Selasa, Mei 12, 2009

Kiat Meresensi Buku di Media Cetak


Selama ini, kita jarang yang tahu untuk apa membaca. Membaca dianggap tidak punya keuntungan pragmatis dan saat itu juga. Tetapi dengan buku ini Anda akan ditunjukkan bahwa meresensi buku juga bisa untuk keuntungan pragmatis misalnya mendapatkan penghasilan. Buku ini akan memberikan petunjuk praktis dan kreatif bagaimana cara mudah meresensi dan diterima di media cetak. Bahkan buku ini pun tidak saja memberikan petunjuk bagaimana meresensi buku bagi penulis pemula, tetapi juga bagi mereka yang sudah mencoba berulang kali, tetapi tidak pernah dimuat. Dengan membaca buku ini, Anda akan dibuka cakrawala tentang keluasan dan kemanfaatan membaca dan menulis resensi buku. Bahkan meresensi buku bisa menjadi jembatan menjadi penulis artikel terkenal

Buku karya praktisi meresensi buku ini memuat: Perbedaan Membaca Biasa dan Membaca untuk Meresensi, Mengapa Harus Meresensi Buku? Langkah-Langkah Persiapan dalam Meresensi, Persiapan Penting Sebelum Menulis, Apa yang Harus Ada dalam Naskah Resensi?, Anatomi Resensi Buku, Apa yang Harus Dikerjakan Setelah Meresensi Buku, Beberapa Hal Yang Harus Dihindari dalam Meresensi Buku, dan Bagaimana Menyiasati Media Cetak.

Judul : Kiat Meresensi Buku di Media Cetak
Penulis : Nurudin
Penerbit: Murai Kencana, Jakarta
Thn Ter : 2009

Type rest of the post here
Readmore »»

Jurnalisme Masa Kini


“Anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing itu berita”. Ungkapan klasik itu, saat ini telah banyak digugat. Bagaimana seandainya yang digigit itu seorang artis, atau pejabat setingkat menteri, sementara Bejo menggigit anjing? Jurnalisme masa kini akan memilih realitas yang pertama. Termasuk ungkapan klasik “Good news is no news, bad news is good new” juga sudah banyak yang menggugat. Apakah penemuan teknologi uang angkasa bukan berita?

Bahkan Tom Wolfe pernah menganjurkan agar koran-koran di dunia ini segera mengaplikasikan jurnalisme baru (new journalism). Tetapi, ide itu belum sepenuhnya dipraktikan di Indonesia. Media massa Indonesia masih memakai kaidah-kaidah klasik, sementara tuntutan masyarakat kian meningkat disertai dengan perkembangan teknologi internet yang kian canggih. TV kian menjadi pesaing utama media cetak. Jika tidak dilakukan revolusi, media cetak tentu akan ketinggalan zaman. Bahkan Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang. Di sinilah perlunya pemahaman tentang jurnalisme masa kini perlu ditempatkan.

Buku Jurnalisme Masa Kini ini menawarkan perkembangan jurnalisme baru yang sedang berkembang cepat di dunia ini. Berbagai perubahan, tuntutan reportase, kompetensi jurnalis ikut berubah total. Buku ini memberikan pemahaman, contoh praktis dan bagaimana menghadapi perkembangan yang dahsyat tersebut. Tak lain, agar para calon jurnalis dan peminat kajian komunikasi bisa menghadapi era komunikasi massa di masa datang.

Buku ini mencapai sasarannya pada mahasiswa jurnalistik, wartawan, dan masyarakat umum peminat kajian jurnalisme dan media massa.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit: RajaGrafindo Persada, Jakarta
Thn Terb: 2009

Pada awalnya, manusialah yang menciptakan teknologi untuk mempermudah kerja manusia itu sendiri, termasuk mempermudah berkomunikasi komunikasi. Teknologi yang bisa memperpendek jangkauan dan mempersingkat waktu kemudian diciptakan. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang diciptakan, akhirnya manusia tergantung pada teknologi yang dibuatnya sendiri. Penemuan internet pada tahun 1990-an menjadi keniscayaan sejarah penemuan teknologi komunikasi yang pengaruhnya tidak bisa dihindari manusia.
Berkaitan dengan itu, berbagai perkembangan cara berkomunikasi mengalamai revolusi yang sangat dahsyat. Cara penyampaian berita kepada masyarakat dengan cara “manual” dianggap tidak relevan lagi. Surat kabar, televisi dan radio tidak lagi hanya mengandalkan medianya itu sendiri, tetapi sudah memakai media internet. Internet akhirnya memaksa manusia merumuskan kembali, dan mencari model tentang proses penyampaian berita. Kekuatan internet itu membuat Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang.

Berkaitan dengan proses penyebaran informasi yang dahulunya dilakukan para jurnalis mainstream media (media utama) seperti jurnalis (wartawan) televisi, radio dan media cetak lain, sekarang sudah banyak yang menggugat. Penyebaran informasi bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, apa saja, dan dengan cara apa saja. Warga negara yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok konsumen media, saat sekarang bisa bertindak sebagai jurnalis. Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra munculnya istilah citizen journalism (jurnalisme warga negara) menjadi keniscayaan adanya revolusi dalam penyebaran informasi. Dengan internet dan perantaraan blog, semua orang bisa menjadi jurnalis. Jurnalis karenanya yang berarti proses pencarian, pengolahan, penulisan, dan penyebaran informasi bisa dilakukan semua orang melalui blognya. Inilah kecenderungan jurnalisme baru di era internet ini.

Tak terkecuali, revolusi jurnalisme juga muncul berkaitan dengan bagaimana menyampaikan ide dalam wujud tulisan. Dalam kurun waktu lama, proses penulisan berita didominasi dengan pedoman klasik 5 W + 1 H (what, when, where, why, who, dan how) yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan. Dengan jurnalisme baru, konsep klasik itu dikembangkan Roy Peter menjadi tulisan model, narrative dengan mengubah rumus 5W dan 1 H. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif. Dan How menjadi narasi. Hingga, pengisahan berita narrative jadi mirip kamera filem dokumenter. Ini menjadi kecenderungan jurnalisme baru.

“Good news is no news, bad news is good news”, ungkapan lama yang pernah dipercaya sebagai nilai berita. Tetapi, berita gembira saat ini juga mempunyai nilai berita. Kalau ungkapan itu diyakini kebenarannya, mengapa seorang artis yang melahirkan anak perlu diberitakan? Bukankah itu berita menggembirakan? Ungkapan di atas jelas sudah tidak relevan lagi, bukan?

Tak terkecuali ungkapan Carles A Dana , “When a dog bites a man that is no news, but a man bites a dog that is a news” juga sudah tidak cocok lagi untuk zaman sekarang. Bagaimana jika yang digigit itu seorang menteri atau presiden, sementara yang menggigit anjing tetangga kita yang tidak dikenal masyarakat luas? Menteri dikejar anjing saja sudah menjadi berita, apalagi sampai digigit.

Berita selalu dipahami sebagai sebuah peristiwa yang sudah terjadi. Bagaimana jika peristiwanya belum terjadi, tetapi justru diminati pembaca, penonton atau pemirsa? Coba Anda membuka halaman olah raga, sepak bola terutama. Ketika akan terjadi pertandingan dua klub, koran akan mengulas dan memberitakan berkaitan dengan pertandingan dua klub itu disertai dengan data-data head to head pertemuan keduanya. Bagaimana dengan kasus ini? Pertandingannya belum terjadi, tetapi berita sudah muncul. Inilah kecenderungan baru juga dalam proses pembuatan berita yang layak diketahui juga.

Itu semua menunjukkan adanya revolusi yang besar-besaran dalam jurnalisme. Sejauh litaretur buku yang saya baca, tak banyak, untuk tak menyebutnya tidak ada, buku-buku yang membahas jurnalisme baru sebagai sebuah dampak perkembangan teknologi komunikasi dan tuntutan zaman. Umumnya, buku-buku jurnalisme selama ini membahas sisi jurnalisme secara klasik. Inilah pentingnya buku ini perlu hadir.

Buku ini terdiri dari empat bagian, dan ini juga menjadi prosedur memahami dan membacanya. Sebagai pendahuluan, pembaca diarahkan untuk memahami beragam definisi jurnalisme, ruang lingkup kajian dan kajian ilmiah jurnalisme. Ini secra sederhana dimaksudkan agar pembaca mengetahui bagaimana ranah (wilayah) kajian jurnalisme. Juga agar tidak dibuat bingung mengapa dalam kajian jurnalisme dikaji pers, (media massa), jurnalis dan segala seluk beluk yang berkaitan dengannya.

Bagian pertama mendiskusikan tentang konsep-konsep penting dalam jurnalisme. Di sinilah pembaca mulai diarahkan untuk mengetahui adanya perubahan terus menerus yang terjadi dalam wilayah kajian jurnalisme. Tentang elemen-elemen jurnalisme yang pernah dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dijadikan sandarannya. 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan mereka relatif baru dalam kajian jurnalisme di Indonesia, sebuah elemen yang melihat dari perspektif yang berbeda disertai contoh kongkrit jurnalisme di Indonesia. Tak terkecuali dengan objektivitas dan nilai berita yang dibuat agar “Indonesia banget”. Sementara itu, sejarah penting diketahui untuk melihat proses perkembangan pers dan jurnalisme yang menjadi konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Sejarah juga menunjukkan pada kita, ada banyak variabel yang ikut menentukan perkembangan jurnalisme di dunia ini, baik menyangkut jurnalis, pemerintah dan teknologi.

Bagian kedua mengkaji khusus tentang jurnalis. Apakah jurnalis selama ini bisa digolongkan sebagai seorang ilmuwan atau hanya orang yang memindahkan fakta-fakta di lapangan ke dalam medianya? Pembahasan ini menantang pembaca untuk mengetahui lebih lanjut. Jurnalis karena bekerja berdasarkan profesionalisme maka ia tidak bisa lepas dari kompetensi. Dengan kompetensi inilah, kerja jurnalis akan lebih berkualitas. Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami realitas ini. Agar ketika menjadi jurnalis ia bisa mempraktikkannya di dunia kerja. Untuk mencapai kompetensi, pendidikan jurnalisme menjadi penting keberadaannya. Hanya saja pendidikan jurnalisme baru menciptakan jurnalis siap latih dan belum siap pakai. Untuk itulah, dibahas pentingnya pelatihan, short course atau pendidikan dan latihan (Diklat) untuk mempersiapkannya. Tak terkecuali dengan pentingnya keberadaan lembaga-lembaga independen pemberi pelatihan seperti Antara dan Pantau.

Bagian ketiga, dikemukakan munculnya era jurnalisme baru yang menjadi tuntutan era modern. Tak terkecuali dikemukakan beberapa istilah penting yang selama ini dikenal dalam jurnalisme, tetapi belum ada yang membahas dalam buku. Disamping itu, ada juga jenis-jenis jurnalisme yang selama ini dikenal. Jenis ini meliputi genre kebijakan redaksional, proses penulisan dan proses peliputan berita.

Bagian terakhir mencaritakan kasus-kasus aktual yang melingkupi proses jurnalisme. Bagian ini penting dikemukakan agar pembaca mempunyai wawasan luas tentang kondisi mutakhir permasalahan jurnalisme di Indonesia. Kasus aktual tersebut meliputi dampak media yang sedemikian luas di masyarakat dan konflik kepentingan atas keberadaan UU Pokok Pers. Jika kita kembali ke sejarah pers dan jurnalisme seperti yang dikemukakan pada bagian awal buku ini, pembaca akan paham rentetan konflik kepentingan berkaitan dengan konflik kepentingan. Misalnya, dalam sejarah diceritakan adanya kebijakan persbreidel ordonantie yang direinkarnasi menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Konflik kepentingan juga berkait dengan keberadaan KUHP. Di sinilah pemahaman tentang konflik yang mengitari UU Pokok Pers perlu ditempatkan dan dipahami.

Tentu saja, berkaitan dengan pembahasan dalam buku yang sudah dikemukakan dalam pengantar ini sasaran utama pembacanya adalah mahasiswa komunikasi tingkat lanjut. Mengapa? Sebab, pembahasan lebih menitikberatkan pada pemahaman mendalam konseptual tentang jurnalisme. Di perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan komunikasi mahasiswa semester awal sudah dibekali dengan mata kuliah dasar-dasar jurnalistik, teknik penulisan dan peliputan berita. Buku ini akan melihat peluang kajian teoritis disertai contoh kongkrit dari ranah yang selama ini belum digarap mata kuliah sebelumnya. Bahkan, buku ini melihat pangsa pasar yang juga belum digarap oleh buku-buku jurnalisme yang lain.

Disamping mahasiswa pengambil mata kuliah Jurnalisme, sasaran pembacanya juga masyarakat umum, wartawan dan peminat kajian jurnalisme. Untuk itu pulalah bebagai contoh aktual disertai pembahasan yang ilmiah populer disajikan dalam buku ini. Bahkan dalam beberapa bab diungkap sebuah cerita untuk membuka pemahaman awal tentang permasalahan yang akan dikaji.

Maka, sangat beralasan jika buku ini diberi judul Jurnalisme Masa Kini. Ia bukan saja menunjuk dan memberikan sebuah perspektif baru dari mata kuliah Jurnalisme, namun disesuaikan dengan sasaran yang lain. Jurnalisme Masa Kini dipahammi sebagai kajian baru yang layak diketahui oleh pembaca berkaitan dengan proses peliputan, pengemasan, penulisan, dan penyajian berita. Masa kini juga berarti kajian yang terkini. Jadi, judul buku ini bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi karena realitas yang dikaji memang demikian. Jurnalisme Masa Kini juga akan menjadi daya tarik tersendiri masyarakat umum untuk membacanya. Jadi, jangan sampai ada kesan buku teks kuliah an sich. Beberapa buku-buku kuliah yang pernah saya buat memberikan pemahanan, bahwa tulisan ilmiah saja tidak cukup kuat bersaing di pasaran. Ilmiah populer menjadi hal yang niscaya dilakukan. Pengalaman menulis artikel yang saya lakukan sejak tahun 1991, memberikan banyak pelajaran.


https://docs.google.com/document/d/1P8ePDLvLrGw9QX_u0gVptdhAsCo_Mpspotyj-ZGYJmU/edit?usp=sharing Readmore »»

Jumat, Mei 08, 2009

Kembalikan Fitrah Kiai Kepada Kami

Oleh Nurudin
Sumber: Harian Kompas, 8 Mei 2009
Tidak ada pihak yang paling bersedih pasca Pemilu legislatif 2009, kecuali kiai. Mereka yang sebelum pemilihan ikut hiruk pikuk mendukung salah satu calon atau partai politik, saat ini seperti hilang ditelan bumi. Wajah-wajah mereka yang beberapa waktu lalu menghiasi baliho, spanduk atau media massa sudah tidak ada lagi. Para legislatif yang sudah jadi berkat dukungannya juga mulai memalingkan mata. Apalagi, jika partai yang didukungnya tidak mendapat suara yang signifikan. Para elite politik juga jalan sendiri, tanpa mau minta nasihat, untuk tak mengatakan menghiraukan suara kiai.

Sudah banyak ulasan, kritikan atas peran atau keikutsertaan mereka dalam politik. Tetapi, para kiai itu memang punya pertimbangan sendiri dalam dukung mendukung kekuasaan politik. Karena politik, siapa yang menang akan mendapat sanjungan, tetapi kalau kalah akan dikritik habis-habisan. Kiai ikut mendukung politik bisa karena memang ingin meluruskan sesuatu yang dianggap bengkok, atau merasa masih punya kekuasaan/kharisma dalam memengaruhi pemilih. Kebanyakan, yang kedua inilah yan dijadikan dasar untuk terlibat dalam politik.

Secara kewibawaan, kiai yang terlibat dalam politik jelas rugi. Sebab, ia sudah dianggap “berpelepotan lumpur” politik. Petuahnya tidak lagi mempan, paling tidak dimata mereka yang tidak didukung oleh para kiai itu. Sebagai panutan, jelas ia semakin kehilangan jamaah, hanya karena perbedaan politik.
Keterlibatan kiai dalam politik memang faktor sejarah. Dalam kerajaan Islam di Jawa tidak secara tegas dipisahkan antara urusan negara (sultan) dengan urusan agama (kiai). Pemisahan itu justru memperkokoh posisi kiai, karena banyak masalah sosial kemasyarakatan yang merupakan bagian dari kebaragamaan seseorang harus ditangani kiai. Dalam sejarah perjuangan bangsa, kiai dipahami sebagai pusat kekuatan sosial politik yang perannya tidak bisa diabaikan sebagai “pahlawan nasional” (Suprayogo, 2007).

Masalahnya, keterlibatan mereka dalam politik tujuannya jelas, yakni mengusir penjajahan. Mereka akan ditokohkan karena masyarakat akan mendukung sepenuhnya. Mereka akan menjadi pahlawan, menang atau kalah dalam “pertempuran”. Tetapi, untuk keterlibatan politik dalam Pemilu, itu soal lain. Ia berurusan dengan heterogenitas kepentingan di masyarakat dengan berbagai ambisi dan keinginan. Dukungan mereka terhadap seseorang atau kelompok justru akan menyakiti pihak lain yang tak didukungnya. Akibatnya, dampak dari fatwanya tidak akan lagi bisa menyentuh seluruh lapisan masayarakat, karena kecurigaan kiai itu telah berpihak. Lihat bagaimana popularitas KH Zainuddin MZ pasca ikut dukung mendukung dalam politik praktis?

Kesalahan Sejarah
Kiai, sebenarnya punya beberapa peran, yakni sebagai pemuka agama, pelayan sosial, dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (sholat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan. Sebagai palayan sosial ia dijadikan tempat bertanya pengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan dan sebagai orang yang dituakan. Dalam politik, ia akan memainkan peran yang terkait kepentingan umum ke berbagai saluran politik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keterlibatan kiai dalam politik bisa jadi “kesalahan sejarah”. Kiai adalah atribut yang diberikan masyarakat atas peran dan kemampuannya dalam bidang keagamaan. Itulah mengapa, para politisi tidak bisa disebut dengan kiai karena mereka tidak punya legitimasi berbicara tentang keagamaan. Keterlibatan kiai dalam politik adalah darurat. Yakni ikut mengubah nasib bangsa ini, khususnya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Jika politik dalam keadaan tidak darurat, kiai tidak perlu berperan banyak. Ia justru punya tugas berat mendidik, mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai kaidah agama. Sebab, agama adalah sumber moral paling penting bagi kehidupan umat manusia.

Tetapi, kenyataan ini tidak gampang diwujudkan. Ada banyak syahwat kiai untuk terlibat dalam politik. Dari alasan meluruskan yang kurang pas, sampai ikut-ikutan saja. Sementara itu, keluguan politik kiai justru menjerumuskan dirinya untuk terperosok ke dalam politik praktis yang penuh kepentingan. Politik adalah dunia yang penuh dengan manipulasi, trik, menghalalkan segala cara, dan berorientasi pada tujuan. Sementara itu, dunia kiai bukan dunia yang seperti itu.
Kalaupun ia ingin mengubah, bukan kebaikan yang diterimanya, tetapi justru ikut belepotan keburukan yang selama ini ada dalam dunia politik. Ia akhirnya akan membentur batu karang yang tak mudah untuk dipecahkan. Makanya, siapapun kiai yang terlibat di dalam politik ia harus siap menanggung “dosa-dosa” politik. Kalaupun tetap punya jamaah, sangat mungkin akan berkurang.

Kembalikan sang "Pamomong"
Apa yang harus dilakukan? Pertama, biarlah urusan politik diurusi oleh para politisi. Sebagai sosok yang ditokohkan bahkan pewaris ajaran nabi, kiai harus mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Para kiai seyogyanya menjadi inspirasi dan sosok panutan seluruh umat manusia. Bahkan yang berbeda agama sekalipun. Jika ia terlibat politik, posisi sebagai rahmat bagi seluruh alam akan berubah menjadi rahmat bagi kelompok tertentu.

Kedua, kiai tidak boleh percaya begitu saja pada omongan para politisi. Berapa banyak kiai yang dirugikan dengan omongan para politisi? Berapa banyak para kiai yang awalnya mendukung PKB akhirnya berubah haluan mendukung PKNU? Bukankah itu karena alasan kekecewaan pada elite politik dalam partai yang berlogo bumi dan tali jagat itu?

Ketiga, masyarakat sekarang sudah semakin jenuh dengan politik. Peningkatan angka Golput menjadi bukti keengganan mereka untuk ikut hiruk pikuk dalam politik. Masyarakat membutuhkan sosok yang teduh, ngayomi dan bisa dijadikan suri teladan untuk kemaslahatan umat. Sosok seperti itu ada pada kiai. Tetapi, kiai di sini tentu saja kiai yang tidak banyak terlibat dalam politik praktis.

Kiai adalah sumber inspirasi rakyat yang tiada habisnya. Kiai adalah sosok yang terus dan selalu hadir ketika rakyat mengalami kebingungan, tiadanya haluan, dan kehilangan sosok panutan. Maka, “Kembalikan fitrah kiai kepada kami”.


Nurudin, staf Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Sumber: Harian Kompas Jatim, 8 Mei 2009
Readmore »»

Kamis, April 30, 2009

Koalisi Menyakiti Hati Rakyat

PERUBAHAN peta koa-lisi menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak lagi dihitung dengan harian, bahkan setiap jam. Setiap saat para elite politik sibuk dengan urusan bagaimana membangun koalisi yang menguntungkan. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan koalisi. Semangat untuk melakukan koalisi adalah ”Saya mendapatkan apa, dan apa yang bisa saya manfaatkan dari orang lain”.

Koalisi adalah cara untuk membangun pemerintahan yang kuat. Ini dimungkinkan karena tak ada partai politik yang menang mutlak. Sehingga koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Koalisi juga membuat para elite politik dilatih untuk berbagi dan tidak egois karena akan terjadi tarik ulur antara ambisi, hak, dan kerelaan berbagi satu sama lain.

Menggugat Koalisi
Namun demikian, melihat proses terjadinya koalisi antar elite politik selama ini, koalisi yang dibangun sudah ”jauh panggang dari api”. Beberapa catatan yang bisa dikemukakan antara lain; pertama, koalisi masih bersifat elitis. Proses koalisi hanya melibatkan segelintir orang saja. Bahkan hanya melibatkan salah satu orang saja.

Lihat misalnya beberapa partai besar (misalnya Partai Demokrat, PDI-P) memberikan mandat kepada calonnya untuk menentukan cawapres sendiri. Seolah urusan koalisi hanya urusan pribadi. Bisa jadi sebagai sebuah penghormatan pada sang calon, tetapi itu seolah menempatkan urusan partai dan koalisi hanya pada elite parpol yang bersangkutan.

Memang, itu adalah risiko demokrasi perwakilan. Artinya, rakyat menitipkan suaranya pada para elite politik tertentu (parpol atau caleg). Dalam posisi ini, urusan rakyat dianggap sudah selesai ketika ia telah menggunakan hak pilihnya. Ini sangat berbeda dengan saat menjelang ”hari pencontrengan”. Seolah-olah para elite politik itu merasa harus dekat, dan membutuhkan (bahkan sampai mengemis) dukungan rakyat. Apa pun dilakukan, termasuk dengan politik uang.

Tetapi, setelah masyarakat penggunaan hak pilih, urusan dianggap sudah selesai. Mereka yang hiruk pikuk minta dukungan rakyat sekarang sudah tiarap. Dengan kata lain, para elite politik itu sudah tidak lagi membutuhkan suara mereka. Tak heran, jika koalisi sangat bersifat elitis sekali karena hanya dilakukan sejumlah orang dengan mengebiri hak-hak rakyat yang memilihnya.
Kedua, koalisi hanya bertujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Yang ada dalam benak para elite politik itu adalah kekuasaan. Buntut perbedaan pendapat yang melanda sejumlah parpol (Partai Golkar, PAN, PPP) ujungnya juga pada kekuasaan tersebut.

Itu juga termasuk ketika dalam koalisi akan terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Kalau sebuah parpol ikut dalam koalisi, maka ia akan ”meminta jatah” jabatan tertentu, entah menteri atau jabatan politik lainnya.

Sementara itu, parpol kuat atau peraih paling banyak diantara peserta koalisi harus rela membagi kekuasaan dengan parpol lain. Ia tidak bisa mengangkangi kekuasaan sendiri saja. Terhadap kasus ini, rakyat tidak punya kekuasaan apa-apa. Semua sudah dilakukan elite politik, bahkan ”atas nama” rakyat.

Ketiga, koalisi menyakiti hati rakyat. Rakyat yang mempunyai republik ini harus dikebiri hak-haknya sedemikian rupa di bawah segelintir elite politik. Barangkali, saat ini rakyat belum merasakan apa-apa. Namun demikian, jika nanti para peserta koalisi itu sudah berkuasa dan tidak memikirkan kepentingan, hajat hidup, dan aspirasi rakyat, mereka baru akan merasakan ketidakberpihakan elite politik itu pada rakyatnya.

Dengan kata lain, mereka sebenarnya sudah menyakiti hari rakyatnya saat membangun koalisi, suatu saat akan diulang dengan perangkat kebijakan yang tak memihak ke rakyatnya.

Sejarah republik ini sudah menunjukkan bukti-bukti empirik ketika para elite politik sudah lupa pada rakyatnya. Mereka yang pernah meneriakkan demi rakyat, berjanji untuk kepentingan rakyat sudah hilang. Mereka, juga akan enggan untuk terjun langsung (layaknya saat kampanye) ketika sudah menduduki jabatan politik tertentu.

Mereka akan mementingkan diri dan kelompoknya, tidak peduli bagaimana susahnya rakyat. Lihat saja, bagaimana para anggota DPR periode sebelum ini meminta kenaikan gaji yang drastis sementara krisis ekonomi sedang melanda bangsa ini?
Banyak Belajar
Koalisi sebenarnya adalah sebuah proses ketika elite politik perlu belajar bagaimana merumuskan kesepakatan bersama di tengah kepentingan yang berbeda. Koalisi sebenarnya menganggap bahwa para politisi itu belum dianggap dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga, mereka diharuskan untuk saling belajar. Inilah keuntungannya jika Pemilu tidak menghasilkan pemenang mayoritas.

Zaman Orde Baru (Orba) tidak pernah mengajarkan pada elite politik bagaimana saling berbagi kekuasaan satu sama lain. Semua diputuskan secara individual dan kelompok tertentu dengan terus mengebiri kepentingan rakyat dan kemerdekaan elite politik itu sendiri dalam menentukan pilihan.

Itulah kenapa koalisi seharusnya memberikan banyak pelajaran pada elite politik. Hanya masalahnya, koalisi dianggap selesai setelah kesepakatan terjadi. Entah apakah kesepakatan itu akan dipatuhi atau tidak. Jika koalisi didasari oleh keinginan untuk benar sendiri, hasil koalisi itu tidak akan membuahkan hasil yang lebih baik, baik menyangkut kepentingan mereka yang terlibat koalisi, pemerintahan, dan apalagi rakyat.

Koalisi sering dianggap hanya sekadar kumpul-kumpul untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Jika kue yang diperebutkan sedikit dan ada yang serakah, maka dengan mudahnya kesepakatan koalisi dilanggar.

Rakyat yang mempunyai republik ini telah dikebiri hak-haknya sedemikian rupa
di bawah segelintir elite politik.Barangkali, saat ini rakyat belum merasakan apa-apa. Namun demikian, mereka baru akan merasakan ketidakberpihakan elite politik.

Dalam koalisi sering sudah ada kesepakatan, partai ini akan mendapat jatah menteri sekian, partai lain mendapat jatah menteri juga sekian. Dalam posisi ini, koalisi dianggap hanya jatah menjatah kekuasaan, parpol mana yang mendapat jatah menteri paling banyak dan mana yang paling sedikit dan mana yang tidak mendapat. Jika ada parpol mendapatkan suara banyak sementara mendapat jatah menteri sedikit, jelas parpol itu tidak akan setuju, untuk tak mengatakan akan memberontak.

Maka, koalisi harus dikembalikan pada makna sebenarnya. Ia adalah sebuah kesepatan politik (entah untuk bagi-bagi kekuasaan, wewenang, ucapan terima kasih atau apapun istilahnya) yang tujuan utamanya tetap pada kemaslahatan rakyat. Artinya, kepentingan rakyat adalah nomor satu. Sering kali, ide ini hanya ada dalam wacana, seminar-seminar dan materi kuliah. Dalam praktiknya sulit dilaksanakan. Tetapi ini tidak berarti bahwa ide untuk mengingatkan agar koalisi dikembalikan pada posisi sebenarnya harus berhenti kerena tidak sesuai dengan praktik nyata. Sekecil apa pun suara untuk mengembalikan pada posisi sebenarnya tetap penting. Ia ibarat oase di tengah padang pasir yang tandus.

Koalisi memang kepentingan, tetapi kepentingan yang harus diletakkan pada kepentingan rakyat. Jika tidak, maka rakyat yang pada dasarnya sudah ”dikebiri” kepentingannya saat koalisi terjadi, akan semakin menjadi sakit hati. Untuk itulah mereka tidak boleh menyakitinya untuk yang kedua kalinya setelah koalisi terbentuk. Dengan kata lain, pemerintahan hasil koalisi harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

Hanya pemerintahan seperti itulah yang akan mendapatkan mandat tulus dari rakyatnya. Semoga para elite politik yang terlibat koalisi dan berpeluang menduduki jabatan politik seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Prabowo, dan Wiranto masih berkhidmat pada kepentingan rakyat dan bangsa ini. (80)
sumber: harian Suara Merdeka, 30 April 2009.
Readmore »»

Kamis, April 23, 2009

Partai Golkar Sebagai Oposisi?

Setelah Pemilihan legislatif usai, salah satu partai politik (parpol) yang mengalami kebimbangan adalah Partai Golkar (PG). Sebab, inilah pemilihan legislatif yang memberikan dampak di luar prediksi sebelumnya. Golkar pada Pemilu 2004 mampu meraih 21,6 persen suara. Sementara itu dalam penghitungan sementara Pemilu 2009 perolehan suara PG belum melebihi 15 persen, bahkan sulit menembus 20-an persen lagi. Pada posisi yang berbeda Partai Demokrat yang pada Pemilu 2004 hanya memperoleh suara 7,5 persen, sekarang melonjak menjadi 20 persen.

Untuk itu, PG dihinggapi kebimbangan. Target sebelumnya, PG berkeinginan mendudukkan wakilnya sebagai calon presiden (capres) dengan mencari calon wakil presiden (cawapres) dari partai lain. Bayangannya, akan mencapai 20 persen seperti 5 tahun lalu. Tetapi saat ini PG harus realistis dengan tidak terlalu ngotot menempatkan wakilnya sebagai capres, tetapi cawapres.


Dua Pilihan
Maka, ada dua pilihan yang akan dihadapi PG; pertama, menempatkan wakilnya sebagai cawapres. Kedua, menjadi partai oposisi. Dua pilihan itu akan menjadi wacana aktual peta perpolitikan PG dalam waktu dekat.

Jika alternatif pertama yang dipilih, maka PG kemungkinan akan ikut mengelola negara ini kembali. Ia akan menjadi partai pemerintah. Tetapi, melihat perolehan suara yang didapat, maka ia sangat mungkin menjadi “ban serep” partai lain yang lebih besar dalam perolehan suaranya.

Keuntungan pilihan pertama ini, PG masih bisa ikut mengelola negara. Wakil PG yang kebetulan menjadi cawapres misalnya, akan mudah mendapatkan popularitas sebagai pejabat publik. Lima tahun berikutnya, PG akan bisa menentukan calonnya sebagai presiden. Tentu dengan syarat memperoleh suara yang signifikan. Ini tentu peluang besar. Sebab, tidak mungkin SBY akan menjadi calon untuk ketiga kalinya (jika seandainya ia terpilih kembali pada tahun ini).

Jika PG ikut dalam pemerintahan, maka perolehan suara lima tahun mendatang bisa jadi mengalami penurunan. Mengapa? Positioning PG sebagai partai pemerintah dan pernah berkuasan di zaman orde baru (Orba) dengan segala “kejahatannya” masih melekat di benak masyarakat. Era Orba, PG (waktu itu masih bernama Golkar) punya mesin kuat yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar sendiri (ABG). Golkar selalu mengklaim sebagai satau-satunya partai yang membangun bangsa ini. Nyatanya, memang bangsa ini waktu itu sedang membangun, sementara Golkar sedang berkuasa.

Tetapi untuk saat sekarang, apa yang akan “dijual” oleh PG? Masyarakat tidak akan percaya begitu saja jika partai itu melakukan pengklaiman sepihak atas keberhasilan pembangunan seperti zaman Orba. Apalagi perolehan suaranya tidak sebanyak pada era itu. Sementara itu, partai-partai lain sudah punya klaim masing-masing, baik menyangkut partai wong cilik, partai Islam, nasionalis, pluralis dan lain-lain. Dalam posisi inilah PG akan kehilangan isu yang akan digarap. Ini pulalah yang dirasakan PG selama ini.

Oposisi
Pilihan yang kedua adalah menjadi partai oposisi. Keuntungan menjadi partai oposisi antara lain; pertama, menunjukkan pada masyarakat sebagai partai yang kritis untuk meraih simpati rakyat. Jika PG menjadi partai oposisi, ia akan sibuk untuk menjadi partner pemerintah di luar pemerintahan. Ia akan menjadi penyeimbang, mengkritik, dan meluruskan yang bengkok terhadap kebijakan pemerintah. Jika pemerintah melakukan tindakan yang merugikan pemerintah, ia harus tampil di muka.

Namun kelemahannya, PG akan dianggap sebagai “partai barisan sakit hati” karena gagal terlibat dalam pemerintahan. Sehingga, bisanya “menganggu” pemerintah saja. Namun demikian, oposisi di sini harus dilakukan dengan cerdas, bukan sekadar hantam kromo saja. Masyarakat sudah semakin maju tingkat pendidikannya dan tahu mana yang sekadar mengkritik dengan kebencian, mana yang mengkritik untuk membangun.

Dari pilihan ini, diharapkan simpati masyarakat kian meningkat pula. Tentu saja dengan terus memperlebar jaringan, mengokohkan akar di grass root, dan memunculkan isu-isu yang cerdas menyangkut masyarakat. Sebab jika tidak hati-hati, justru masyarakat akan semakin muak karena ia menjadi partai oposisi yang asal beda, mengkritik saja, dan mencari-cari kesalahan pemerintah disebabkan “sakit hati”. Padahal partai itu kalah dalam kompetisi politik dalam Pemilu 2009.

Kedua, menghilangkan beban masa lalu. Tidak bisa dipungkiri masyarakat masih menyimpan trauma atas keberadaan PG. Ia adalah partai penguasa Orba dengan segala “keserakahannya”. Kalau PG mendapatkan suara banyak selama ini karena jaringan “mesin” politiknya saja. Ia telah dikenal masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Sementara partai-partai baru belum dikenalnya.

Dengan menjadi oposisi, maka beban masa lalu PG akan sedikit hilang dalam ingatan masyarakat. Sebab, bangsa ini terkenal dengan bangsa pelupa. Hal ini pernah disindir Milan Kundera. Dalam bukunya The Books of Laughter and Forgetting, ia pernah mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa ini sering dituduh sebagai bangsa yang gampang melupakan dosa-dosa masa lalu, kekerasan masa lalu, kejahatan masa lalu dan penyimpangan lain di masa lalu.

Agaknya, sindiran Kundera itu begitu mengena pada diri bangsa Indonesia. Ada banyak peristiwa yang dilupakan atau sengaja dilupakan hanya karena kita ingin disebut sebagai bangsa baik hati atau karena terlalu picik. Bagaimana kelanjutan proses kasus KKN yang melibatkan pemimpin era Orba?
Untuk itulah, kenyataan ini bisa dimanfaatkan PG dengan sebaik-baiknya. Bukan berarti kita setuju untuk “mengubur” kebobrokan” masa lalu. Tetapi, bangsa ini memang menjadi bangsa pelupa. PG bisa menjadikan momentum ini untuk mundur terlebih dulu, kemudian maju selangkah demi selangkah untuk meraih kemenangan. Tentu, ia membutuhkan proses yang tidak singkat.

Masalahnya, menjadi oposisi jelas akan ditentang oleh fungsionaris PG yang punya ambisi jabatan atau ingin ikut berkuasa. Orang-orang ini jelas akan mendukung PG sebagai partai yang terus ikut memerintah. Alasannya, mereka bisa menjadi menteri atau pejabat tinggi lain. Kalau sudah begini, kemunduran PG di masa datang tinggal menunggu waktu saja. Ia akan menjadi partai pemerintah yang akan terus disorot publik dengan segala keburukannya.
Sumber: Harian Joglosemar, 23 April 2009
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics