Sabtu, Mei 22, 2010

Pilkada Berkualitas

Oleh Nurudin

(Radar Surabaya, Sabtu: 22 Mei 2010)

Sejumlah daerah di Jawa Timur akan dan telah melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebagaimana pemilihan selama ini, gebyar untuk menyambut pesta demokrasi daerah itu sudah dilakukan. Tak jarang karena semangatnya, para kandidat yang belum tentu menjadi calon sudah memasang baliho di pinggir-pinggir jalan. Bahkan, karena tujuannya mengenalkan diri pada pemilih, sering tidak memperhatikan estetika pemasangan, melanggar ruang publik, dan merusak pemandangan. Semua itu dilakukan untuk menyambut Pilkada.

Menyambut Pilkada dengan gebyar yang heboh memang tidak salah. Tetapi, mencoba berpikir lebih jernih agar kualitas Pilkada menjadi lebih baik suatu keharusan. Sayang, tak banyak – untuk menyebutkan tidak ada – para calon yang berpikir dalam jangka panjang. Umumnya, mereka berpikir dalam jangka pendek yakni bagaimana caranya menang.

Akar persoalan
Pola pikir dan kegiatan bagaimana agar pasangan kandidat bisa menang sangat membuka peluang munculnya konflik di seputar Pilkada. Jika diamati lebih jeli, sebab munculnya konflik paling tidak akan disebabkan oleh beberapa hal. Munculnya konflik biasanya diawali dari proses rekrutmen pasangan calon pada partai/gabungan partai, kesalahan penyusunan daftar pemilih sementara/tetap, kesalahan rekapitulasi suara, masalah netralitas PNS, penyalahgunaan wewenang, kurangnya profesional dan independen KPUD/Panwas, keterlambatan pengiriman logistik kelengkapan di TPS, pemberian honor PPK, PPS, dan KPPS, serta praktik politik uang.
Rekrutmen yang tidak transparan dan dengan semangat “yang penting menang” menjadi sumbu awal munculnya konflik. Bahkan, ada calon yang merasa akan lolos menjadi calon jadi ternyata tidak jadi juga memicu munculnya konflik. Ini bisa muncul jika ada campur tangan struktur di atasnya. Misalnya, partai “x” menjagokan kandidat dari pimpinan partai di daerahnya, ternyata itu tidak disetujui oleh pimpinan wilayah atau pusat. Lalu, muncullah konflik. Konflik ini akan terus berlanjut sampai selesai Pilkada, apalagi calon yang “direstui” atasan akhirnya keluar sebagai pemenang.
Penyusunan daftar pemilih juga rawan konflik. Misalnya, di sebuah daerah yang menjadi basis partai tertentu, ternyata daftar pemilihnya banyak yang salah atau tidak terdaftar. Calon dari partai yang mengharapkan bisa mendulang suara dari daerah ini tentu tidak akan menerimanya.
Yang agak rawan saat rekapitulasi suara. Bagi pasangan yang secara ekspos media gencar dengan pendukung banyak saat kampanye tapi ternyata kalah akan menduga ada kecurangan dibalik penghitungan suara. Padahal, realitas sebelum dan saat pemungutan suara punya perbedaan yang signifikan. Bisa jadi seorang yang sebelumnya mendukung pasangan kandidat, tetapi pada hari pemungutan suara justru mendukung pasangan kandidat yang lain.
Netralitas dan penyalahgunaan wewenang juga menjadi problem tersendiri. Lihat saja di Pilkada Ngawi. Hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah di Ngawi ditolak oleh empat pasangan calon bupati-wakil bupati. Bahkan, pasangan yang memprotes merasa menemukan penyalahgunaan wewenang pasangan kandidat. Pasangan kandidat yang menang dituduh memanfaatkan fasilitas sebagai pejabat untuk meraih keuntungan pribadi. Pertanyaannya, mengapa baru dimunculkan saat pasangan itu meraih suara terbanyak? Orang akan menganggp karena empat pasangan itu kalah, memprotes dan mencari-cari kesalahan pasangan yang memang, meskipun pasangan yang menang itu bisa jadi melakukan kecurangan.
Yang krusial dan belum bisa ditemukan penyelesaian yang tepat adalah soal politik uang (money politics). Politik uang adalah cara yang jitu untuk memenangkan pertarungan, meskipun tidak elegan. Tetapi, semua pasangan jika mampu menggunakan uang, mereka akan menggunakannya. Mereka yang protes pada politik uang biasanya mereka yang tidak terlalu banyak menggunakan uang untuk memenangkan perharungan, meskipun juga tidak bisa dikatakan bersih dapi permainan politik uang.

Agar Berkualitas
Lantas, bagaimana agar Pilkada bisa berkualitas? Menghilangkan kecurangan-kecurangan saat pemilihan kepala daerah memang tidak gampang dilakukan. Yang bisa dilakukan adalah dengan menekan kecurangan itu. Mengapa susah? Sebab, Pilkada itu proses politik yang (sering) “menghalalkan” segala cara untuk menang. Semua kandidat, diakui atau tidak, punya kecenderungan melakukan kecurangan jika ada kesempatan. Entah mencampuradukkan jabatannya sebagai pegawai pemerintah, pemimpin organisasi tertentu atau cara lain yang lebih halus yang tujuannya mengenalkan pasangan kandidat. Jika cara-cara ini tidak bisa ditekan, kecurangan dan konflik akan terus terbuka lebar.
KPU dan Panwas juga tidak bisa steril dari kecurangan. Di sinilah dibutuhkan lembaga independen yang kredibel dan diisi oleh orang-orang yang profesional. Sangat sulit sebagai lembaga independen jika tahap pemilihannya juga sarat politik.
Yang tak kalah krusialnya adalah jabatan politik di Indonesia masih dijadikan alat untuk mencari popularitas dan mendapatkan pendapatan (pekerjaan). Karena tujuannya untuk mendapatkan popularitas dan gaji, apapun dan cara bagaimanapun akan dilakukan. Lepas dari motif yang melatarbelakanginya, mengapa kedua istri bupati Kediri maju menjadi kandidat dalam pemilihan kepala daerh kediri? Mengapa pula banyak para istri dan keluarga kepala daerah perlu ikut-ikutan menjadi calon pemimpin di daerah? Bukti bahwa jabatan kepala daerah sangat diminati meskipun bisa menyilaukan mata.
Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely. Barangkali pendapat Lord Acton itu sampai saat ini masih relevan. Jadi, menjadi kepala daerah terbuka peluang untuk menyalahgunakan kekuasaannya, bukan?.


Penulis, staf pengajar Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pegiat di Rumah Baca Cerdas (RBC)

Sumber Radar Surabaya, Sabtu: 22 Mei 2010
Type rest of the post here
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics