Masyarakat
kita akhir-akhir ini dibuat bingung dengan merebaknya kasus-kasus politik yang
muncul silih berganti. Dengan kata lain, belum selesai sebuah kasus diproses
atau diputus pengadilan sudah muncul kasus lain yang susul-menyusul. Ini belum
termasuk proses perubahan dinamika politik menjelang Pemilu 2014.
Untuk
menyebut contoh coba kita cermati lebih serius pemberitaan di media massa
(cetak dan elektronik). Belum lagi kasus Century, Kasus konflik Partai Demokrat
yang melibatkan MN, AM dan AU
tertangani, sudah muncul kasus tangkap
tangan Akil Mochtar (mantan ketua Mahkamah Konstitusi). Itu belum termasuk penyelesaian
kasus Korupsi Kolusi dan nepotisme (KKN) yang menimpa dinasti Ratu Atut
(Gubernur Banten).
Masyarakat
bisa jadi bertanya, mengapa sampai begitu? Mengapa pula kasus-kasus itu muncul
silih berganti menjelang Pemilu? Apa memang data-data yang terungkap baru
ditemukan? Jawaban sederhana adalah karena semua itu kasus politik, sehingga
ada kepentingan politik pula yang mengitarinya.
Involusi
Mendiskusikan
soal involusi politik, kita diingatkan pada pendapat Clifford Geertz. Ia pernah
menulis buku berjudul Agricultural Involution: The Processes of
Ecological Change in Indonesia
(1963). Meskipun buku lama dan membahas masalah pertanian, tetapi bisa
dikontekskan dalam proses politik kekinian.
Buku
itu sebenarnya bercerita tentang perubahan-perubahan yang terus dilakukan dalam
lapangan pertanian di Indonesia. Pada pemerintahan Hindia Belanda (1619-1942)
-- sebagaimana yang dikaji dari buku ini -- pernah
membawa produk pertanian dari Jawa yang subur ke pasar dunia. Produk-produk
Jawa itu sangat dibutuhkan dan laku keras. Namun demikian, pemerintah Hindia-Belanda
tak berhasil mengembangkan ekspor secara luas meskipun produknya sangat
dibutuhkan dunia. Itu terjadi karena program tersebut tidak ikut mengubah secara fundemantal ekonomi
pribumi.
Jika
bisa diringkas, berbagai kebijakan pertanian telah dilakukan di Indonesia,
bahkan saat sekarang. Namun demikian, perubahan-perubahan itu dilakukan tanpa
menyentuh substansi persoalan utamanya. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi
kepada petani sementara persoalan utamanya ada pada perlindungan harga dasar
gabah atau kedelai yang mencekik petani dan hanya menguntungkan pedagang.
Termasuk
di sini pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Persoalannya bukan terletak pada pemberian BLT
itu sebagai konsekuensinya. Masalahnya, adakah perberdayaan masyarakat agar
mereka bisa berdaya menghadapi setiap perubahan dan gejolak harga BBM. Masyarakat menerima BLT, namun harga kebutuhan pokok terus naik
tentu tidak banyak manfaatnya, bukan?
Tak
terkecuali dengan peristiwa politik yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan.
Banyak peristiwa politik silih berganti bermunculan. Ada memang perubahan namun
peristiwa yang muncul begitu derasnya tanpa dibarengi dengan penyelesaian yang
substansial. Itulah yang dinamakan involusi perubahan politik. Ada memang
perubahan politik (misalnya munculnya kasus-kasus yang mengitari para pejabat
negara), namun penyelesaiaannya tidak menyentuh secara substansial apalagi jika
berkaitan dengan “kekuatan politik” yang handal.
Mencari Sebab
Sebenarnya,
kita tidak perlu heran mengapa proses perubahan politik muncul silih berganti?
Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan, pertama,
kita masih hidup dalam masyarakat yang siap menang dan tidak siap kalah. Kalaupun
ada pernyataan bersama siap menang dan siap kalah itu hanya ada dalam dokumen
tertulis. Sehingga kejadian yang menimpa seorang politisi akan dibela oleh
kelompok yang dekat dengan politisi itu. Seolah munculnya sebuah kasus dianggap mencoreng kewibawaan dan kredibilitas
kelompok yang dekat dengan politisi itu.
Bahkan
kelompok pembelanya seolah harus membela habis-habisan karena menganggap musuh
politiknya juga punya niat terselubung; bukan menyelesaikan kasus tetapi hanya
karena yang terkena kasus itu lawan politiknya saja. Dari sini sudah jelas bisa
dilihat penyelesaiaanya jika hanya sekadar menyelesaikan masalah dengan membuat
masalah baru.
Kedua, ada agenda tersebunyi dibalik
setiap pengungkapan kasus. Misalnya, jika yang sedang punya kasus itu dari
kalangan partai penguasa (sebut saja Partai Demokrat), partai pengusung itu
harus mencari alasan untuk menhantam lawan politiknya dengan kasus lain.
Kasus
yang menimpa Ratu Atut (Gubernur Banten) beserta dinastinya ditanggapi dingin
oleh Partai Golkar (PG), tetapi dijadikan alat politik oleh partai lain yang
ingin memojokkan PG. Saya tidak bermaksud membela PD atau PG karena ini semua
juga terjadi pada partai-partai lain. Sementara Partai Keadilan Sejarahtera
(PKS) yang dahulunya dianggap partai bersih dengan munculnya beberapa kasus
yang menyangkut mantan ketua umumnya sudah ikut mencoreng muka partai
“kuning-hitam” tersebut. Hemat kata, peristiwa politik muncul dibuat mainan atau
menghabisi lawan politik dan bukan untuk menyelesaikan masalah secara
substansial.
Melihat
kenyataan ini, masyarakat boleh kecewa lantaran para elit politiknya sibuk
sendiri. Persoalan apakah di masyarakat terjadi gejolak atau mengeluh soal
kebutuhan pokok tidak jadi permasalahan penting bagi para elit itu. Kita justru
khawati, jika di masyarakat timbul apatisme yang berkepanjangan akibat eskalasi
kekecewaan yang menumpuk. Jika hal ini terjadi, suatu saat akan terjadi ledakan
kekecewaan yang membutuhkan penyaluran.
Sumber: Nurudin, Harian Bhirawa, 21 Oktober 2013
Comments :
0 comments to “Involusi Perubahan Politik”
Posting Komentar