Senin, Oktober 21, 2013

Involusi Perubahan Politik

Masyarakat kita akhir-akhir ini dibuat bingung dengan merebaknya kasus-kasus politik yang muncul silih berganti. Dengan kata lain, belum selesai sebuah kasus diproses atau diputus pengadilan sudah muncul kasus lain yang susul-menyusul. Ini belum termasuk proses perubahan dinamika politik menjelang Pemilu 2014.
Untuk menyebut contoh coba kita cermati lebih serius pemberitaan di media massa (cetak dan elektronik). Belum lagi kasus Century, Kasus konflik Partai Demokrat yang melibatkan MN,  AM dan AU tertangani,  sudah muncul kasus tangkap tangan Akil Mochtar (mantan ketua Mahkamah Konstitusi). Itu belum termasuk penyelesaian kasus Korupsi Kolusi dan nepotisme (KKN) yang menimpa dinasti Ratu Atut (Gubernur Banten).
Masyarakat bisa jadi bertanya, mengapa sampai begitu? Mengapa pula kasus-kasus itu muncul silih berganti menjelang Pemilu? Apa memang data-data yang terungkap baru ditemukan? Jawaban sederhana adalah karena semua itu kasus politik, sehingga ada kepentingan politik pula yang mengitarinya.


Involusi
Mendiskusikan soal involusi politik, kita diingatkan pada pendapat Clifford Geertz. Ia pernah menulis buku  berjudul Agricultural Involution: The Processes of Ecological  Change in Indonesia (1963). Meskipun buku lama dan membahas masalah pertanian, tetapi bisa dikontekskan dalam proses politik kekinian.
Buku itu sebenarnya bercerita tentang perubahan-perubahan yang terus dilakukan dalam lapangan pertanian di Indonesia. Pada pemerintahan Hindia Belanda (1619-1942) -- sebagaimana yang dikaji dari buku ini --   pernah membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia. Produk-produk Jawa itu sangat dibutuhkan dan laku keras. Namun demikian, pemerintah Hindia-Belanda tak berhasil mengembangkan ekspor secara luas meskipun produknya sangat dibutuhkan dunia. Itu terjadi karena program tersebut  tidak ikut mengubah secara fundemantal ekonomi pribumi.
Jika bisa diringkas, berbagai kebijakan pertanian telah dilakukan di Indonesia, bahkan saat sekarang. Namun demikian, perubahan-perubahan itu dilakukan tanpa menyentuh substansi persoalan utamanya. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi kepada petani sementara persoalan utamanya ada pada perlindungan harga dasar gabah atau kedelai yang mencekik petani dan hanya menguntungkan pedagang.
Termasuk di sini pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Persoalannya bukan terletak pada pemberian BLT itu sebagai konsekuensinya. Masalahnya, adakah perberdayaan masyarakat agar mereka bisa berdaya menghadapi setiap perubahan dan gejolak  harga BBM. Masyarakat menerima  BLT, namun harga kebutuhan pokok terus naik tentu tidak banyak manfaatnya, bukan?
Tak terkecuali dengan peristiwa politik yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan. Banyak peristiwa politik silih berganti bermunculan. Ada memang perubahan namun peristiwa yang muncul begitu derasnya tanpa dibarengi dengan penyelesaian yang substansial. Itulah yang dinamakan involusi perubahan politik. Ada memang perubahan politik (misalnya munculnya kasus-kasus yang mengitari para pejabat negara), namun penyelesaiaannya tidak menyentuh secara substansial apalagi jika berkaitan dengan “kekuatan politik” yang handal.

Mencari Sebab
Sebenarnya, kita tidak perlu heran mengapa proses perubahan politik muncul silih berganti? Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan, pertama, kita masih hidup dalam masyarakat yang siap menang dan tidak siap kalah. Kalaupun ada pernyataan bersama siap menang dan siap kalah itu hanya ada dalam dokumen tertulis. Sehingga kejadian yang menimpa seorang politisi akan dibela oleh kelompok yang dekat dengan politisi itu. Seolah munculnya sebuah kasus  dianggap mencoreng kewibawaan dan kredibilitas kelompok yang dekat dengan politisi itu.
Bahkan kelompok pembelanya seolah harus membela habis-habisan karena menganggap musuh politiknya juga punya niat terselubung; bukan menyelesaikan kasus tetapi hanya karena yang terkena kasus itu lawan politiknya saja. Dari sini sudah jelas bisa dilihat penyelesaiaanya jika hanya sekadar menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru.
Kedua, ada agenda tersebunyi dibalik setiap pengungkapan kasus. Misalnya, jika yang sedang punya kasus itu dari kalangan partai penguasa (sebut saja Partai Demokrat), partai pengusung itu harus mencari alasan untuk menhantam lawan politiknya dengan kasus lain.
Kasus yang menimpa Ratu Atut (Gubernur Banten) beserta dinastinya ditanggapi dingin oleh Partai Golkar (PG), tetapi dijadikan alat politik oleh partai lain yang ingin memojokkan PG. Saya tidak bermaksud membela PD atau PG karena ini semua juga terjadi pada partai-partai lain. Sementara Partai Keadilan Sejarahtera (PKS) yang dahulunya dianggap partai bersih dengan munculnya beberapa kasus yang menyangkut mantan ketua umumnya sudah ikut mencoreng muka partai “kuning-hitam” tersebut. Hemat kata, peristiwa politik muncul dibuat mainan atau menghabisi lawan politik dan bukan untuk menyelesaikan masalah secara substansial.
Melihat kenyataan ini, masyarakat boleh kecewa lantaran para elit politiknya sibuk sendiri. Persoalan apakah di masyarakat terjadi gejolak atau mengeluh soal kebutuhan pokok tidak jadi permasalahan penting bagi para elit itu. Kita justru khawati, jika di masyarakat timbul apatisme yang berkepanjangan akibat eskalasi kekecewaan yang menumpuk. Jika hal ini terjadi, suatu saat akan terjadi ledakan kekecewaan yang membutuhkan  penyaluran.  

Sumber:  Nurudin, Harian Bhirawa, 21 Oktober 2013


Comments :

0 comments to “Involusi Perubahan Politik”