Selasa, April 12, 2011

Menyoal Second Reality Pemberitaan Media

Kompas (30/11/10) memberitakan keluhan warga Malang berkaitan dengan berita-berita media massa (cetak dan elektornik) yang berlebihan tentang aktivitas gunung Bromo. Akibat pemberitaan yang berlebihan tersebut pendapatan ekonomi yang dihasilkan mereka menurun drastis. Pertanyaan kita adalah mengapa masyarakat menjadikan media massa sebagai “kambing hitam? Apakah yang diberitakan oleh media kita itu memang realitas sebenarnya yang terjadi?

Realitas Kedua
Media massa itu hanya mengonstruksi realitas yang terjadi di lapangan. Namanya mengonstruksi, jadi tidak semua yang diberitakan di lapangan itu bisa dilaporkan. Media mempunyai pilihan-pilihan untuk memberitakan fakta yang dilihatnya, melalui seorang wartawan. Lalu apakah wartawan yang memberitakan sebuah kejadian itu memberitakan realitas? Ia memberitakan realitas, tetapi realitas media bukan realitas sebenarnya.

Penjelasannya begini. Aktivitas gunung Bromo itu sebuah realitas. Sebut saja realitas pertama (first reality). Sebagai realitas pertama ia tampil apa adanya. Ketika seorang melihat sendiri aktivitas gunung Bromo berarti ia melihat realitas senyatanya atau realitas pertama. Dalam posisi ini, fakta-fakta terjadi begitu saja sesuai “hukum alam”. Dengan kata lain, realitas pertama tentang aktivitas gunung Bromo seperti yang dilihat oleh masing-masing orang, termasuk para wartawan.

Kemudian, dengan kemampuan yang dimiliki para wartawan itu merekam setiap kejadian dalam otaknya melalui alat bantu, entah menulis langsung, merekam pakai kamera atau memotretnya. Apa yang dicatat dan direkam wartawan ini tentu saja sangat tergantung dari filter masing-masing wartawan. Filter dalam kajian komunikasi massa bisa berwujud kondisi psikologis, jenjang pendidikan, pandangan politik, emosi, kepentingan, budaya atau sekadar kondisi fisik. Filter-filter itu harus diakui memengaruhi apa yang wartawan catat dan rekam.
Kalau sudah begini apakah yang diberitakan oleh wartawan tersebut sebuah realitas? Wartawan memang melaporkan realitas yang direkam dan dicatatnya karena ia memberitakan fakta-fakta di lapangan. Namun demikian realitas yang sudah diberitakan itu sangat dipengaruhi dan tergantung pada filter yang dipunyai masing-masing wartawan. Jadi, wartawan itu tetap memberitakan realitas tetapi realitas yang sudah dikonstruksi. Sebut saja realitas kedua (second reality).

Dengan demikian, wartawan yang memberitakan aktivitas gunung Bromo sampai menimbulkan kecemasan masyarakat itu sebuah realitas, tetapi realitas kedua yang sudah bercampur dengan banyak aspek.

Subjektivitas
Kalau sudah begitu apakah yang diberitakan media massa itu subjektif karena sangat tergantung dari sang wartawan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita mengutip pendapat Jakob Oetama. Dalam buku saya berjudul Jurnalisme Kemanusiaan, Membongkar Pemikiran Jakob Oetama tentang Pers dan Jurnalisme (2010) terungkap bahwa pemberitaan media massa itu objektivitas yang subjektif. Semua kejadian yang diberitakan media itu merupakan sesuatu yang objektif. Sedangkan bagaimana kejadian itu dipilih menjadi berita atau dilaporkan sebagai berita, jelas sesuatu yang subjektif.

Berita itu bukanlah kejadianya itu sendiri, tetapi berita ialah laporan tentang sesuatu kejadian aktual yang sudah melalui beberapa tahapan dan proses sampai menjadi sebuah berita yang muncul di media. Kejadian adalah realitas pertama (sebagaimana disebutkan di bagian awal), sementara berita adalah realitas kedua (ada yang menyebut realitas media).

Diakui atau tidak, faktor subjektivitas sering muncul dalam pembuatan sebuah berita. Ini tak lain karena dalam pembuatan berita, faktor pribadi wartawan terlibat jauh dalam pemilihan fakta-fakta di lapangan. Wartawan menulis berita apa adanya saja sudah subjektif karena ia memilih dan memilah fakta-fakta yang disajikan (bukan fakta keseluruhan). Apalagi kepentingan media ikut memengaruhinya.

Contoh kecil saja begini. Ketika memberitakan korban kecelakaan yang dialami oleh seorang perempuan umur 25 tahun, masing-masing wartawan bisa membuat profiling (pelabelan) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi seorang perempuan itu disebut dengan “perempuan karir”, perempuan yang bertubuh bahenol”, wanita yang punya rambut terurai panjang”, atau wanita yang berwajah manis”. Itu semua sangat tergantung dari persepsi, latar belakang, pengalaman, tuntutan kerja wartawan dan misi-visi medianya. Apalagi jika wartawan yang menulis itu punya kepentingan pribadi di balik pembuatan sebuah berita.

Berkaitan dengan itu, Dennis McQuail (2000) pernah juga mengungkapkan tentang peran media yakni as a window on events and experience dan as a mirror of events in society. Media itu seperti sebuah jendela. Ketika seseorang membuka jendela rumah, ia bisa memandang peristiwa di luar jendela itu. Namun demikian, peristiwa yang ada hanya sebatas sudut pandang jendela tersebut dan bukan semua peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Jendela juga bisa dianalogikan sebagai sebuah jendela. Melalui “jendela itu” kita bisa membaca peristiwa tentang aktivitas gunung Bromo. Tetapi sekali lagi, bukan semua peristiwa yang terjadi tetapi hanya sebatas sudut pandang yang bisa ditangkap media (realitas kedua).

Sementara itu, media juga bisa sebuah cermin peristiwa di masyarakat (a mirror of events in society). Cermin hanya sebuah pantulan dari kejadian, sama seperti kalau kita sedang bercermin. Apa yang tersaji dalam cermin bukan kenyataan sesungguhnya, tetapi sekadar pantulan dari fakta. Sebagai cermin, media pun hanya mampu memantulkan sebagian kecil dari kejadian yang berlangsung di masyarakat dan tak mampu memenuhi seluruh keinginan manusia.
Catatan Penting
Jadi, kecemasan masyarakat atas pemberitaan berlebihan dari media tidak serta merta harus digeneralisasi. Sebab, masing-masing media mencoba mengungkapkan realitas berdasar realitas kedua atau realitas media. Sementara itu, masing-masing media mempunyai realitas yang berbeda-beda.

Catatan penting yang bisa digarisbawahi adalah bahwa kecemasan masyarakat atas pemberitaan media justru menjadi bukti bahwa media memang mempunyai kekuatan dalam membentuk opini publik. Masyarakat tidak perlu terlalu cemas, begitu pula wartawan juga bisa lebih bijak dalam membuat berita karena pemberitaannya berdampak hebat di masyarakat.
Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “Menyoal Second Reality Pemberitaan Media”