Oleh Nurudin
(Harian Bhirawa, 9 Januari 2018)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan melibatkan 17 pemilihan Gubernur, 115 Bupati, dan 39 Walikota tahun 2018 ini sangat menyedot perhatian masyarakat. Beberapa alasannya antara lain; pertama, Pilkada menjadi salah satu tolok ukur dan indikator untuk menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Tak heran, jika Parpol yang berkepentingan pada tahun 2019 sangat ambisius untuk memenangkan persaingan.
Kedua, Pilkada tahun ini
masih diwarnai sisa-sisa peseteruan Pilpres 2014 yang membuat bangsa ini
terbelah menjadi 2 bagian, antara pendukung dan penolak presiden terpilih
(2014). Polarisasi 2 kelompok masyarakat itu terus riuh sampai sekarang. Bahkan
bisa dikatakan, Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 menjadi titik kulminasi
perseteruan dua kubu itu. Maka, berbagai upaya dilakukan masing-masing pihak
untuk ikut memenangkan persaingan.
Untuk itu pulalah, mundurnya A.
Azwar Anas sebagai kandidat Wakil Calon Gubernur (Cawagub) Jawa Timur (Jatim) yang
berpasangan dengan Syaifullah Yusuf (Gus Iful) terjadi. Lepas dari motif apa di
balik beredarnya foto tidak senonoh Anas di internet, Bupati Banyuwangi itu tidak membantahnya.
Jadi, masyarakat dibuat percaya bahwa itu fotonya. Isu yang berkembang atau
yang dikembangkan adalah Azwar Anas dizalimi. Nasi sudah menjadi bubur, foto
sudah beredar, dan Anas sudah mundur. Foto lama yang beredar lagi itu tak lain dampak perseteruan hiruk pikuk Pilkada Jatim
2018.
Isu Sara
Pilkada Jatim tahun ini selalu dan
sangat menarik perhatian. Setidaknya ada beberapa sebab. Pertama, Jatim adalah wilayah religius. Tidak saja mayoritas
masyarakatnya beragama Islam, tetapi karena di daerah ini tempat lahirnya
organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Maka, setiap ada Pilkada, massa NU
menjadi bahan rebutan politisi. Pilkada
daerah ini juga menjadi menarik karena selalu melibatkan kiai dalam setiap
keputusan politik. Tidak saja, “restu” kiai yang menentukan apakah seorang
kandidat akan maju menjadi calon, tetapi masyarakat juga sering melibatkan
“instruksi” kiai dalam proses pemilihan.
Tidak itu saja, peran kiai di Jatim
sangatlah besar. Seorang kandidat presiden dan wakil presiden sekalipun jangan
menganggap remeh peran kiai jika ingin mendulang suara di daerah ini. Hal
demikian tidak berarti bahwa masyarakat Jatim itu tidak terdidik, tetapi masih
melihat kiai sebagai pihak yang menjadi penentu setiap gerak langkah kebijakan
daerah dan bahkan “malati”.
Kedua, Pilkada Jatim tahun
ini adalah puncak perseteruan antara Syaifullah dan Khofifah Indar Parawansa. Sebagaimana
kita tahu keduanya pernah terlibat dalam
Pilkada Jatim pada tahun 2008 dan 2013.
Kehadiran dua kandidat terbaik NU
itu akan melibatkan tidak saja kiai tetapi juga massa NU dan pesantren. Baik
Gus Iful atau Khofifah mendapat restu kiai dan punya basis massa pesantren dan
massa NU sendiri-sendiri. Saat saya mengikuti Mukmatar NU di Jombang 2015,
nuansa politis sangatlah kental. Muktamar NU di Jombang membuat beberapa kiai gelisah karena sangat kental diseret ke wilayah
politik. Pilkada Jatim tahun ini juga buntut dari persoalan politis di atas.
Lepas dari itu semua, Pilkada Jatim tidak akan sama dengan Pilkada
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Pilkada DKI Jakarta penuh dengan isu-isu
Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA). Isu SARA di provinsi ibukota
Indonesia itu menjadi “barang dagangan” laris dalam kompetisi politik. Isu itu
dipicu lebih keras pasca gubernur Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) “kepleset” mengutip ayat Al Maidah ayat 51 soal kepemimpinan
dalam Islam. Isu itu tidak akan menggelinding jadi dagangan politik jika Ahok
tidak berbicara tentang ayat yang sebenarnya hanya diperuntukkan untuk umat
Islam.
Lepas dari siapa yang memicu, siapa
yang menghembus-hembuskan, pihak mana yang ikut-ikutan menyebar isu-isu SARA,
yang jelas Pilkada DKI penuh dengan kompetisi “tidak sehat”. Isu SARA setiaknya
tidak akan masuk dalam wilayah Jatim.
Beberapa alasan yang bisa
dikemukakan bahwa Jatim tidak akan muncul SARA antara lain; pertama, semua kandidat beragama Islam
sebagai representasi massa di wilayah Jatim. Kalaupun ada kandidat non muslim
pun, nuansa SARA tidaklah sekental di
DKI Jakarta. Isu SARA yang cenderung politis karena ketakutan kelompok tertentu
pada Ahok. Ahok jika menjadi gubernur DKI sangat mungkin diprediksi menjadi
presiden (siapapun gubernur DKI akan dikaitkan dengan pemilihan presiden).
Sementara itu, problem lain Ahok tidak
saja karena dukungan para pengusaha yang secara ekonomi kuat untuk menguasai
Indonesia, tetapi gaya kepemimpinannya yang agak sedikit “liar”. Akan lain
persoalannya jika kandidat waktu itu selain Ahok, meski secara etnis dan agama
sama.
Kedua, di Jatim peran kiai
sangatlah kuat. Berbagai hiruk pikuk perseteruan Pilkada bisa diredam oleh
peran kiai. Buktinya, tiga kali “perseteruan” antara Gus Iful dan Khofifah yang
memperebutkan suara NU tidak akan membuat massa itu terbelah. Kiai tidak saja
perekat dalam kehidupan sosial tetapi juga politik. Disamping itu, masyarakat
Jatim bisa dikatakan tingkat religiusitasnya tinggi. Daerah ini juga tidak
mempunyai heterogenitas tinggi sebagaimana DKI.
Faktor Personal
Maka, Pilkada Jatim adalah
pertarungan kapasitas individu dan basis dukungan massa. Saat ini, calon selain Gus Iful dan Khofifah
belum muncul. Ini membuktikan bahwa dua orang itu memang mempunyai kualitas
personal yang bisa dipertanggungjawabkan dengan dukungan basis massa yang
sama-sama luas. Jika Gubernur Soekarwo (Pakde Karwo) bisa menjabat dua periode
bersama Gus Iful, itu juga tak lain karena pengaruh dukungan massa NU yang
cenderung banyak di Jatim.
Gus Iful dan Khofifah sama-sama
pernah menjadi menteri, juga sama-sama pernah memimpin organisasi sayap NU.
Keduanya juga pernah sama-sama menjadi anggota legislatif dan fungsionaris
Parpol yang perannya tidak bisa dianggap remeh. Maka, jika ada kandidat partai
diluar pendukung dua orang itu, bisa jadi hanya akan menjadi penyerta saja jika tidak
ingin kalah, kecuali dengan dukungan “mesin politik” yang mumpuni. Yang jelas Pilkada
Jatim adalah tolok ukur dimana isu SARA tidak hidup di daerah ini.
Type rest of the post here
Comments :
0 comments to “Pilkada Jatim Tanpa Isu SARA”
Posting Komentar