Minggu, Agustus 21, 2011

Kodrat Sinetron itu Menghibur


Oleh Nurudin
(Tulisan ini merupakan pengantar buku "Sinetron, Menghibur Diri Sampai Mati" kumpulan tulisan karya mahasiswa penempuh mata kuliah Komunikasi Massa, Ilmu Komunikasi UMM, 2011)

Kehadiran sinetron adalah keniscayaan sejarah. Ia hadir karena tuntutan zaman. Dengan kata lain, meskipun punya dampak yang tidak diinginkan, ia akan tetap hadir di tengah penonton televisi Indonesia. Menolak bukan tindakan yang gampang. Lebih bijak jika melakukan antisipasi dengan melihat dampak plus minusnya.

Tak bisa dipungkiri, sinetron Indonesia memang telah banyak yang mengkritik. Kritikan itu bermuara pada; alur sinetron terlalu didramatisir yang jauh dari kenyataan di kehidupan nyata, sinetron hanya menuruti selera pasar saja, kepentingan televisi dalam mencari untung sendiri sangat transparan, pemerintah tidak bisa berbuat banyak, atau tidak ada lembaga penekan yang kuat. Tapi, kritikan tetap kritikan, sinetron akan jalan terus.


Pihak pengelola televisi memang menikmati kehadiran sinetron. Bagaimana tidak, sinetron ini justru yang mempunyai rating tinggi. Rating tinggi itu sama artinya dengan pendapatan melimpah karena penonton banyak dan pemasukan dari iklan juga tinggi. Begitu ada sinetron dengan genre tertentu sukses di sebuah stasiun televisi, akan diikuti oleh stasiun yang lain. Jadi, ada saling tiru atas tayangan di televisi tanah air. Hanya beberapa stasiun televisi tertentu saja yang bertahan tidak mudah meniru tayangan stasiun televisi lain. Namun memang dari segi pendapatan tidak melimpah. Ini memang pilihan orientasi masing-masing televisi.
Itu belum berbicara tentang dampak buruk yang ditimbulkannya. Penonton sinetron kebanyakan bukan berasal dari orang yang berpendidikan tinggi (dari segi ilmu bukan sekadar gelar semata). Mereka inilah penonton yang dieksploitasi oleh tayangan. Dan mereka inilah yang memang tidak mau diajak untuk berpikir kritis. Kelompok ini bisa jadi akan beranggapan bahwa apa yang ditayangan televisi itulah kenyataan sebenarnya. Padahal bukan seperti itu, bukan?

Subjektivitas Media
Media massa (di dalamnya beragam tayangan, termasuk sinetron) itu hanya mengonstruksi realitas yang terjadi di lapangan. Namanya mengonstruksi, jadi tidak semua yang diberitakan di lapangan itu bisa dilaporkan. Media mempunyai pilihan-pilihan untuk memberitakan fakta yang dilihatnya, melalui seorang wartawan. Lalu apakah wartawan yang memberitakan sebuah kejadian itu memberitakan realitas? Ia memberitakan realitas, tetapi realitas media bukan realitas sebenarnya.

Penjelasannya begini. Apa yang disajikan media massa itu memang sebuah realitas. Sebut saja realitas pertama (first reality). Sebagai realitas pertama ia tampil apa adanya. Ketika seorang melihat sendiri aktivitas di sekitarnya (misalnya gunung meletus) berarti ia melihat realitas senyatanya atau realitas pertama. Dalam posisi ini, fakta-fakta terjadi begitu saja sesuai “hukum alam”. Dengan kata lain, realitas pertama tentang aktivitas gunung meletus seperti yang dilihat oleh masing-masing orang, termasuk para wartawan.

Kemudian, dengan kemampuan yang dimiliki para wartawan itu merekam setiap kejadian dalam otaknya melalui alat bantu, entah menulis langsung, merekam pakai kamera atau memotretnya. Apa yang dicatat dan direkam wartawan ini tentu saja sangat tergantung dari filter masing-masing wartawan. Filter dalam kajian komunikasi massa bisa berwujud kondisi psikologis, jenjang pendidikan, pandangan politik, emosi, kepentingan, budaya atau sekadar kondisi fisik. Filter-filter itu harus diakui memengaruhi apa yang wartawan catat, rekam dan tulis.

Kalau sudah begini apakah yang diberitakan oleh wartawan tersebut sebuah realitas? Wartawan memang melaporkan realitas yang direkam dan dicatatnya karena ia memberitakan fakta-fakta di lapangan. Namun demikian realitas yang sudah diberitakan itu sangat dipengaruhi dan tergantung pada filter yang dipunyai masing-masing wartawan. Jadi, wartawan itu tetap memberitakan realitas tetapi realitas yang sudah dikonstruksi. Sebut saja realitas kedua (second reality).

Dengan demikian, wartawan yang memberitakan aktivitas gunung meletus sampai menimbulkan kecemasan masyarakat itu sebuah realitas, tetapi realitas kedua yang sudah bercampur dengan banyak aspek.

Kalau sudah begitu apakah yang diberitakan media massa itu subjektif karena sangat tergantung dari sang wartawan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita mengutip pendapat Jakob Oetama. Dalam buku saya berjudul Jurnalisme Kemanusiaan, Membongkar Pemikiran Jakob Oetama tentang Pers dan Jurnalisme (2010) terungkap bahwa pemberitaan media massa itu objektivitas yang subjektif. Semua kejadian yang diberitakan media itu merupakan sesuatu yang objektif. Sedangkan bagaimana kejadian itu dipilih menjadi berita atau dilaporkan sebagai berita, jelas sesuatu yang subjektif.

Berita itu bukanlah kejadianya itu sendiri, tetapi berita ialah laporan tentang sesuatu kejadian aktual yang sudah melalui beberapa tahapan dan proses sampai menjadi sebuah berita yang muncul di media. Kejadian adalah realitas pertama (sebagaimana disebutkan di bagian awal), sementara berita adalah realitas kedua (ada yang menyebut realitas media).

Diakui atau tidak, faktor subjektivitas sering muncul dalam pembuatan sebuah berita. Ini tak lain karena dalam pembuatan berita, faktor pribadi wartawan terlibat jauh dalam pemilihan fakta-fakta di lapangan. Wartawan menulis berita apa adanya saja sudah subjektif karena ia memilih dan memilah fakta-fakta yang disajikan (bukan fakta keseluruhan). Apalagi kepentingan media ikut memengaruhinya.

Contoh kecil saja begini. Ketika memberitakan korban kecelakaan yang dialami oleh seorang perempuan umur 25 tahun, masing-masing wartawan bisa membuat profiling (pelabelan) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi seorang perempuan itu disebut dengan “perempuan karir”, “perempuan yang bertubuh bahenol”, “wanita yang punya rambut terurai panjang”, atau “wanita yang berwajah manis”. Itu semua sangat tergantung dari persepsi, latar belakang, pengalaman, tuntutan kerja wartawan dan misi-visi medianya. Apalagi jika wartawan yang menulis itu punya kepentingan pribadi di balik pembuatan sebuah berita.

Berkaitan dengan itu, Dennis McQuail (2000) pernah juga mengungkapkan tentang peran media yakni as a window on events and experience dan as a mirror of events in society. Media itu seperti sebuah jendela. Ketika seseorang membuka jendela rumah, ia bisa memandang peristiwa di luar jendela itu. Namun demikian, peristiwa yang ada hanya sebatas sudut pandang jendela tersebut dan bukan semua peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Jendela juga bisa dianalogikan sebagai sebuah jendela. Melalui “jendela itu” kita bisa membaca peristiwa tentang aktivitas gunung Bromo. Tetapi sekali lagi, bukan semua peristiwa yang terjadi, tetapi hanya sebatas sudut pandang yang bisa ditangkap media (realitas kedua).

Sementara itu, media juga bisa sebuah cermin peristiwa di masyarakat (a mirror of events in society). Cermin hanya sebuah pantulan dari kejadian, sama seperti kalau kita sedang bercermin. Apa yang tersaji dalam cermin bukan kenyataan sesungguhnya, tetapi sekadar pantulan dari fakta. Sebagai cermin, media pun hanya mampu memantulkan sebagian kecil dari kejadian yang berlangsung di masyarakat dan tak mampu memenuhi seluruh keinginan manusia.

Bagaimana Dengan Sinetron?
Sinetron jelas bukan berita. Berita saja kalau sudah masuk dalam media massa bukan kejadian atau realitas sesungguhnya. Apalagi jika dikaitkan dengan sinetron yang penuh dengan rekayasa alur cerita. Tujuannya, yang penting adalah menghibur. Ini poin penting yang bisa kita lekatkan pada sinetron Indonesia. Bahkan bisa dikatakan “kodrat sinetron itu menghihur”.

Mengapa begitu? Realitas menghibur dari sebuah sinetron itu adalah bisa dinikmati dengan tidak memakai perangkat ilmu pengetahuan. Semua orang yang normal, bisa mendengar dan melihat bisa menonton sinetron. Bahkan sambil tidur pun tak masalah. Jadi sinetron itu sangat sangat subjektif, bukan?

Karenanya, judul yang diangkat dalam buku itu adalah Sinetron, Menghibur Diri Sampai Mati. Judul itu bisa mempunyai dua arti; pertama, sinetron akan terus menghibur sampai penontonnya bosan sendiri, untuk tak mengatakan mati disebabkan menonton sinetron. Kedua, sinetron hanya bisa dibunuh fungsi menghiburnya kalau televisinya dimatikan.

Buku yang tersaji di tengan pembaca ini adalah cara mahasiswa menganalisis kehadiran sinetron. Karena mahasiswa, jelas khas yang ada pada dunia mereka dengan beberapa kelemahan yang melekat. Tapi, sebagai mahasiswa mereka tetap punya kewajiban untuk meninjau dari sudut pandang akademis. Sebagai mahasiswa tidak hanya menganalisis dari segi positif tetapi bagaimana mereka bisa melakukan pembelajaran pada pembacanya. Sebut saja dengan istilah media literacy (melek media). Jadi, apa yang tersaji dalam buku ini bagian dari media literacy yang dilakukan mahasiswa. Meskipun tidak berdampak hebat, tetapi usaha mereka tetap diacungi jempol.

Buku ini tersaji dari naskah kuliah Komunikasi Massa Semester Pendek (SP) dalam waktu 1 bulan. Sebuah langkah yang cerdas karena dalam waktu singkat bisa dihasilkan sebuah buku.

Semoga buku ini memberikan alternatif sistem pembelajaran dalam perkuliahan yang selama ini dilakukan dan menyadarkan pembaca betapa sinetron di Indonesia tidak saja membodohi tetapi juga mencemaskan bagi perkembangan generasi mendatang. Jangan sampai pembodohan itu seolah menjadi legal dengan tayangan sinetron.

Type rest of the post here
Readmore »»

Mari Menekan Kebodohan yang Dilegalkan Media


(Tulisan ini merupakan pengantar buku "Media-media Pembunuh Masyarakat" kumpulan tulisan karya mahasiswa Univ. Muhammadiyah Malang, 2010)

Bisa jadi, ada pembaca yang menganggap judul buku Media-media Pembunuh Masyarakat terlalu bombastis. Pertanyaannya, apakah memang ada media yang tujuannya untuk membunuh masyarakat? Apakah media tidak diciptakan untuk mencerdaskan masyarakat?

Sebenarnya, mengatakan bahwa media semata-mata bertujuan untuk membunuh masyarakat juga kurang tepat. Tetapi, mengatakan bahwa media juga bisa membunuh masyarakat juga tidak salah. Membunuh dalam hal ini juga tidak hanya diartikan membunuh dalam arti fisik, tetapi harus diartikan dalam arti non fisik. Kalau memang begitu, bukankah media juga bisa membunuh masyarakat?

Analoginya begini, ada orang tua yang selalu menuruti keinginan anaknya, misalnya dalam soal pemilihan jajan. Orang tua itu selalu menuruti keinginan anaknya yang selalu minta jajan anak-anak yang mengandung vitsin (‘ciki-cikian”). Niat orang tua barangkali untuk menuruti keinginan anak. Dengan kata lain, yang penting anal-anaknya senang dan tidak rewel. Namun jika kita memahami lebih dalam, memanjakan anak dengan memberikan jajan “ciki-cikian” sebenarnya telah membunuh anak itu pelan-pelan. Tanpa sadar kesehatan anak sedang digerogoti jajanan seperti itu. Si anak senang-senang saja, karena mereka belum bisa berpikir kritis dan tak mengetahui dampak buruk jajan di masa datang.

Anak yang dibesarkan dengan jajan “ciki-cikian” akan rapuh kesehatannya. Bukankah jajan seperti itu telah membunuh anak secara pelan-pelan? Memang, jelas lain dengan membunuh anak dengan menikam pakai belati, tetapi bukankah esensinya sama saja yakni membunuh? Sebut saja, jajan ciki-cikian pembunuh anak-anak.

Nah media, khususnya televisi, tidak jauh berbeda dengan jajan “ciki-cikian” tersebut. Media punya potensi membunuh masyarakat secara pelan-pelan. Bagaimana perilaku membunuh yang ditunjukkan media? Media bisa dikatakan membunuh jika media tersebut tidak membuat cerdas, tidak memberikan pilihan alternatif yang lebih baik, dan membuat masyarakat semakin bodoh.

Barangkali, masyarakat tidak sadar bahwa selama ini mereka dibodohi media massa, sama dengan analogi anak kecil yang senang jajan “ciki-cikian”. Pihak televisi, misalnya, sekadar menuruti kebutuhan masyarakat saja. Dengan kata lain, ia tidak perlu memikirkan secara dalam dampak buruk televisi bagi perkembangan masyarakat di masa datang. Pokoknya, buat acara yang masyarakat membutuhkan, titik. Perkara ada dampak negatif, itu soal nanti.

Pola pikir yang ada pada media seperti tersebut di atas adalah pola pikir media-media pembunuh masyarakat. Media yang memberikan informasi sepihak, menutupi informasi yang seharusnya bisa diketahui masyarakat juga masuk dalam jenis media pembunuh. Inilah mengapa buku ini diberi judul Media-media Pembunuh Masyarakat.

Sekarang kita lihat televisi. Apakah acara infotainment (saya lebih senang menyebutnya infotainer yang berarti informasi tentang para “penghibur”) mendidik masyarakat? Acara seperti itu, jelas hanya mengumbar informasi, gosip, isu, dna informasi yang tidak mendidik. Tetapi mengapa masyarakat menyukainya? Masyarakat memang masih belum terdidik, sehingga sangat menyukai acara tersebut. Mereka tinggal menikmatinya tanpa membutuhkan perangkat pemikiran yang mendalam. Dengan kata lain, orang awampun bisa menikmatinya. Itulah realitas masyarakat kita yang memang suka dengan sesuatu yang artifisial, yang bisa dilihat dan bukan sesuatu yang susbtansial. Mereka yang dari golongan terdidik jelas tidak menyukai acara jenis itu. Apakah Anda masih ingin menontonnya?

Kita buktikan pada kasus yang lain. Buku ini menunjukkan, saat terjadi kasus lumpur Lapindo, ada media yang mencoba menutup-nutupi gejolak masyarakat. Bahkan, media yang punya hubungan dengan PT Lapindo Brantas menyebut bukan lumpur Lapindo, tetapai lumpur Sidoarjo. Ada pelabelan nama yang terkesan sengaja dibuat karena ada kepentingan di baliknya. Cara-cara pelabelan yang tidak adil ini jelas membunuh masyarakat. Mengapa? Sebab masyarakat tertutup peluang untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan adil.

Memang, mencari media yang independen sangatlah susah. Tetapi, usaha ke arah sana tentu harus menjadi tuntutan. Menutupi sebuah fakta memang tidak salah, tetapi menutupi dengan membabi buta dengan menonjolkan fakta lain secara berlebihan juga tindakan yang tidak bijaksana.

Jika media sudah seperti itu, masyarakat harus bersuara. Sekecil apapun aspirasi masyarakat perlu disuarakan. Salah satu suara yang sedang diteriakkan adalah dari kalangan mahasiswa atas ketidakadilan tayangan yang dilakukan media di sekitar kita. Meskipun kecil suara mahasiswa itu tetapi yang pasti mereka telah bertindak dan berbuat untuk mengubah keadaan di sekelilingnya.

Buku ini adalah bentuk kepedulian dan usaha berbuat yang lebih cerdas dari sekadar omongan. Sebab, buku akan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya karena akan didokumentasikan. Beda dengan omongan yang bisa hilang sejalan dengan tiadanya orang yang mengatakan itu. Buku adalah warisan berharga yang tiada duanya. Sebab, tidak semua orang mau dan mampu melakukan proses perubahan dengan buku. Bukan pada hasilnya, tetapi proses yang sudah dijalankannya. Juga bukan pada perubahan masa kini, tetapi masa datang. Dalam posisi inilah sebaiknya pandangan orang tentang buku ini perlu ditempatkan.

Saya sangat mengapresiasi secara mendalam atas terbitnya buku ini. Meskipun tidak sepopuler para artis, aktivitas menerbitkan buku di kalangan mahasiswa akan mempunyai gengsi tersendiri. Tidak saja meningkatkan rasa percaya diri penulis-penulisnya, tetapi juga menekan pembunuhan yang dilakukan media secara legal, bersama-sama dan sangat transparan. Jadi, “publikasikan atau menyingkirlah”.

Type rest of the post here
Readmore »»

Beyond Technology


Oleh Nurudin
(Tulisan ini merupakan kata pengantar buku "Serpihan Trend Komunikasi", buku terbitan mahasiswa Univ. Muhammadiyah Surakarta, 2011)


Ada ungkapan yang tidak tertulis tetapi diyakini kebenarannya, yakni “Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang.” Artinya, perubahan terus akan terjadi kearah kemajuan dan tidak sebaliknya. Tak heran, jika perubahan yang terjadi begitu cepat tanpa disadari manusia itu sendiri. Itu semua karena perantaraan teknologi komunikasi.

Kita jadi bertanya, sebenarnya yang membawa perubahan itu teknologi atau manusia? Itu semua bisa dijawab dengan teori determinisme teknologi yang pernah dikemukakan oleh Marshall McLuhan (Nurudin, 2007).


Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik.

Analoginya bisa begini. Pada awalnya, manusialah yang membuat teknologi, tetapi lambat laun teknologilah yang justru memengaruhi setiap apa yang dilakukan manusia. Zaman dahulu belum ada Hand Phone (HP) dan internet. Tanpa ada dua perangkat komunikasi itu keadaan manusia biasa saja. Tetapi sekarang dengan ketergantungan pada dua perangkat itu manusia jadi sangat tergantung. Apa yang bisa membayangkan jika manusia yang sudah sangat tergantung dengan HP atau internet dalam sehari tidak memanfaatkannya? Adakah sesuatu yang kurang dalam hidup ini? Inilah yang dinamakan determinisme teknologi (meskipun toh teknologi yang menciptakan manusia itu sendiri).

McLuhan pun berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”.

Kita belajar, merasa, dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio menyediakan kepada manusia lewat indera pendengaran (audio), sementara televisi menyediakan tidak hanya pendengaran tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa yang diterpa dari dua media itu masuk ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Selanjutnya, kita ingin menggunakannya lagi dan terus menerus. Bahkan McLuhan sampai pada kesimpulannya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message).

Media tak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi, dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan buku, seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita akan bisa “melihat dunia”.

***
Ada banyak istilah yang menggambarkan fenomena perkembangan teknologi yang kian pesat itu. Ada istilah “Revolusi Komunikasi” sebagaimana dikatakan Daniel Lerner, “Masyarakat Pasca Industri” (the post industrial society) dari Daniel Bell, “Abad Komunikasi” atau “Gelombang Ketiga” (the third wave) dari Alvin Toffler, Global Village/kampung global (Marshall McLuhan).

Istilah Collin Cherry juga tidak jauh berbeda. Fenomena globalisasi sebagaimana digambarkan di atas sering diistilahkan dengan ledakan komunikasi massa. Ledakan komunikasi massa itu ternyata membawa implikasi geografis dan geometris. Implikasi geografis artinya, suatu daerah (baca: negara) pada akhirnya akan terseret arus pada jaringan komunikasi dunia. Adapun implikasi geometris adalah berlipatnya jumlah lalu lintas pesan yang dibawa dalam sistem komunikasi yang jumlahnya berlipat-lipat. Saat ini kita tidak bisa membayangkan bahwa satelit kita dilewati (menjadi perantara) banyak informasi dan pesan. Terseret dalam arus jaringan komunikasi dunia juga termasuk konsekuensi-konseuensi diantaranya ada pasar bebas, demokrasi, hak asasi manusia dan lain-lain.

Akibat tiadanya batas-batas antara negara, maka dunia ini bisa disebut dengan Global Village. Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi di sudut wilayah dunia ini secepatnya bisa diketahui warga dunia. Analoginya hampir sama dengan kehidupan di desa. Perbedaannya, kalau di pedesaan mengandalkan komunikasi tatap muka (gethok tular) sementara untuk dunia modern sekarang ini mengandalkan teknologi modern, salah satunya internet.

Dengan perantaraan internet, masyarakat dunia bisa menjelajah setiap ruang dan waktu tanpa batas, kenyataan ini sama seperti gejala globalisasi. Internet telah memberikan peran dalam penyebaran informasi, kebijakan, peristiwa yang ada di dunia ini. Negara yang mengisolasi diri dari pergaulan dunia lambat laun akan terpengaruh.

Perubahan yang terjadi sebagaimana didambarkan di atas membawa implikasi ke banyak hal. Tidak saja perubahan proses komunikasi antar manusia tetapi juga perubahan institusi, organisasi, komunitas yang akhirnya berpengaruh pada keberadaan manusia itu sendiri. Secara konkrit lihat saja perubahan yang terjadi pada televisi kita. Beragam jenis dan format acara ditayangkan. Lihat saja reality show, infotainment, pembuatan iklan, pergaulan modern, eksploitasi orang-orang miskin dalam acara di televisi dan lain-lain.

Lihat saja acara Jika Aku Menjadi (JAM). Tayangan ini khas eksploitasi orang miskin yang dilegalkan dan dipertontontan yang menjadi lumrah. Mengapa? Semua yang disajikan penuh dengan rekayasa pembuat acara. Talent selalu dipilih wanita. Sebab, wanita harus diakui gampang untuk “dipaksa” menangis, disamping juga wanita mudah untuk diekploitasi karena kecantikannya. Mengapa bukan talent laki-laki? Secara visual laki-laki tidak menarik dan tidak gampang diajak menangis. Inilah perbedaannya. Jadilah eksploitasi dengan menjual kemiskinan. Jika Anda tidak setuju dengan pendapat ini, Anda boleh punya opini lain.

Buku yang tersaji di hadapan pembaca ini mencoba mengkritisi berbagai fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang. Tentu saja dengan berbagai kekurangan yang ada, buku ini layak diacungi jempol. Mengapa? Mereka masih menjadi mahasiswa, tetapi mencoba berbuat lebih konkrit. Apa yang dirasakan, didengar, dilihat mereka tuangkan dalam bentuk buku. Karya-karya mereka tentu akan “menohok” para dosen-dosennya yang selama ini tidak mempunyai karya dalam bentuk buku.

Di tengah budaya dengar dan lihat, membuat buku (meskipun kumpulan tulisan) bukan perkara mudah. Apalagi masyarakat kita adalah masyarakat yang mementingkan hasil dari pada proses. Membuat buku adalah sebuah proses panjang untuk masa depan mereka.
Bagi mahasiswa, membuat buku mempunyai keuntungan ganda. Mereka berlatih menulis, mengomunikasi pemikirannya pada orang lain, belajar manajemen penerbitan buku, dan belajar menjualnya. Bukan soal gagah-gagahan, tetapi keberanian untuk mengubah keadaan. Sebagaimana yang saya katakan di awal, dunia ini maju ke depan dan terus akan berubah. Hanya ada dua pilihan; siap berubah atau Anda akan diubah.

Saya jadi ingat pesan Cristoper Morley “Ketika kita menjual buku kepada seseorang, kita tidak hanya menjual sekilo kertas serta tinta dan lem. Kita menjual suatu kehidupan yang sama sekali baru” .

Buku ini mempunyai kekurangan, jadi membutuhkan masukan dan kritik untuk penyempurnaan di masa datang. Hanya saja, saya berharap Anda tidak menjadi “tukang kritik”. Alangkah lebih baik jika kritik tersebut dituangkan dalam bentuk buku.
Selamat membaca.

Type rest of the post here
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics