Senin, September 16, 2013

Posisi Dilematis Jokowi


Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) sedang menduduki posisi dilematis. Bersama dengan Ahok (Basuki Tjahaja Utama) dia sangat popular dengan program-programnya yang merakyat.  Bahkan anggota DPR pun dilawannya kalau memang hanya berbeda pendapat, bukan mencari solusi bersama membangun Jakarta.  Namun demikian, popularitas dia bukan tanpa masalah. Jokowi justru dimanfaatkan tidak saja oleh pendukungnya yang mempunyai kepentingan tertentu, tetapi juga oleh lawan-lawan politiknya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi-Ahok menduduki posisi Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) atas dukungan partai politik (Gerindra dan PDI-P). Sejak mereka menduduki jabatan barunya, mereka sebenarnya  sudah menjadi milik publik. Namun demikian, karena alasan hutang budi, Jokowi tidak akan bisa memandang sebelah mata pada partai pengusungnya. Partai memanfaatkan popularitas Jokowi untuk ikut dukung-mendukung dalam perebutan kekuasaan. 


Akibatnya, Jokowi yang merasa menjadi ikon perubahan dan sanggup meraih suara yang spektakuler di Jakarta diharapkan ikut mendongkrak dukungan calon kepala daerah yang diusung PDI-P. Maka Jokowi memang “dipaksa” ikut menjadi juru kampanye atau tim sukses Pilkada di sejumlah daerah.

Dilematis
Yang tak kalah hebatnya, ada desakan kuat agar Jokowi maju menjadi kandidat presiden 2014. Bahkan beberapa lembaga survei menempatkan Jokowi pada posisi atas yang layak untuk menjadi kandidat presiden. Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pernah mengungkapkan bahwa elektabilitas Jokowi mencapai 35,1 persen  jauh melampaui calon-calon lainnya.
Memang tidak salah menjagokan Jokowi menjadi calon presiden (Capres). Asal dia mau dan ada partai pengusungnya. Yang menjadi masalah adalah, pertama, ia akan mendapat tentangan dari kalangan internal PDI-P.  Hal demikian akan membuat pengurus lain yang  merasa “keringatnya” keluar lebih banyak akan merasa disingkirkan.
Yang lainnya, PDI-P selama ini identik dengan trah bung Karno. Setelah Megawati tidak lagi menjadi presiden, trah Soekarno tetap menjadi daya lekat antar anggota. PDI-P dianggap  trah Soekarno, begitu juga sebaliknya.  Tentu ini akan menjadi  pertimbangan tersendiri. Bagaimana jika nanti Jokowi menjadi Presiden? Bukankah ada kemungkinan besar  ia akan  menjadi ketua umum PDI-P (karena popularitasnya).
Kedua, ada ambisi sekelompok orang tertentu agar Jokowi menjadi Capres. Tak lain karena elektabilitas sosok Jokowi sedang menduduki posisi tinggi. Orang-orang di sekitar itulah yang sebenarnya mempunyai ambisi politik untuk meraih keuntungan pragmatis.
Sebenarnya pula, pembuatan film tentang Jokowi juga tidak lepas dari kepentingan pihak tertentu. Memang benar bahwa sosok Jokowi patut menjadi teladan banyak orang, namun demikian, mengapa baru dimunculkan sekarang menjelang Pemilu? Kalau ditanyakan pada produser atau pembuat film alasannya klasik karena Jokowi memang layak difilmkan. Tetapi dalam kacamata politik  tentu kepentingan politik akan ikut bermain di belakang munculnya film tersebut.  
Berkali-kali Jokowi juga mengatakan ia sangat malu dengan film itu karena dia belum layak untuk difilmkan. Bisa jadi Jokowi merendah,  karena memang dia orang Solo, tetapi mungkin saja dia mau difilmkan karena  desakan atau paksaan keadaan dan orang-orang di sekitarnya.

Pilihan
Melihat hiruk pikuk pencalonan Jokowi sebagai Capres ada beberapa catatan yang layak untuk dikemukakan. Pertama, biarlah Jokowi mengurusi Jakarta yang rusaknya sudah sangat “akut”. Politik adalah perjudian. Jika Jokowi bisa menjadi presiden tidak jadi soal, tetapi kalau tidak jadi,  justru akan menjadi bumerang tersendiri.
Jokowi akhirnya akan tersandera. Ia akan dianggap orang yang tidak punya malu atau tidak mau diuntung. Misalnya, ia belum selesai menjabat walikota Solo sudah diminta ke Jakarta. Baru beberapa tahun menjadi gubernur DKI sudah diseret-seret menjadi presiden yang akhirnya tidak jadi. Bukankah ini akan menjadi bumerang?
Sebenarnya, Jokowi punya peluang besar untuk 5 tahun mendatang (2019). Tentu dengan catatan ia mempunyai prestasi hebat selama menjadi gubernur DKI. Itu bukan persoalan sulit karena Jokowi tipe pekerja keras dan mau bersusah-susah yang berbeda dengan gubernur sebelumnya.
Kedua,  jika pencalonan itu atas kehendak orang-orang di sekitarnya, mereka sebenarnya harus berpikir lebih cerdas. Pemilu tahun depan sebuah perjudian. Jika kalah akan menghambat karir Jokowi berhenti di masa datang. Tetapi itu semua juga sangat tergantung Jokowi, meskipun orang-orang  disekitarnya mempunyai ambisi. Dalam pepatah, mending mundur sementara untuk maju ke medan perang dan menang.
Ketiga, Jokowi punya modal kuat karena didukung oleh media massa.  Hampir semua media massa memberitakan positif setiap langkah Jokowi, entah memang begitu kenyataannya atau sekadar agenda setting media atas Jokowi. Yang jelas pemberitaan media mempunyai peran yang sangat signifikan untuk meningkatkan elektabilitas Jokowi.
Dalam hal ini Jokowi dan orang-orang disekitarnya hanya perlu bersabar dan menahan ambisi politik hanya untuk kepentingan sesaat saja. Politik memang sebuah permainan yang membutuhkan strategi jitu untuk maraihnya. Maka, jangan paksa Jokowi. (mbs)

Nurudin,  dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur.


Comments :

0 comments to “Posisi Dilematis Jokowi”