Selasa, November 18, 2008

Meluasnya Kejahatan Sosial di TV

Beberapa waktu lalu, Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi menyoroti televisi yang dinilai berlebihan dalam menayangkan gambar kasus video porno anggota DPR Yahya Zaini (YZ) dengan penyanyi dangdut Maria Eva (ME). Di mata Hasyim, penayangan gambar tanpa pakaian terus-menerus merupakan kejahatan publisistik dan kekejaman keji terhadap keluarga yang bersangkutan serta mendidik sangat buruk pada anak-anak yang menontonnya di seluruh Indonesia. Tindakan YZ memang merupakan kesalahan terbatas, sedangkan penayangan berlebihan itu merupakan kejahatan sosial yang meluas.
Dalam beberapa tayangan infotainment, televisi menayangkan adegan tersebut berulang-ulang. Bisa dipahami kalau televisi ingin menyajikan realitas sesungguhnya dari apa yang terjadi. Intinya, televisi ingin objektif dalam mengungkapkan sebuah fakta yang terjadi meskipun kenyataannya justru sebaliknya.


Kebenaran dan Fiksi
Namun demikian, dan ini diakui oleh Louis Alvin Day dalam bukunya Ethics in media Communications (2003), sungguh tidak mudah bagi televisi untuk membedakan antara kebenaran (baca: fakta) dan fiksi dalam tayangannya. Dalam kenyatannya, televisi di Indonesia mencampuradukkan antara fakta dan fiksi tersebut. Pernyataan yang dibacakan oleh narator atau pembawa acara seringkali “menuduh” pihak tertentu dan mengarahkan pembaca untuk setuju dan tidak setuju terhadap realitas yang disajikannya. Meskipun, mereka merasa hanya sekadar memberikan ilustrasi dari apa yang disajikan. Kata-kata seperti “sungguh tragis”, “sayangnya”, “tidak disangka” dan sebagainya menjadi contoh kongkrit keberpihakan tersebut.

Jika kita melihat lebih jauh, karena orang-orang yang terlibat dalam acara infotainment itu tidak banyak yang berlatarbelakang jurnalistik. Dampaknya, mereka memproduksi acara yang penting penonton. Yang berlatarbelakng jurnalistik saja belum tentu bisa mempengaruhi bahwa berita seharusnya menampilkan fakta-fakta detail yang disajikan tanpa bermaksud menggiring pembacanya. Dalam hal ini kekuasaan produser sedemikian kuatnya.

Dalam kasus poligami yang dilakukan Aa Gym media massa telah berhasil memojokkan kiai itu dan mempengaruhi opini masyarakat untuk memprotesnya. Tidak salah memang, tetapi haruskah sepihak dalam memberitakan? Ini lepas dari setuju dan tidak setujunya terhadap poligami.
Maka, media tidak akan merasa bersalah dalam menayangkan “adegan bugil” YZ-ME yang diulang-ulang dalam acara infotainment di televisi kita akhir-akhir ini. Satu sebabnya, antara fakta dan fiksi sudah dicampuradukkan. Fakta tanpa fiksi memang kering, tetapi fiksi yang dicampuradukan dengan fakta menjadi kejahatan sosial. Sebab audience sangat sulit membedakan mana fakta dan mana fiksi.

Objektivitas
Membicarakan antara fakta dan fiksi kita perlu juga mempertanyakan, bagaimana dengan objektivitas tayangan televisi yang sudah seperti itu? Dalam beberrapa kasus, televisi itu jelas telah melanggar objektivitas tayangan. Infotainmet bukan tayangan film atau sinetron yang tidak perlu berpegang teguh pada objektivitas.

Westerstahl (McQuail, 2000), pernah meyodorkan bahwa yang dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.
Dengan demikian, informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata.

Jika kita melihat tayangan infotainment di televisi, dengan memakai kriteria objektif yang diajukan Westerstahl di atas, maka kita akan mengatakan tiadanya objektivitas atas sesuatu yang diberitakan.

Tentu saja, objektivitas di sini tak hanya sekadar ada fakta saja. Fakta telanjang bisa jadi justru berdampak buruk atas diri pemirsanya. Memang, setiap kejahatan dan tindak asusila perlu diungkap agar dampaknya lebih baik di masa yang akan datang. Tetapi, mengungkap sesuatu atas dasar ikatan emosional juga bukan tindakan yang bijaksana. Ini bukan masalah membela salah satu pihak, tetapi, mencoba mendudukkan bagaimana media massa kita perlu bersikap proporsional dalam memberitakan suatu kejadian.
Akibat pemberitaan yang tidak proporsional itu pula, ketidakadilan di masyarakat terjadi. Misalnya, mengapa masyarakat sangat memprotes Aa Gym yang nikah secara sah, disetujui istrinya dan memakai dananya sendiri sementara kasus yang menimpa YZ-ME yang dianggap “selingkuh”, tanpa persetujuan istrinya, memakai uang rakyat dibiarkan begitu rupa? Bukankah ini tindakan yang tidak adil dari masyarakat atas tayangan yang selama ini diberitakan? Bagaimana enerji kita begitu terkuras hanya mengurusi masalah poligami sementara korupsi yang menimpa anggota DPR dan jajaran pemerintah sering luput dari pengamatan kita?

Social Punishment
Mengapa tayangan infotainment televisi selama ini mengkhawatirkan? Sebab, televisi itu diciptakan untuk menghibur saja. Masyarakat menikmati acara televisi kebanyakan untuk mencari hiburan dan bukan yang lainnya. Mereka tidak begitu peduli apakah yang disajikan televisi itu fakta atau fakta yang “dibumbui” fiksi. Itulah realitas hiburan televisi kita. Bahkan Neil Postman pernah menyindir “televisi menghibur diri sampai mati”.

Memprotes televisi bukan berarti benci pada tayangannya. Namun demikian, tanpa pengelolaan yang bijak, televisi justru akan semakin memperburuk keadaan masyarakat. Memang memprotes televisi yang saat ini sudah menjadi “kebutuhan dasar” masyarakat tidak pada tempatnya, tetapi membiarkannya begitu saja juga bukan tindakan yang bijak. Memprotes pengelola televisi tak ubahnya seperti informasi yang masuk ke telinga kanan, keluar di telinga kiri. Sementara, memperotes pemerintah agar bertindak tegas sering dituduh melanggar kebebasan pers. Pemerintah sering berlindung di balik kebebasan pers untuk mengelak dari tuduhan tak peduli dengan keluhan masyarakat itu.

Lalu apa tindakan yang harus dilakukan karena televisi kenyataannya sudah seperti itu? Tindakan yang lebih konkrit adalah melakukan social punishment (hukuman sosial). Hukuman sosial ini memang menekankan pada kekuatan individu dalam mewujudkannya. Artinya, tanpa inisiatif pribadi, hukuman sosial itu tidak ada gunanya.
Misalnya, kalau kita tidak suka dengan acara infotainment tidak perlu menontonnya. Atau, matikan saja televisi. Melakukan hukuman sosial juga perlu kejujuran. Misalnya, bukan perilaku jujur jika kita sering memprotes acara itu, tetapi justru kita sendiri menontonnya. Ini artinya, kita tidak jujur.

Cara seperti itu juga untuk mendidik masyarakat untuk bersikap dewasa, bijak, konsisten dan kritis terhadap acara-acara televisi. Artinya, jika kita tidak suka terhadap suatu acara, kita tak perlu menontonnya. Atau sudah sanggupkan kita melakukan boikot pada acara-acara televisi?

Comments :

0 comments to “Meluasnya Kejahatan Sosial di TV”