Selasa, November 18, 2008

Media Massa dan Penanggulangan Bencana

Saat memberikan kuliah beberapa waktu lalu, saya ditanya seorang mahasiswa, “Apakah media massa bisa mengatasi bencana? Apakah tidak justru menakut-nakuti masyarakat?”.

Persuasi Media
Sebenarnya, diakui atau tidak, media massa (cetak dan elektronik) punya pengaruh kuat yang membekas dalam pikiran masyarakat. Bahkan bisa dikatakan, media massa punya kekuatan penuh untuk membentuk seperti apa masyarakat. Tidak itu saja, media juga bisa menentukan wajah seperti apa masyarakat di masa depan. Dengan kata lain, media massa berperan dalam memajukan sejarah peradaban manusia.
Asumsi tersebut juga berarti bahwa media massa berperan besar dalam memulihkan bencana alam (termasuk banjir yang melanda di kota Solo dan sekitarnya). Artinya, media langsung atau tidak, ikut ambil bagian dalam memulihkan trauma masyarakat, mengembalikan kondisi seperti semula atas banjir tersebut. Dengan kekuatannya media telah memberitakan bencana itu sampai usaha penggalangan dana.
Karena peran medialah kemudian masyarakat berbondong-bondong memberikan bantuan doa, tenaga dan materi. Lewat peristiwa yang memilukan tersebut seluruh komponen masyarakat menaruh perhatian besar terhadap bencana yang melanda di sebagian wilayah Indonesia itu. Tak hanya mahasiswa, tetapi juga pelajar, pengamen masyarakat umum ikut ambil bagian dalam penggalangan dana. Sungguh sebuah pemandangan yang menyentuh perasaan kita.
Setiap ada bencana alam atau lingkungan, yang sering menjadi perhatian masyarakat kita adalah jumlah bantuan dana yang tersalurkan ke lokasi bencana, sabotase bantuan, korupsi bantuan, dan bagaimana lambannya pemerintah memulihkan kondisi pasca bencana karena terlalu birokratis Tetapi, di luar itu semua, tidak banyak yang mengakui bahwa media massa berperan besar dalam membantu memulihkan kondisi akibat bencana.
Kekuatan Media Massa
Dalam merespon soal bencana alam, peran dan sumbangan media massa jelas dan nyata. Sebagai mana dikatakan oleh Harold D. Laswell (1948), media massa punya fungsi surveillance of the environment (pengawasan lingkungan). Pengawasan lingkungan ini beroperasi dalam dua cara yakni warning or beware surveillance (pengawasan peringatan) dan instrumental surveillance (pengawasan instrumental) (Nurudin, 2007).
Pengawasan peringatan wujud nyatanya adalah pemberitaan media massa tentang akan munculnya gejala bencana alam. Pemberitaan tentang banjir seringkali akan diikuti ulasan atau pendapat mengapa bencana itu bisa terjadi. Misalnya, saluran sungai tersumbat, penebangan pohon yang semakin liar, atau tiadanya peresapan air yang cukup di kota karena sudah diaspal dan banyaknya bangunan tanpa mengindahkan analisis dampak lingkungannya (AMDAL).
Dalam hal ini media massa justru berposisi sebagai alat preventif sejak awal. Ia telah memberikan pengawasan peringatan sebelum bencana alam terjadi. Kalau bencana akhirnya terjadi, media telah bertindak tidak saja memberikan bantuan dana (lewat dompet bencana yang dibuka di medianya) atau mendorong masyarakat untuk memberikan bantuan, tetapi telah berupaya mencegah korban yang lebih dahsyat dengan usaha preventif sebelum munculnya bencana tersebut.
Sementara itu, pengawasan instrumental wujud kongkritnya adalah pemberitaan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari. Pemberitaan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang meningkat drastis akibat bencana, dimana masyarakat bisa mencari bantuan dana untuk membangun sarana pendidikan yang hancur masuk dalam fungsi pengawasan instrumental ini. Sementara itu pemberitaan semakin langkanya kebutuhan sehari-hari akibat bencana alam juga tak luput dari pelaksanaan fungsi media sebagai pengawasan instrumental ini.
Media Massa Telah Berbuat, Bagaimana Kita?
Disamping peristiwa bencana banjir itu memang mempunyai nilai berita (news value) tinggi, media telah mampu pula untuk menggerakkan masyarakat menaruh perhatian pada sebuah bencana.. Media telah menjadi sarana penghubung antara mereka yang terkena korban bencana dengan keluarga yang masih hidup. Buktinya, tak sedikit keluarga yang sudah mengetahui apakah anggota keluarganya masih hidup atau sudah meninggal, dan sebagainya.
Fakta kuat lain yang memperkuat bahwa media lewat fungsi pengawasannnya ikut menyelesaikan kasus itu adalah pemberitaan yang gencar dan dibukanya “dompet peduli gempa banjir” di beberapa media massa kita. Dalam waktu yang relatif singkat sudah banyak media yang dijadikan sarana untuk mengumpulkan bantuan. Ratusan juta bahkan sampai puluhan milyar pun sudah dikumpulkan.
Apa yang dilakukan media massa tersebut dampaknya sungguh terasa. Masyarakat bersatu padu untuk memberikan sumbangan. Mereka tidak mempedulikan perbedaan yang konflik kepentingan yang selama ini terjadi di tengah mereka. Rasa kemanusiaan telah melunturkan sikap ego masing-masing pihak untuk hanya mau menang sendiri.
Perhatian masyarakat saat ini tertuju ke bencana banjir. Ini sesuai pula dengan asumsi teori agenda setting (agenda setting theory). Bahwa agenda media (media agenda) akan mempengaruhi agenda masyarakat (public agenda). Agenda media akhir-akhir ini adalah musibah banjir dan tanah lonsor, maka agenda pembicaraan masyarakat juga tidak jauh dari masalah tersebut.
Tidak itu saja, agenda media juga mempengaruhi agenda kebijakan (policy agenda). Pemerintah mau tidak mau wajib mengeluarkan kebijakan baru yang berkaitan dengan alokasi bantuan dana untuk mengatasi korban bencana alam itu. Ini memperkuat bukti bahwa media telah memainkan peranan yang tidak sedikit dalam menyelesaikan bencana banjir dan tanah longsor.
Peran media tidak sebatas sampai di situ sebenarnya. Memang media telah mampu menghimbau masyarakat untuk memberikan bantuan. Tetapi, media masih punya tugas berat. Tugas itu adalah ikut mengawasi perbaikan infrastruktur di wilayah yang terkena bencana. Bukan tidak mustahil, perbaikan infrastruktur akan membuka peluang “tangan-tangan tersembunyi” (invisible hand) ikut bermain di dalamnya. Artinya, jangan sampai uang dan bantuan yang sudah terkumpul itu dikorupsi oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.
Masalahnya, sejarah di negeri ini belum menunjukkan bahwa bantuan dana lepas dari “penyunatan” tidak saja oleh pemerintah, tetapi juga LSM yang seringkali berteriak “atas nama” rakyat. Media massa punya tugas untuk terus mengawasinya. Media tidak saja menjadi anjing penjaga (watch dog), tetapi media harus berani membuka peluang bagi proses penegakan hukum akibat kecurangan dalam bantuan bencana tersebut. Tentu saja dengan tetap mengibarkan bendera anti trial by the press dan semangat jurnalisme all sides (meliput dari banyak sisi yang berbeda secara seimbang) dan adil.Media massa telah berbuat, bagaimana dengan kita? (pernah dipublikasikan harian Solo Pos, 2008)

Comments :

0 comments to “Media Massa dan Penanggulangan Bencana”