“Orang boleh saja mengatakan bahwa Anda cukup mematikan layar kaca,
tetapi tidak ada cara yang mudah untuk melakukannya”
(Teresa Orange dan Louise O’Flynn).
Minggu lalu, saya melihat running text di Metro TV yang menginformasikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo berencana akan menerapkan larangan menoton televisi pada pukul 18.30-20.30 WIB. Ini dilakukan karena pada jam tersebut anak-anak sedang dan seharusnya belajar, bukan menonton televisi.
Pemerintah daerah Yogyakarta pada tahun 90-an juga pernah menggalakkan program itu dengan nama Jam Belajar Masyarakat (JBM) pada pukul 18.00-21.00 WIB. Bahkan himbauan itu disosialisasikan dengan ditulis di berbagai tempat. Setelah JBM diterapkan, ada penelitian menarik yang dilakukan oleh seorang dosen IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa JBM ternyata tidak efektif. Bahkan JBM berubah menjadi Jam Belajar Menonton Televisi (JBMT). Artinya, kebanyakan masyarakat justru menonton televisi jada jam itu, meskipun ada larangan (Nurudin, 1997:63).
Niat untuk memberikan peringatan masyarakat seperti yang dilakukan di kota Solo dan Yogyakarta tersebut memang baik. Tetapi, himbauan untuk mematikan televisi -- yang sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat -- juga tidaklah gampang dilaksanakan. Sebab ada banyak variabel yang ikut memengaruhinya.
Sebenarnya, orang tua juga tidak kalah cerewetnya untuk melarang anak-anaknya menonton televisi. Alasannya, televisi kita saat ini disesaki dengan tayangan-tayangan sinetron dan hiburan lain yang tidak mencerdaskan. Anehnya, tema tayangan seperti sinetron hampir seragam; kalau tidak urusan cinta, atau konflik orang tua dengan anak, ya persoalan hamil di luar nikah. Yang berbahaya, seolah-olah tayangan televisi itu dianggap masyarakat sebagai kejadian yang sebenarnya.
Diperlukan Diet Media
Anak-anak memang sangat rentan terhadap pengaruh media. Namun, tidak semua anak-anak bisa terpengaruh. Menurut Teresa Orange dan Louise O’Flynn dalam bukunya The Media Diet for Kids (2007), ditemukan bahwa ada beberapa tipe anak yang gampang terpengaruh media. Misalnya, tipe anak yang suka bersolek atau memperhatikan penampilan, anak yang sedang bingung, anak yang tak punya teman untuk bermain atau merasa minder. Semua jenis tipe anak tersebut sangat mudah terpengaruh media, terutama televisi.
Bahkan orang tua juga berperan serta membuka peluang anak terpengaruh televisi. Orang tua yang punya waktu sedikit untuk anak-anaknya, anak yang sedang mengalami periode tak tenang (misalnya teror, perceraian dan kematian orang tua), anak yang biasa terkurung dalam rumah, anak yang sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah, orang tua yang kecanduan media, dan anak yang terjepit diantara orang tua yang berpisah berpotensi besar terpengaruh. Dampaknya, anak-anak seperti itu akan punya peluang untuk melampiaskan diri mengonsumsi media hiburan terlalu besar.
Jika kemunculan dampak negatif tayangan televisi itu dibebankan pada orang tua ada beberapa cara yang harus dilakukan mereka. Orange dan O’Flynn (2007) memberikan kiat bahwa tak ada cara ampuh selain orang tua harus selalu mengontrol konsumsi media anak alias melakukan diet ketat media pada anak-anak.
Tak terkecuali, jangan menaruh televisi di kamar anak yang belum berusia 12 tahun. Yang lainnya, jangan biasakan waktu makan dengan menonton televisi, dan jangan biasakan anak menonton televisi sebelum dan sesudah tidur. Dan yang paling penting membuat jadwal dimana keluarga sepakat untuk tidak menonton televisi.
Bagaimana dengan Anjuran itu?
Dengan demikian, anjuran agar masyarakat mematikan televisi pada pukul 18.30-20.30 WIB tidak saja tak efektif tetapi juga akan sulit dilaksanakan. Ada beberapa alasan, pertama, ketergantungan masyarakat pada televisi selama ini sangatlah tinggi. Ini sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Mayoritas pecandu sinetron kita umumnya adalah mereka yang tingkat intelektualnya tidak begitu tinggi. Alasannya, menonton acara-acara seperti itu tidak membutuhkan perangkat kecerdasan tertentu. Asal secara inderawi sempurna. Televisi juga biasanya ditonton hanya untuk hiburan semata. Itu pulalah kenapa acara-acara sinetron dan bentuk hiburan lain ditayangkan pada jam prime time.
Kedua, terkait dengan kebaradaan anak-anak, bisa jadi anak-anak menurut saja keinginan orang tua untuk tidak menonton televisi. Ini disebabkan karena mereka umumnya takut. Coba seandainya anak-anak tidak begitu takut sama mereka atau orang tua tidak ada di rumah, tak ada yang bisa menjamin mereka tidak menonton televisi.
Ketiga, anak-anak tergantung televisi karena orang tua juga pencandu televisi.
Bagaimana mungkin orang tua akan melarang anak-anaknya agar tak menonton “Cinderella (Apakah Cinta Hanyalah Mimpi?)” di SCTV, “Candy” di RCTI, yang disiarkan setiap jam prime time kalau ibunya juga kecanduan pada acara tersebut? Tentu, anak tidak mudah untuk dilarang menonton televisi, bukan?
Yang Perlu Dilakukan
Jika pemerintah kota Solo serius agar anak-anak di kota ini tidak terpengaruh tayangan negatif televisi ada beberapa pilihan yang bisa dijadikan prioritas. Pertama, melakukan kampanye anti televisi. Karena televisi punya dampak negatif yang besar, perlu dilakukan kampanye anti televisi. Langkah ini tak bermaksud melarang masyarakat tak boleh menonton televisi, tetapi bertujuan memberikan penyadaran mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan ceramah, simulasi, atau bentuk-bentuk kampanye yang lain. Tentu saja, jika memang pemeritah kota Solo serius memikirkan dampak negatif tayangan televisi pada anak-anak.
Kedua, investasikan dana untuk media literacy. Ini kegiatan yang tak kalah pentingnya. Kegiatan ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang melek media. Bahwa masyarakat bisa menimbang, memilih acara atau media apa yang berguna bagi dirinya menjadi target penting.
Pasang iklan, spanduk, himbauan, membina lembaga-lembaga non pemerintah untuk teribat aktif sangat baik dilakukan. Tentu saja, ini tidak akan lepas dari dana. Pemerintah kota jelas harus punya keberanian menginvestasikan dananya untuk kegiatan tersebut. Lembaga independen seperti LSM misalnya, perlu didanai untuk melakukan riset yang bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan apa yang baik untuk langkah antisipasi ke depan. Bukankah dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dalam era otonomi daerah ini sudah meningkat tajam?
Ketiga, memberikan social punishment pada televisi. Artinya, masyarakat harus terus dihimbau untuk memboikot televisi. Tentu saja, kegiatan ini tidak mudah dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar sadar akan pengaruh negatif televisi pada anak-anaklah yang berani dan mampu melakukannya. Masalahnya, tidak semua masyarakat mau melakukan boikot pada televisi. Artinya juga, jangan ngomong kalau tidak suka sinetron, tetapi diam-diam menontonya.
Dari kegiatan ini televisi telah terkena hukuman sosial masyarakat. Pemkot jelas punya kepentingan atas hal ini. Program kebijakan terhadap dampak negatif televisi pada anak-anak juga harus mengarah ke situ. Hal yang tak kalah pentingnya adalah mengajak anggota DPRD untuk ikut ambil bagian dalam program tersebut. Bukankah mereka wakil rakyat yang tugasnya melindungi masyarakat (termasuk dampak negatif tayangan televisi)? Inilah beberapa catatan yang layak direnungkan. Yang jelas, jangan sampai ada anggapan masyarakat, bahwa pelarangan itu dilakukan karena Pemkot punya kepentingan teselubung dibaliknya.
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Menghentikan Teror TV pada Anak
Selasa, November 18, 2008
Menghentikan Teror TV pada Anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Menghentikan Teror TV pada Anak”
Posting Komentar