Ada ungkapan yang nyaris diyakini
kebenarannya, “Tak ada sepakbola Indonesia tanpa kerusuhan”. Sejak dahulu
hingga kini, baku hantam antar pemain, pemain dengan wasit, pemain dengan suporter
atau antar suporter seolah sudah menjadi jamak. Setelah kerusuhan antara Bonex
dengan Arema, beberapa waktu lalu baku hantam melanda Derby Yogya antara suporter PSIM dengan PSS
Sleman.
Ketika ada kerusuhan, biasanya yang
disalahkan melulu hanya suporter, panitia pelaksana, atau kurangnya sportivitas
pada diri para pemain. Lalu, komisi disiplin menjatuhkan sanksi tertentu yang
tidak lepas dari subjektivitasnya. Jadilah, kerusuhan dan penyelesaiaanya hanya
berkutat pada lembaga atau badan yang berkait erat dengan sepak bola tersebut.
Pertanyaanya kemudian adalah mengapa
kita jarang yang mencari akar persoalan kerusuhan tersebut di luar dunia sepak
bola? Mengapa melulu hanya sepakbola yang dijadikan kambing hitam? Mengapa pula
ada yang berkomentar sinis, “bubarkan sepak bola”. Di sinilah kita perlu
melihat persoalan secara lebih jeli dengan langsung menohok ke akar
persoalannya.
Eskalasi
Kekecewaan
Menyalahkan dunia sepak bola sebagai salah satu biang keladi kerusuhan
tidak salah, tetapi membabi buta dengan menjadikan sepak bola sebagai pihak
yang paling disalahkan adalah jangan. Sebab, kerusuhan dalam sepak bola hanya
sebagian kecil alat untuk menyampaikan kekecewaan masyarakat selama ini.
Sementara akarnya bisa jadi ada di luar sepak bola.
Tidak bisa dipungkiri, masyarakat kita terus
dipupuk kekecewaan demi kekecewaan. Misalnya, elit politik yang terus
mementingkan diri sendiri, pemerintah yang tidak peka atas kebutuhan masyarakat
atau gaji anggota DPR dan menteri naik drastis. Di sisi lain, masyarakat kian
menjerit karena kebutuhan hidup kian sulit dan mahal. Anggota DPR yang saat
kampanye memberikan janji-janji untuk kepentingan rakyat sekarang sudah lupa
diri. Setiap hari media massa kita menyuguhkan informasi semakin banyaknya
pejabat dan mantan pejabat yang terlibat korupsi.
Fenomena di atas adalah kondisi yang
tidak diharapkan masyarakat. Jika semua itu nyata terjadi, maka kondisi itu
telah mengecewakan masyarakat. Namun
demikian, masyarakat hanya bisa rasan-rasan (nggerundel) tanpa tahu kemana ia harus menyalurkan uneg-unegnya
itu. Ke anggota dewan yang representasi
kepentingan rakyat juga tidak akan mudah diwujudkan. Dari hari ke hari kekecewaan
itu semakin menumpuk dan belum bisa tersalurkan.
Kerusuhan yang pernah terjadi pada tahun
1998 menjadi titik kulminasi tertinggi atas kekecewaan masyarakat pada kondisi
diri dan lingkungannya waktu itu. Meskipun melanggar hukum, pelampiasan
kekecewaan itu tidak bisa dibendung. Dari sini, seharusnya kita bisa mengambil
hikmah.
Katarsis
Perhelatan sepak bola dimanapun membuat
kondisi suporter sangat cair; bisa berteriak histeris ketika timnya menang, ekspresif
saat salah seorang tim kesayangannya memasukkan gol, menangis ketika tim
idolanya kalah. Suporter adalah cermin dimana mereka bisa menumpahkan emosi dan
perasaannya atas apa yang terjadi pada sepak bola. Mereka menumpahkan
kegembiraannya dengan berjingkrak-jingkrak setelah
timnya menang. Sebelumnya menahan diri penuh emosi, apalagi timnya berada dalam
konsisi underdog, tidak diunggulkan,
selalu dalam tekanan, dan tidak punya pemain-pemain bintang. Begitu menang,
luapan emosi meluap-luap.
Suproter sepak bola Indonesia tidak jauh
berbeda. Hanya masalahnya, ikatan emosional dengan tim tidak dibangun dari
rasionalitas berpikir yang cerdas. Tetapi lebih karena kecintaan emosi yang
membabi buta. Tekanan psikologis kadang terjadi dari kondisi di luar sepak
bola.
Para suproter juga masyarakat biasa yang
mengalami ketertekanan hidup. Perhelatan sepak bola dengan segala hiruk
pikuknya menjadi lahan subur untuk meluapkan emosi. Lihat saja, di jalan-jalan
menuju stadion yang dilalui mereka sangat bising, klakson memekakkan telinga,
satu-satunya jalan dipenuhi konvoi sepeda motor, menerobos lampu merah, dan memarahi
pengendara lain yang tidak mau memberi jalan.
Kondisi seperti itu begitu rawan untuk
terjadinya tindak kekerasan. Kekecewaan
pada jalannya pertandingan sepak bola hanya salah satu cara untuk meluapkan
emosi. Dalam kajian sosial politik disebut dengan katarsis. Katarsis adalah
tempat penyaluran uneg-uneg, kekecewaaan, kritik, saran atas himpitan yang
dirasakannya. Orang marah salah satu
katarsisnya dengan memukul.
Kekecewaaan yang kian menumpuk akan dengan
mudah dilepaskan para suporter sepak bola. Kejadian yang ada di lapangan atau
sesuatu yang berkait erat dengan timnya hanya salah satu pemicu kecil bagi
munculnya kerusuhan. Padahal, akar persoalannya bisa jadi berasal dari kekecewaan-kekecewaan yang selama ini
dirasakan tetapi tidak sempat dilampiaskan. Sepak bola menjadi saluran penting
untuk melakukan katarsis. Tak heran,
karena kekecewaan kian menumpuk bersamaan dengan itu timnya kalah dilampiaskanlah semuanya.
Menekan kekecewaan adalah harus. Ini
penting dilakukan agar pelampiasan katarsis dalam skala yang lebih besar bisa
dihindari. Jadi, tidak pada tempatnya pula keganasan suporter hanya dilihat
dari kacamata sepak bola. Jangan-jangan penyebab utamanya di luar sepak bola?
Daboribo
Damai Boleh Ributpun Boleh
hehehe..piss pak