Selasa, Oktober 31, 2017

Undang-Undang itu Mencerminkan Watak Rezim



     
         UU nomor 2 tahun 2017 menimbulkan pro dan kontra. Artikel ini tidak menganalisis pro dan kontra yang sudah politis itu, tetapi melihat dari sisi lain. Bahwa  produk aturan yang dikeluarkan negara mencerminkan watak pemerintahnya. Bahkan UU itu termasuk alat negara untuk mengendalikan dan mengatur kehidupan masyarakat. Bahkan UU dan aturan lain itu mencerminkan watak sebuah rezim

Setelah melalui perdebatan alot, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) disahkan menjadi Undang-undang. Atas UU di atas, ada perbedaan sikap fraksi DPR antara lain; PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar (menerima), Demokrat, PPP, PKB (menerima dengan  catatan), dan Gerindra, PKS, PAN (menolak). Meskipun diterima menjadi UU, peraturan itu terbuka untuk direvisi.
Sebagai sebuah produk Undang-undang yang dihasilkan dalam situasi panas perseteruan politik tingkat tinggi, tentu menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontra ini telah menimbulkan suasana tidak kondusif di masyarakat. Kepentingan terselubung pun berlindung di balik sikap pro kontra itu.

Dasar Negara
Sebenarnya, kelebihan dari UU ini adalah adanya geliat untuk menyuarakan kembali ke asas tunggal Pancasila. Ini penting dilakukan karena ada gejala di masyarakat untuk memakai asas lain di luar Pancasila. Kebijakan ini juga pernah digembar-gemborkan saat awal pemerintahan Orde Baru (Orba). Kemunculan Orba adalah koreksi total atas penyelewengan Pancasila oleh Orde Lama (Orla). Maka, kembali ke asas tunggal Pancasila menjadi “barang dagangan” pemerintah Orba.
Begitu gencarnya dorongan kembali ke dasar negara ini seolah negara dianggap memaksakan diri. Salah satu contohnya adalah tidak diperbolehkannya Organisasi Politik (Orpol) dan Ormas berasas selain Pancasila. Bahkan, lambang Partai Politik (Parpol) zaman Orba harus mengacu pada Pancasila (PPP pernah mengganti lambang ambar ka’bah menjadi bintang).
Alasan kembali ke Pancasila telah membuat pemerintahan Orba menjelma menjadi kekuatan politik tak terkontrol. Pemerintah Orba dengan asas tunggalnya itu bisa menafsirkan sendiri pelaksanaan dasar organisasi jika tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Bahkan tuduhan subversif sering dialamatkan pada organisasi yang dianggap merongrong kewibawaan negara, meskipun hanya ingin berbeda pendapat. Ruang gerak masyarakat sangat terbatas. Semua karena harus mengacu pada Pancasila sesuai tafsir pemerintah. Bukan salah Pancasilanya, tetapi penafsiran tunggal pemerintah atas Pancasila dalam pelaksanaannya telah menjadi bumerang pemerintahan presiden Soeharto.
Pasca tumbangnya Orba (1998), geliat kebebasan begitu deras dan terbuka. Ibarat kuda yang selama ini dikekang, kemudian lepas dari kandang. Segala sesuatu yang berbau Orba perlu dihilangkan, dan politik yang dipraktikkan Orba juga perlu diminimalisir. Maka tumbuhlah  berbagai organisasi yang berdasarkan kepentingan dan ikatan-ikatan kelompok.
Kebebasan dalam mendirikan organisasi telah membuat masyarakat menuntut haknya. Pancasila tidak lagi menjadi acuan asas organisasi. Ini dilakukan masyarakat karena dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berorganisasi sebagaimana dijamin dalam undang-undang. Jika ada yang melarang dan menyeragamkan, dianggap antek Orba.
Ternyata tumbuhnya organisasi itu bukan tak ada masalah. Yang menjadi persoalan kemudian adalah karena organisasi-organisasi tersebut kemudian berseberangan dengan kebijakan atau bahkan melawan pemerintah. Seandainya, organisasi (yang bukan berdasar Pancasila) itu tidak berseberangan atau melawan kebijakan pemerintah sekarang, saya meyakini dampaknya tidak sedahsyat saat ini dan isu pembubaran organisasi “terlarang” karena tidak berasas Pancasila tidak akan muncul kuat.
Memang, tidak bisa dipungkiri negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah final sejak Indonesia berdiri. Jika ada organisasi yang mengancam keutuhan negara ini tentu pemerintah dengan alat-alat negara harus bertindak tegas. Masalahnya, tindakan tegas penerintah bisa akan dianggap represif dan membiarkan banyak organisasi yang dianggap mengancam keutuhan negara sudah mulai bermunculan dan tak terbendung. Maka, kemunculan UU Nomor 2 Tahun 2017 yang harusnya biasa saja justru menimbulkan pro dan kontra.

Problematis
Lalu, mengapa UU nomor 2 Tahun 2017 itu bermasalah? Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dikemukakan; pertama,  UU itu dipahami sebagian masyarakat menjadi alat pemerintah untuk membungkam gerakan-gerakan kritis yang melawan kebijakannya. Terlebih lagi, mereka yang menentang dengan yang mendukung UU tersebut sudah sangat transparan. Mereka yang mendukung adalah mereka yang berada di belakang kebijakan pemerintah, sementara yang menolaknya adalah mereka yang selama ini berseberangan dengan pemerintah.
Kedua, UU itu problematis karena akan memberikan wewenang pemerintah sangat tinggi melebihi lembaga pengadilan. Ini setidaknya muncul pada kelompok yang menentang munculnya UU tersebut. Bagi kelompok ini, pemerintah sekarang tidak jauh berbeda dengan penerintah Orba yang dianggap otoriter. Kecemasan ini muncul karena UU akan bisa dijadikan alat pemerintah untuk bertindak represif.
Sekadar contoh nyata adalah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) zaman Orba. SIUPP ini akhirnya dijadikan “alat” pemerintah Orba untuk membungkam kebebasan pers. Jadi, pers berada dalam ketiak kekuasaan. Segala kegiatan masyarakat yang berbeda dengan pemerintah akan menyingkir atau disingkirkan. Penelitian saya tentang Kasus Pembebasan Pers periode 1986-1994 (1996) menunjukkan betapa kuat dan sepihak pemerintah Orba dalam menekan dan menyingkirkan pers yang kritis. Ini baru pers, tak terkecuali dengan organisasi kemasyarakatan yang lain. Pemerintah Orba terkesan  tanpa kontrol secara efektif.
Waktu itu, peran lembaga pengadilan nyaris tidak ada. Pengadilan pun berada di bayang-bayang kekuasaan pemerintah. Hanya otoritas pemerintahlah yang memengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. SIUPP yang bertentangan dengan UUD 1945 nyaris terus dilanggengkan, yang penting sesuai dengan kebijakan pemerintah. Mereka yang menolak UU nomor 2 Tahun 2017 itu merasa khawatir jika pemerintah sekarang akan menjelma menjadi pemerintah Orba. Yang jelas, pro kontra UU ini telah berdampak pada perseteruan politik antar pihak-pihak yang berkepentingan.

Cermin Kekuasaan
Tak bisa dipungkiri, setiap produk aturan atau UU di negara mana pun dan pada kepemimpinan siapa pun akan mencerminkan rezim yang berkuasa. Jika zaman Orba itu ada banyak undang-undang yang dijadikan alat untuk merepresi masyarakat, karena memang pemerintannya seperti itu. Jika pers zaman Orba dikekang, itu juga karena pemerintah tidak ingin akan perbedaan atau rongrongan atas kekuasaannya.
Pasca Orba, ada revisi UU Pokok Pers (nomor 40 tahun 1999) karena tuntutan zaman dan bisa memberikan atmosfir kebebasan bagi media.  UU Pokok Pers yang berbeda dengan zaman Orba itu mencerminkan watak kekuasaan masing-masing rezim. Diperbolehkannya masyarakat mendirikan Ormas dan Orpol yang menjamur pasca Orba juga mencerminkan watak kekuasaan pada waktu itu.
Maka, melihat pro kontra UU Nomor 2 Tahun 2017 sebenarnya juga cerminan watak pemerintahnya. Jika UU itu dijadikan alat untuk membubarkan Ormas yang bertentangan dengan pemerintah di luar pengadilan, juga tak jauh dari watak itu. Jika ada yang memahami bahwa UU di atas bisa dipakai untuk mengatur dan mengembalikan negara kesatuan yang cenderung akan “pecah” itu juga watak perintannya. Tapi di manapun dan kapan pun pemerintah dan alat negara tidak menginginkan ada “matahari kembar” dalam sebuah kekuasaan politik.  Undang-undang adalah alat negara untuk mengatur dalam kehidupan masyarakat.

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Bhirawa, 31 Oktober 2017)
Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “Undang-Undang itu Mencerminkan Watak Rezim”