Setelah melalui perdebatan alot,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) disahkan
menjadi Undang-undang. Atas UU di atas, ada perbedaan sikap fraksi DPR antara
lain; PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar (menerima), Demokrat, PPP, PKB (menerima
dengan catatan), dan Gerindra, PKS, PAN
(menolak). Meskipun diterima menjadi UU, peraturan itu terbuka untuk direvisi.
Sebagai sebuah produk Undang-undang
yang dihasilkan dalam situasi panas perseteruan politik tingkat tinggi, tentu
menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontra ini telah menimbulkan suasana tidak
kondusif di masyarakat. Kepentingan terselubung pun berlindung di balik sikap pro
kontra itu.
Dasar Negara
Sebenarnya, kelebihan dari UU ini
adalah adanya geliat untuk menyuarakan kembali ke asas tunggal Pancasila. Ini
penting dilakukan karena ada gejala di masyarakat untuk memakai asas lain di
luar Pancasila. Kebijakan ini juga pernah digembar-gemborkan saat awal
pemerintahan Orde Baru (Orba). Kemunculan Orba adalah koreksi total atas
penyelewengan Pancasila oleh Orde Lama (Orla). Maka, kembali ke asas tunggal
Pancasila menjadi “barang dagangan” pemerintah Orba.
Begitu gencarnya dorongan kembali ke
dasar negara ini seolah negara dianggap memaksakan diri. Salah satu contohnya
adalah tidak diperbolehkannya Organisasi Politik (Orpol) dan Ormas berasas
selain Pancasila. Bahkan, lambang Partai Politik (Parpol) zaman Orba harus
mengacu pada Pancasila (PPP pernah mengganti lambang ambar ka’bah menjadi
bintang).
Alasan kembali ke Pancasila telah
membuat pemerintahan Orba menjelma menjadi kekuatan politik tak terkontrol.
Pemerintah Orba dengan asas tunggalnya itu bisa menafsirkan sendiri pelaksanaan
dasar organisasi jika tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Bahkan tuduhan
subversif sering dialamatkan pada organisasi yang dianggap merongrong
kewibawaan negara, meskipun hanya ingin berbeda pendapat. Ruang gerak
masyarakat sangat terbatas. Semua karena harus mengacu pada Pancasila sesuai
tafsir pemerintah. Bukan salah Pancasilanya, tetapi penafsiran tunggal
pemerintah atas Pancasila dalam pelaksanaannya telah menjadi bumerang pemerintahan
presiden Soeharto.
Pasca tumbangnya Orba (1998), geliat
kebebasan begitu deras dan terbuka. Ibarat kuda yang selama ini dikekang,
kemudian lepas dari kandang. Segala sesuatu yang berbau Orba perlu dihilangkan,
dan politik yang dipraktikkan Orba juga perlu diminimalisir. Maka
tumbuhlah berbagai organisasi yang
berdasarkan kepentingan dan ikatan-ikatan kelompok.
Kebebasan dalam mendirikan organisasi
telah membuat masyarakat menuntut haknya. Pancasila tidak lagi menjadi acuan
asas organisasi. Ini dilakukan masyarakat karena dianggap sebagai bagian dari
kebebasan berpendapat dan berorganisasi sebagaimana dijamin dalam
undang-undang. Jika ada yang melarang dan menyeragamkan, dianggap antek Orba.
Ternyata tumbuhnya organisasi itu
bukan tak ada masalah. Yang menjadi persoalan kemudian adalah karena
organisasi-organisasi tersebut kemudian berseberangan dengan kebijakan atau
bahkan melawan pemerintah. Seandainya, organisasi (yang bukan berdasar
Pancasila) itu tidak berseberangan atau melawan kebijakan pemerintah sekarang,
saya meyakini dampaknya tidak sedahsyat saat ini dan isu pembubaran organisasi
“terlarang” karena tidak berasas Pancasila tidak akan muncul kuat.
Memang, tidak bisa dipungkiri negara
ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah final sejak
Indonesia berdiri. Jika ada organisasi yang mengancam keutuhan negara ini tentu
pemerintah dengan alat-alat negara harus bertindak tegas. Masalahnya, tindakan
tegas penerintah bisa akan dianggap represif dan membiarkan banyak organisasi
yang dianggap mengancam keutuhan negara sudah mulai bermunculan dan tak terbendung.
Maka, kemunculan UU Nomor 2 Tahun 2017 yang harusnya biasa saja justru
menimbulkan pro dan kontra.
Problematis
Lalu, mengapa UU nomor 2 Tahun 2017
itu bermasalah? Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dikemukakan; pertama,
UU itu dipahami sebagian masyarakat menjadi alat pemerintah untuk
membungkam gerakan-gerakan kritis yang melawan kebijakannya. Terlebih lagi, mereka
yang menentang dengan yang mendukung UU tersebut sudah sangat transparan.
Mereka yang mendukung adalah mereka yang berada di belakang kebijakan
pemerintah, sementara yang menolaknya adalah mereka yang selama ini
berseberangan dengan pemerintah.
Kedua, UU itu problematis
karena akan memberikan wewenang pemerintah sangat tinggi melebihi lembaga
pengadilan. Ini setidaknya muncul pada kelompok yang menentang munculnya UU
tersebut. Bagi kelompok ini, pemerintah sekarang tidak jauh berbeda dengan
penerintah Orba yang dianggap otoriter. Kecemasan ini muncul karena UU akan
bisa dijadikan alat pemerintah untuk bertindak represif.
Sekadar contoh nyata adalah Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) zaman Orba. SIUPP ini akhirnya dijadikan
“alat” pemerintah Orba untuk membungkam kebebasan pers. Jadi, pers berada dalam
ketiak kekuasaan. Segala kegiatan masyarakat yang berbeda dengan pemerintah
akan menyingkir atau disingkirkan. Penelitian saya tentang Kasus Pembebasan
Pers periode 1986-1994 (1996) menunjukkan betapa kuat dan sepihak pemerintah
Orba dalam menekan dan menyingkirkan pers yang kritis. Ini baru pers, tak
terkecuali dengan organisasi kemasyarakatan yang lain. Pemerintah Orba terkesan
tanpa kontrol secara efektif.
Waktu itu, peran lembaga pengadilan
nyaris tidak ada. Pengadilan pun berada di bayang-bayang kekuasaan pemerintah.
Hanya otoritas pemerintahlah yang memengaruhi kehidupan berbangsa dan
bernegara. SIUPP yang bertentangan dengan UUD 1945 nyaris terus dilanggengkan,
yang penting sesuai dengan kebijakan pemerintah. Mereka yang menolak UU nomor 2
Tahun 2017 itu merasa khawatir jika pemerintah sekarang akan menjelma menjadi
pemerintah Orba. Yang jelas, pro kontra UU ini telah berdampak pada perseteruan
politik antar pihak-pihak yang berkepentingan.
Cermin Kekuasaan
Tak bisa dipungkiri, setiap produk
aturan atau UU di negara mana pun dan pada kepemimpinan siapa pun akan mencerminkan
rezim yang berkuasa. Jika zaman Orba itu ada banyak undang-undang yang
dijadikan alat untuk merepresi masyarakat, karena memang pemerintannya seperti
itu. Jika pers zaman Orba dikekang, itu juga karena pemerintah tidak ingin akan
perbedaan atau rongrongan atas kekuasaannya.
Pasca Orba, ada revisi UU Pokok Pers
(nomor 40 tahun 1999) karena tuntutan zaman dan bisa memberikan atmosfir
kebebasan bagi media. UU Pokok Pers yang
berbeda dengan zaman Orba itu mencerminkan watak kekuasaan masing-masing rezim.
Diperbolehkannya masyarakat mendirikan Ormas dan Orpol yang menjamur pasca Orba
juga mencerminkan watak kekuasaan pada waktu itu.
Maka, melihat pro kontra UU Nomor 2
Tahun 2017 sebenarnya juga cerminan watak pemerintahnya. Jika UU itu dijadikan
alat untuk membubarkan Ormas yang bertentangan dengan pemerintah di luar
pengadilan, juga tak jauh dari watak itu. Jika ada yang memahami bahwa UU di
atas bisa dipakai untuk mengatur dan mengembalikan negara kesatuan yang
cenderung akan “pecah” itu juga watak perintannya. Tapi di manapun dan kapan
pun pemerintah dan alat negara tidak menginginkan ada “matahari kembar” dalam
sebuah kekuasaan politik. Undang-undang
adalah alat negara untuk mengatur dalam kehidupan masyarakat.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bhirawa, 31 Oktober 2017)
Type rest of the post here
Comments :
0 comments to “Undang-Undang itu Mencerminkan Watak Rezim”
Posting Komentar