Selasa, November 18, 2008

Ketika “Kambing Hitam” Kekerasan Milik Pers

KEKERASAN yang dimaksud dalam tulisan ini tidak hanya kekerasan dalam arti fisik dan langsung seperti memukul, merobek, menembak, membakar, melukai, membom, memperkosa, melakukan kerusuhan dan konflik sosial lainnya. Tetapi, kekerasan di sini harus juga meliputi kekerasan kultural dan struktural yang pernah dikemukakan oleh Johan Galtung, Direktur Trascend Peace and Development Network.
Kekerasan yang tergolong kultural antara lain adalah tulisan yang menuturkan kebencian, xenophobia/kebencian terhadap orang asing, kompleks penyiksaan/ persecution complex, mitos dan legenda, pahlawan perang, agama sebagai pembenaran untuk berperang dan perasaan sebagai “kelompok terpilih”. Sedangkan kekerasan struktural meliputi kemiskinan, sistem yang berdasar, eksploitasi, kesenjangan pemilikan materi secara mencolok, aphartheid, kolonialisme, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pengasingan dan represi politik, serta situasi yang membuat orang terpisah walaupun mereka ingin tetap berkumpul.
Sedangkan media massa dalam hal ini mencakup pengertian luas yakni meliputi media cetak dan elektronik. Meskipun media massa secara sempit hanya berarti media cetak. Dengan demikian, apa yang kita perbincangkan dalam tulisan ini meliputi apa yang bisa disaksikan, didengar atau dibaca lewat berbagai sarana media massa.
Karena media massa produknya adalah berupa audio visual, tulisan/ foto, dan audio maka pembahasan ini juga mencakup hal tersebut. Dengan kata lain, tulisan yang bisa menuturkan kebencian sudah masuk dalam wilayah kekerasan. Tak terkecuali dengan gambar/foto atau suara yang didengar lewat radio.
Demikian juga aktualisasi yang bisa menimbulkan kekerasan; fisik, kultural atau struktural. Penilaian sepihak menganggap bahwa media massa (cetak dan elektronik) tidak ikut andil dalam menyulut tindak kekerasan, adalah tindakan yang terburu-buru. Tetapi menjadikan media sebagai satu-satunya alat yang membakar kemarahan adalah tindakan yang tidak bijaksana. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa kita perlu mendudukkan media secara wajar dan menilainya secara adil pula.
Penyebabnya adalah, selama ini ketika media dianggap turut menyulut tindak kekerasan di masyarakat; publik mereaksinya dengan ekspresi yang beragam: mengkritik, memberi masukan, menyudutkan sampai menghujatnya. Sebaliknya, sangatlah sedikit orang yang menganggap bahwa media juga ikut mempertinggi derajat kemanusiaan, membuat cerdas masyarakat dan mendorong kemajuan peradaban masyarakat.
Tuduhan bahwa media punya andil dalam menyulut kekerasan tidaklah salah. Tetapi menjadikan media satu-satunya penyulut kekerasan tidak sepenuhnya benar. Sebab sebenamya, media juga punya potensi ikut mendinginkan suasana "panas" di masyarakat. Media adalah agen. Dengan demikian, media massa adalah salah satu di antara pihak yang ikut menyulut, sekaligus mendinginkan suasana politik atau kecenderungan masyarakat pada tindak kekerasan. Sedangkan faktor di luar itu (yang ikut punya andil menyulut kekerasan) ada kemajemukan masyarakat, Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA), peran pemerintah, provokator, aktor intelektual dan lain-lain.
Memasuki masa kebebasan pers pasca Orde Baru, kecenderungan media massa ikut menyulut kekerasan semakin transparan. Keadaan itu juga memunculkan kecenderungan media untuk berperilaku menurut keinginannya sendiri, lepas dari keinginan masyarakat. Media akhimya lebih memilih apa yang dibutuhkan masyarakat (what's the people need) dan bukan pada apa yang masyarakat inginkan (what's the people want). Masyarakat membutuhkan hiburan atau informasi lain yang mengarah pada pemuasan kebutuhannya. Sementara itu kodrat masyarakat juga menginginkan suasana tenteram, damai, harmonis dan tanpa konflik.
Hidup tidaknya media akhirnya sangat ditentukan oleh masyarakat. Dampaknya, media akan memformat apa yang dibutuhkan masyarakat. Ketika masyarakat membutuhkan informasi politik di era kebebasan dan reformasi, media politik banyak bermunculan. Tetapi kemudian, banyak media “tiarap” pelan-pelan ketika masyarakat sudah “bosan” dengan persoalan politik. Kemudian beberapa media politik atau media baru memformat diri atau memfokuskan pada "eksploitasi" seks.
Fenomena semacam itu, merupakan satu bukti di mana media massa hanya menuruti keinginan "pasar" tanpa mengindahkan nilai-nilai sosial masyarakat yang seharusnya juga harus dikedepankan.
Kasus-kasus di mana media massa hanya menuruti kehendak pasar inilah yang kemudian dijadikan legitimasi masyarakat bahwa media massa tidak lepas dari katalisator munculnya kekerasan di masyarakat. Menurut analisis Freudian, pada diri manusia punya potensi untuk hidup dan mati. jika pendapat ini kita teruskan, maka pada diri manusia mempunyai potensi untuk bertindak amoral, kekerasan sekaligus untuk bertindak baik.

Media dan Tindak Kekerasan
Tak bisa dipungkiri pengaruh media dalam mengubah dan perilaku masyarakatnya juga berkorelasi erat dalam kasus munculnya kekerasan selama ini. Paling tidak bisa diidentifikasi sebab-sebab sebagai berikut;
Pertama, bias yang terjadi dalam pola liputan. Seperti diketahui, peristiwa yang terjadi dilapangan itu direkam oleh seorang wartawan, kemudian diolah di "otaknya" lalu ditulis dalam media massa. Dari proses pengamatan peristiwa yang terjadi di lapangan sampai munculnya pemberitaan itulah berbagai referensi dan persepsi wartawan akan ikut menentukan seperti apa berita dikonstruksikan.
Sama-sama meliput konflik yang ada di Maluku, masing-masing orang berbeda dalam mengkonstruk sebuah berita. Apalagi sistem media yang bersangkutan juga ikut menentukan aktualisasi apa yang dituangkan seorang wartawan.
Sama-sama meliput daerah konflik, media yang berafiliasi pada Islam dengan media independen atau media non Islam jelas akan berbeda nuansa pemberitaannya. Penelitian yang dilakukan Agus Sudibyo, dkk. (2001) terhadap empat media cetak nasional yakni Kompas, Suara Pembaruan, Media Dakwah dan Republika pada kasus Konflik di Maluku, Bentrok di Katapang, Kerusuhan Kupang dan Pengeboman masjid Istiqlal menunjukkan perbedaan. (Konflik di Maluku, misalnya, yang melibatkan orang Islam dan Kristen akan disikapi berlainan oleh masing-masing media cetak tersebut.
Meskipun berbeda dalam aktualisasi di media masing-masing, penelitian itu mengatakan ada persamaan nuansa dalam peliputannya. Yakni munculnya prasangka (prejudice) yang berlebihan dari media massa terhadap kasus konflik tersebut. Koran Islam akan cenderung mengungkapkan korban yang berada di pihak kaum Muslimin dan menganggap kalangan non Islam menjadi pihak yang bertanggung jawab, tanpa mau tahu berapa pula jumlah korban yang diakibatkan oleh umat Islam sendiri.
Dengan meneliti Medan Wacana (Apa yang Terjadi), Penyampaian Wacana (Siapa yang Berbicara), Mode Wacana (Peran Bahasa yang Digunakan), terungkap adanya prasangka itu. Sehubungan dengan Mode Wacana yang dikembangkan oleh masing-masing media penuh dengan pilihan kata yang sangat tendensius, sebagai contoh, caption photo yang digunakan sebagai berikut; "Korban pembantaian terhadap umat Islam di Tobelo. Setelah Jantungnya Diambil"; "Korban Pembantaian Terhadap Umat Islam Dibakar Hidup-hidup di dalam Masjid Al Ikhlas di Desa Togolia Kecamatan Tobelo"; "Muslimah pun jadi korban Kesadisan Kristen Tobelo".
Termasuk pula pilihan kata antara lain; cincang, seret, bantai, gantung dan sejenisnya; menunjukkan betapa media punya andil dalam menciptakan kecenderungan memancing sikap dan perilaku kekerasan pada sebuah kelompok tertentu di masyarakat. Tak terkecuali pilihan kata yang disiarkan televisi, misalnya: "Kau aja Don, makan tu sop. Biar badan lu kaya' Kingkong" (Warkop Millenium, Indosiar, 3/6/01), "Kemarin kambing saya melahirkan. Anaknya mirip dia!" (Ketoprak Humor, RCTI, 9/6/01).
Simak juga pilihan judul yang dilakukan oleh sebuah harian di Jakarta, "Dia juga Presiden Provokator" (22/4/01), “Alvin lie itu Mickey Mouse" (24/4/01), "Lopa Mabuk Jabatan" (28/4/01), "Maklumat = Maklum Sudah Mau Tamat" (30/5/0 1) dan lain-lain.
Kedua, kebijakan media yang bersangkutan. Di samping akan mempengaruhi bagaimana wartawan menuang berita, ia juga berkait dengan kebijakan umum yang dilakukan. Kesuksesan Layar Emas yang pemah ditayangkan RCTI yang penuh adegan kekerasan dan berhasil meraup iklan, menimbulkan keinginan stasiun yang lain untuk memunculkan film serupa. Muncullah acara lain yang serupa. Bahkan RCTI sendiri pernah menayangkan Layar Emas tiga kali seminggu.
Contoh perilaku kekerasan yang dilakukan oleh seorang anak setelah menonton sinetron Joshua juga membuktikan itu semua. Tak lain karena adanya orientasi media yang lebih mementingkan pasar ketimbang orientasi ideal. Meskipun dalam beberapa hal ini harus dimaklumi. Tetapi apakah nanti media mau bertanggung jawab seandainya keterpurukan di masyarakat terjadi yang secara langsung juga diakibatkan oleh apa yang disiarkan media massa? Sebab, ada kecenderungan pihak media untuk berkilah terhadap kenyataan ini.
Ketiga, pencampuradukkan antara fakta dan opini. Tak bisa dipungkiri sebuah ulasan penting dilakukan dan menjadi daya tarik tersendiri bagi sebuah berita (cetak khususnya). Namun, jika hal itu dilakukan secara berlebihan jelas akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Inginnya memberitahukan kepada khalayak kalau terjadi sebuah peristiwa. Tetapi secara tidak langsung justru menggiring pembaca untuk bertindak sesuatu.
Ini akan mengakibatkan munculnya penokohan (profiling) yang berlebihan. Masalahnya, penokohan yang berhubungan dengan fisik sering menimbulkan masalah. Penokohan fisik misalnya bibir sensual, tubuh sintal, montok, mata nakal. Sedangkan penokohan non fisik lain misalnya ia adalah guru, seorang bapak, ketua RT dan sebagainya.
Menyebutkan korban perkosaan bertubuh sintal, montok, berparas cantik, wama kulit kuning seolah ingin mempersepsikan kepada pembaca bahwa karena cantiklah wanita itu diperkosa. Perkosaan ini memperoleh pembenaran bahwa faktor utama terjadinya peristiwa itu ada pada wanita. Padahal ada juga lelaki yang nafsunya tidak kalah "beringas". Atau justru wanita itu memang punya hobby diperkosa?
Tragisnya, jika penokohan tersebut dilakukan untuk meliput sebuah kejadian yang berhubungan dengan suku, etnis, ideologi dan agama seperti tindak kekerasan atau konflik masyarakat yang terjadi di Aceh, Maluku, Poso, Sambas dan daerah lain. jelas ini akan mempengaruhi penilaian masyarakat akan sebuah kejadian. Peliputan yang berat sebelah dalam membela suku Dayak pada konflik Sambas tentu akan menanamkan bibit “dendam” bagi masyarakat Madura terhadap suku Dayak dan sebaliknya.
Keempat, belum dihilangkannya trial by the press. Istilah ini juga bisa disebut opini atau klaim seolah-olah sudah pasti (sebelum adanya kepastian putusan pengadilan) Misalnya, "Eurico Gutteres disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Timor-Timur.” Jelas ini bisa diklaim sebagai penghakiman media pada seseorang secara pasti. Mengapa tidak disebutkan siapa sumber yang mengatakan itu? Misalnya pejabat tinggi di Timor-Timur mengatakan hal itu. Klaim seperti ini (sebelum ada pemutusan pengadilan salah tidaknya Gutteres) akan menimbulkan kemarahan massanya. Dikhawatirkan media ikut dituduh memanas-manasi situasi. Bukankah media punya andil dalam menciptakan kekerasan? Tak terkecuali dengan katakata “perusuh Aceh”, "Preman Yogya". Seolah Aceh adalah sarang perusuh sehingga setiap ada kerusuhan akan dikaitkan dengan Aceh. Atau setiap ada kejadian yang berhubungan dengan preman akan menuduh Yogya sebagai biang keladinya. Padahal dua daerah tersebut nyaris tidak seperti digambarkan di atas.

Upaya Minimalisasi
Kekerasan memang sulit dihapuskan. Yang bisa dilakukan adalah meminimalkannya. Jika kita sepakat bahwa media massa ikut andil dalam menyulut tindak kekerasan di masyarakat, ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan untuk menguranginya: pertama meskipun terbilang klasik, jurnalisme cover both sides (meliputi dua sisi yang berbeda secara seimbang) dan peliputan secara adil masih menjadi salah satu cara yang baik.
Aktualisasinya, jika terjadi konflik atau tindak kekerasan media tidak boleh membela satu pihak secara tidak seimbang, meskipun hal demikian masih relatif sifatnya. Sedangkan keadilan, media harus menampilkan sumber berita yang sepadan. Misalnya, ketika ada dua etnis yang terlibat konflik, jika jurnalis mewawancarai pimpinan salah satu pihak, pimpinan pihak lain juga harus diwawancari. Termasuk, keadilan yang dilihat dari jenis tulisan yang disajikan. Ini baru adil. Tak bisa dipungkiri, kebebasan pers yang sedang dinikmati di Indonesia saat ini memang bagai sebuah anugerah terindah yang selama ini diidam-idamkan, setelah sebelumnya dikekang dalam jangka waktu lama. Sebelumnya, peristiwa konflik di dacrah Indonesia seperti Aceh, Maluku, Ambon nyaris tidak boleh diberitakan. Saat ini, daerah tersebut bagai "selebritis" yang tak lepas dari pengamatan pers.
Kesulitan yang kadang dihadapi oleh para jumalis adalah mereka kesulitan untuk mendapatkan sumber dari dua belah pihak secara adil. Oleh karena itu, apa boleh buat terkadang media hanya bisa merekam pemberitaan konflik Maluku dari satu sisi saja. Keputusan ini terpaksa diambil mengingat tidak semua nara sumber mau diwawancarai. Padahal jurnalis hanya ingin melakukan konfirmasi sehubungan dengan berita yang berat sebelah atau data-data mentah yang didapat di lapangan.
Ketidakseimbankan yang terpaksa diambil inilah pada akhirnya membuat masyarakat marah, menuding media hanya mau menang sendiri. Padahal tak kalah sulitnya dengan mengatasi konflik itu sendiri.
Kedua, memupuk pelaksanaan jurnalisme damai (peace journalism). Ia secara sadar mengadopsi agenda perdamaian, bukan perang. Jurnalisme damai mencoba memetakan konflik pra kekerasan, mengidentifikasi banyak pihak dan berbagai penyebab, sehingga membuka jalan bagi dialog untuk menciptakan perdamaian. jurnalisme perdamaian ini memanusiawikan seluruh isi konflik dan berupaya mendokumentasikan berbagai kepalsuan dan penderitaan dan juga memprakarsai perdamaian (Lukas Luwarso dkk., 2000). Jurnalisme perdamaian mempunyai tugas utama yakni memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dan menganalisis tujuan-tujuan mereka dan memberikan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka (Zain Hae, 2000).
Tetapi jurnalisme damai hanya bisa terwujud paling tidak dengan syarat; wartawan yang tangguh dalam menegakkan kode etik dan memiliki wawasan memadai menyangkut masalah yang diliput; media pers yang serius, yang tidak mementingkan bisnis dan politis dan bukan wartawan yang hanya mengedepankan sensasi, dramatisasi dan meliput konflik serta tindak kekerasan hanya untuk kepentingan bisnis. Jurnalisme damai ini juga secara otomatis akan mengurangi dampak kekerasan di masyarakat. Sebab, tak bisa dipungkiri kekerasan juga bisa dipicu oleh media massa.
Ketiga, memberikan ruang gerak yang bebas kepada wartawan untuk meliput tanpa ketertekanan. Ini juga masih dilematis. Sebab, masa efouria memberi kecenderungan jumalis meliput apa saja dan di mana saja serta pada siapa saja. Kondisi ini akan memunculkan sikap mau menang se'ndiri dalam meliput suatu kejadian.
Tidak adanya keleluasaan tentu tidak akan memberikan ruang gerak jurnalis untuk meliput. Tak terkecuali jika ini didukung oleh pelitnya nara sumber ketika dimintai komentar. Padahal bisa jadi komentarnya itu untuk menyeimbangkan data yang sudah didapat oleh wartawan. Dan bisa jadi sebagai sarana untuk konfirmasi tentang data yang didapat di lapangan. Kalau sudah begini, karena tuntutan teknis, maka tak ada jalan lain, kecuali harus mengirimkan berita apa adanya kepada redaktur. Beruntung kalau redaktur tetap meminta keseimbangan berita, kalau tidak?
Keempat, meskipun sangat relatif, self cencorship (sensor diri) menjadi jaminan pula agar kekerasan tidak melebar. Ini bisa dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: apakah apa yang diberitakan nanti akan menyulut kemarahan publik? Apakah yang akan diberitakan sudah seimbang dan tidak memanas-manasi situasi? Apakah berita yang akan disajikan tidak membahayakan moral publik? Apakah berita ini tidak semata hanya sensasi tetapi sudah selayaknya demikian faktanya? Apakah kami tidak punya kepentingan terselubung atas pemuatan berita tersebut? jika jawabannya ya, maka media yang bersangkutan telah melakukan sensor diri.
Kelima, dilakukan social punishment (hukuman sosial) pada media. Jika kita menganggap sebuah media massa hanya memprovokasi agar tejadi tindak kekerasan mengapa tidak "diboikot" saja? Tidak membaca media itu adalah salah satu tindakan melakukan hukuman sosial. Masalahnya, tidak semua orang sadar dan mau untuk melakukannya.
Jika seseorang mengkritik banyak media massa yang "mengumbar" jumalisme pornografi lewat foto, gambar atau tulisan yang memancing asosasi pembacanya pada seks, tetapi ia membaca bahkan berlangganan atau menonton acaranya, berarti tidak ada konsistensi antara apa yang diucapkan dengan perilakunya.
Apa yang disajikan dalam tulisan ini jelas tidak mudah untuk dilakukan. Semua juga tergantung tidak hanya pada media saja, tetapi juga kedewasaan masyarakat. Tak terkecuali dengan sikap pemerintahnya. Pelarangan oleh pemerintah justru akan semakin membuat media "garang". Diktum, "Semakin diarang semakin dilanggar" akan membuktikan itu semua. (tulisan ini pernah dimuat majalah Visi Fisip UNS, Solo, 2003)

Comments :

0 comments to “Ketika “Kambing Hitam” Kekerasan Milik Pers”