Senin, Januari 29, 2018

Pilkada Jatim Tanpa Isu SARA

Oleh Nurudin
(Harian Bhirawa, 9 Januari 2018)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan  melibatkan 17 pemilihan Gubernur, 115 Bupati, dan 39 Walikota tahun 2018 ini sangat menyedot perhatian  masyarakat. Beberapa alasannya antara lain; pertama, Pilkada menjadi salah satu tolok ukur dan indikator untuk menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Tak heran, jika Parpol yang berkepentingan pada tahun 2019 sangat ambisius untuk memenangkan persaingan.
Kedua, Pilkada tahun ini masih diwarnai sisa-sisa peseteruan Pilpres 2014 yang membuat bangsa ini terbelah menjadi 2 bagian, antara pendukung dan penolak presiden terpilih (2014). Polarisasi 2 kelompok masyarakat itu terus riuh sampai sekarang. Bahkan bisa dikatakan, Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 menjadi titik kulminasi perseteruan dua kubu itu. Maka, berbagai upaya dilakukan masing-masing pihak untuk ikut memenangkan persaingan.


Untuk itu pulalah, mundurnya A. Azwar Anas sebagai kandidat Wakil Calon Gubernur (Cawagub) Jawa Timur (Jatim) yang berpasangan dengan Syaifullah Yusuf (Gus Iful) terjadi. Lepas dari motif apa di balik beredarnya foto tidak senonoh Anas di internet,  Bupati Banyuwangi itu tidak membantahnya. Jadi, masyarakat dibuat percaya bahwa itu fotonya. Isu yang berkembang atau yang dikembangkan adalah Azwar Anas dizalimi. Nasi sudah menjadi bubur, foto sudah beredar, dan Anas sudah mundur.  Foto lama yang beredar lagi itu tak lain  dampak perseteruan hiruk pikuk Pilkada Jatim 2018.

Isu Sara
Pilkada Jatim tahun ini selalu dan sangat menarik perhatian. Setidaknya ada beberapa sebab. Pertama, Jatim adalah wilayah religius. Tidak saja mayoritas masyarakatnya beragama Islam, tetapi karena di daerah ini tempat lahirnya organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Maka, setiap ada Pilkada, massa NU menjadi bahan  rebutan politisi. Pilkada daerah ini juga menjadi menarik karena selalu melibatkan kiai dalam setiap keputusan politik. Tidak saja, “restu” kiai yang menentukan apakah seorang kandidat akan maju menjadi calon, tetapi masyarakat juga sering melibatkan “instruksi” kiai dalam proses pemilihan.
Tidak itu saja, peran kiai di Jatim sangatlah besar. Seorang kandidat presiden dan wakil presiden sekalipun jangan menganggap remeh peran kiai jika ingin mendulang suara di daerah ini. Hal demikian tidak berarti bahwa masyarakat Jatim itu tidak terdidik, tetapi masih melihat kiai sebagai pihak yang menjadi penentu setiap gerak langkah kebijakan daerah dan bahkan “malati”.
Kedua, Pilkada Jatim tahun ini adalah puncak perseteruan antara Syaifullah dan Khofifah Indar Parawansa. Sebagaimana kita tahu  keduanya pernah terlibat dalam Pilkada Jatim pada tahun 2008 dan 2013.
Kehadiran dua kandidat terbaik NU itu akan melibatkan tidak saja kiai tetapi juga massa NU dan pesantren. Baik Gus Iful atau Khofifah mendapat restu kiai dan punya basis massa pesantren dan massa NU sendiri-sendiri. Saat saya mengikuti Mukmatar NU di Jombang 2015, nuansa politis sangatlah kental. Muktamar NU di Jombang  membuat beberapa kiai gelisah  karena sangat kental diseret ke wilayah politik. Pilkada Jatim tahun ini juga buntut dari persoalan politis di atas.
 Lepas dari itu semua,  Pilkada Jatim tidak akan sama dengan Pilkada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pilkada DKI Jakarta penuh dengan isu-isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA). Isu SARA di provinsi ibukota Indonesia itu menjadi “barang dagangan” laris dalam kompetisi politik. Isu itu dipicu lebih keras pasca gubernur  Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) “kepleset” mengutip ayat Al Maidah ayat 51 soal kepemimpinan dalam Islam. Isu itu tidak akan menggelinding jadi dagangan politik jika Ahok tidak berbicara tentang ayat yang sebenarnya hanya diperuntukkan untuk umat Islam.
Lepas dari siapa yang memicu, siapa yang menghembus-hembuskan, pihak mana yang ikut-ikutan menyebar isu-isu SARA, yang jelas Pilkada DKI penuh dengan kompetisi “tidak sehat”. Isu SARA setiaknya tidak akan masuk dalam wilayah Jatim.
Beberapa alasan yang bisa dikemukakan bahwa Jatim tidak akan muncul SARA antara lain; pertama, semua kandidat beragama Islam sebagai representasi massa di wilayah Jatim. Kalaupun ada kandidat non muslim pun,  nuansa SARA tidaklah sekental di DKI Jakarta. Isu SARA yang cenderung politis karena ketakutan kelompok tertentu pada Ahok. Ahok jika menjadi gubernur DKI sangat mungkin diprediksi menjadi presiden (siapapun gubernur DKI akan dikaitkan dengan pemilihan presiden). Sementara itu, problem lain Ahok  tidak saja karena dukungan para pengusaha yang secara ekonomi kuat untuk menguasai Indonesia, tetapi gaya kepemimpinannya yang agak sedikit “liar”. Akan lain persoalannya jika kandidat waktu itu selain Ahok, meski secara etnis dan agama sama.
Kedua, di Jatim peran kiai sangatlah kuat. Berbagai hiruk pikuk perseteruan Pilkada bisa diredam oleh peran kiai. Buktinya, tiga kali “perseteruan” antara Gus Iful dan Khofifah yang memperebutkan suara NU tidak akan membuat massa itu terbelah. Kiai tidak saja perekat dalam kehidupan sosial tetapi juga politik. Disamping itu, masyarakat Jatim bisa dikatakan tingkat religiusitasnya tinggi. Daerah ini juga tidak mempunyai heterogenitas tinggi sebagaimana DKI.

Faktor Personal
Maka, Pilkada Jatim adalah pertarungan kapasitas individu dan basis dukungan massa.  Saat ini, calon selain Gus Iful dan Khofifah belum muncul. Ini membuktikan bahwa dua orang itu memang mempunyai kualitas personal yang bisa dipertanggungjawabkan dengan dukungan basis massa yang sama-sama luas. Jika Gubernur Soekarwo (Pakde Karwo) bisa menjabat dua periode bersama Gus Iful, itu juga tak lain karena pengaruh dukungan massa NU yang cenderung banyak di Jatim.
Gus Iful dan Khofifah sama-sama pernah menjadi menteri, juga sama-sama pernah memimpin organisasi sayap NU. Keduanya juga pernah sama-sama menjadi anggota legislatif dan fungsionaris Parpol yang perannya tidak bisa dianggap remeh. Maka, jika ada kandidat partai diluar pendukung dua orang itu, bisa jadi  hanya akan menjadi penyerta saja jika tidak ingin kalah, kecuali dengan dukungan “mesin politik” yang mumpuni. Yang jelas Pilkada Jatim adalah tolok ukur dimana isu SARA tidak hidup di daerah ini.  

 Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “Pilkada Jatim Tanpa Isu SARA”