimpan rapat. Para diktator dan pemerintahan tangan besi lambat atau cepat akan digugaut oleh people power. Kedua, penting kiranya pemerintah Indonesia segera untuk melakukan demokratisasi dan penegakan hukum disegala bidang sebelum gerakan rakyat semakin luas. Mereka tidak digerakkan oleh pihak lain, tetapi bergerak sendiri karena solidaritas dan ketidakpuasan atas peristiwa yang menimpanya.

Kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat negara lambat atau cepat akan terus terungkap. Jika ini tidak diantisipasi gelombang protes rakyat akan semakin luas. Lihat kasus demonstrasi menentang PSSI? Itu salah satu contoh kecil solidaritas gerakan yang tidak bisa dipungkiri konsekuensi dari jejaring sosial.

Jejaring sosial yang mempunyai pengaruh hebat untuk melakukan perubahan telah menjadi kekuatan penekan baru (new pressure group) dalam usaha melawan pemerintah. Maka, perubahan yang terjadi di Timteng bukan kemenangan rakyat saja, tetapi juga kemenangan jejaring sosial (Facebook, Twitter, Youtube dan Flickr).

Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “Gejolak Timteng dan Kemenangan Jejaring Sosial”