Rabu, November 11, 2009

Opini publik sebagai hukuman sosial


(Tulisan ini salah satu bahasan dalam buku "Opini Publik Sebagai The Fifth Estate)

Kasus “Cicak vs Buaya” menjadi semakin ruwet. Keruwetan ini muncul setelah menyeret banyak pihak yang terkait. Kasus itu semakin mendapat perhatian masyarakat luas setelah dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kapolri beberapa waktu lalu.

Terungkap, Kapolri membela dan ingin mengembalikan kewibawaan institusi Polri, Susno Duadji (mantan Kabareskrim) merasa tidak terlibat dalam kasus itu, bahkan sampai bersumpah sekalipun. Sementara dalam rekaman yang diungkap di Mahkamah Konstitusi (MK), nama dia justru sering disebut. Pertanyaannya adalah apakah Anggodo sedang melakukan “dramatisasi” sebuah perkara? Sementara itu, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah juga mengatakan tidak pernah menerima suap. Lalu, siapa yang bersalah dan siapa yang benar?

Peran media massa
Berbagai rentetan peristiwa di atas kemudian diberitakan oleh media massa (cetak dan elektronik). Rentetan peristiwa itu kemudian diikuti oleh opini-opini yang dibangun di atas fakta-fakta yang berasal dari opini narasumber. Jadi, media massa memberitakan fakta-fakta yang berasal dari pendapat para narasumber tertentu atas fakta perseteruan antara “Cicak vs Buaya”.

Jika opini-opini itu diberitakan oleh media massa, pengaruhnya juga sampai ke pembaca, penonton atau pendengarnya – sebut saja audiens. Jika audiens tersebut terpengaruh oleh pemberitaan dari media massa itu, jadilah yang disebut dengan public opinion (opini publik).

Opini publik adalah opini yang berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa, meskipun ada juga opini publik yang bisa dibangun bukan dari media massa. Masalahnya, media massa mempunyai kekuatan untuk memperkuat dan mempercepat tersebarnya sebuah opini.

Publik hanya mereaksi dari apa yang diakses audiens lewat media massa. Dalam posisi ini, opini bisa berkembang dengan baik atau tidak sangat tergantung dari pemberitaan apa yang disiarkan media massa itu.

Tak heran, jika opini publik bisa disebabkan oleh dua hal, direncanakan (planned opinion) dan tidak direncanakan (unplanned opinion). Opini publik yang direncanakan dikemukakan karena memang ada sebuah rencana tertentu yang disebarkan media massa agar menjadi opini publik. Ia mempunyai organisasi, kinerja dan target yang jelas. Misalnya, opini yang sengaja dibuat oleh elite politik tertentu bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Ide ini dikemukakan di media massa secara gencar dengan perencanaan matang.

Lain halnya dengan opini publik yang tidak direncanakan. Ia muncul dengan sendirinya tanpa rekayasa. Media hanya sekadar memuat sebuah peristiwa yang terjadi, kemudian diperbincangkan di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, media massa hanya mengagendakan sebuah peristiwa dan memberitakannya, hanya itu. Ia kemudian menjadi pembicaraan publik karena publik menganggap isu itu penting untuk diperbincangkan. Karena menjadi pembicaraan di masyarakat, media massa kemudian memberi penekanan tertentu atas sebuah isu. Akhirnya, ia menjadi opini publik juga.

Tahapan opini publik
Untuk menjadi opini publik, kemunculannya melalui berbagai proses yang tidak gampang dan singkat. Ferdinand Tonnies (Nurudin, 2001:56-57) dalam bukunya Die Offentlichen Meinung pernah mengungkapkan bahwa opini publik terbentuk melalui tiga tahapan; pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini publik masih semrawut seperti angin ribut. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan, kepentingan, pengalaman dan faktor lain untuk mendukung opini yang diciptakannya.

Kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik sudah menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa dianggap bahwa pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu secara jelas. Artinya, sudah mengarah, mana opini mayoritas yang akan mendominasi dan mana opini minoritas yang akan tenggelam.
Ketiga, die festigen position. Pada tahap ketiga ini, opini publik telah menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap dan suatu pendapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain, siap untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang tajam sebelumnya.

Menunggu ending
Perseteruan antara KPK dengan Polri jelas akan berdampak luar biasa bagi masyarakat. Tidak saja karena melibatkan dua institusi yang seharusnya memberikan contoh penegakan hukum, tetapi sudah mengarah pada gengsi antar lembaga. Polisi gengsi dan harus membela diri karena (merasa) dipojokkan, sementara itu KPK bisa menjadi besar kepala karena merasa didukung semua elemen masyarakat (demonstrasi, Facebook dan dukungan lain).

Namun, perseteruan ini menyisakan persoalan karena semakin membuat ruwet opini yang berkembang di masyarakat. Pihak kepolisian membela diri, sementara KPK juga tidak jauh berbeda. Masyarakat yang tidak kritis tentu akan menelan mentah-mentah berita-berita yang berasal dari media massa. Jika begini, media massa harus punya agenda mendasar untuk memberikan perspektif cerdas berkaitan dengan persoalan itu. Misalnya, media massa tentu tidak pada tempatnya ikut-ikutan membela kepolisian gara-gara kebanyakan anggota Komisi III beberapa waktu lalu cenderung membela Polri. Perhelatan dengar pendapat bak sebuah dagelan politik.

Semakin ruwet persoalan tersebut di atas, jika dikaitkan dengan pembentukan opini publik, bisa masuk dalam tahapan pertama yakni opini publik masih semrawut sebab masing-masing pihak yang bertikai saling merasa benar sendiri dan cenderung menyalahkan pihak lain. Yang jelas, kepentingan masing-masing pihak sangat transparan.

Soal bagaimana ending (akhir) “drama politik” terbesar tahun ini, biarlah isu itu terus bergulir. Biarlah nanti opini publik melalui tahapan selanjutnya. Biarlah media massa punya agenda tersendiri tanpa campur tangan kepentingan pihak-pihak lain. Dan akhirnya, biarlah masyarakat menilai mana pihak yang benar, mana pihak yang salah. Opini publik seperti itu akan memberikan pelajaran berharga, betapa setiap kejahatan saat ini akan menjadi sorotan masyarakat karena semua kejadian bisa diekspos media massa.

Barangkali, dukungan masyarakat atas KPK dan cenderung memojokkan Polri menjadi puncak gunung es kekecewaan perilaku masyarakat atas anggota Polri selama ini – lepas dari siapa nantinya yang bersalah. Dari sini, semua pihak tentu harus berpikir jernih dan cerdas. Mereka boleh melakukan apa saja, tetapi opini publik masyarakat tidak bisa direkayasa, apalagi mereka dibohongi. Biarlah opini publik menjadi hukuman sosial (social punishment) atas keserakahan mereka. - Oleh : Nurudin Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Jurnalisme Masa Kini
(artikel ini pengembangan dari tulisan saya di Solo Pos, 11 November 2009)
Readmore »»

Minggu, November 08, 2009

Mengungkap jurnalisme masa lalu dan masa kini

Oleh : Pardoyo, Penulis buku, editor, staf Litbang SOLOPOS
(Solo Pos, Minggu, 08 November 2009 , Hal.IV.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit : Rajawali Pers Jakarta
Edisi : I, 2009
Tebal : xvi + 350 Halaman

Seiring perkembangan teknologi komunikasi, di bidang jurnalisme terus mengalami perkembangan. Lebih-lebih setelah muncul internet, definisi mengenai jurnalisme pun mengalami perubahan.

Pengertian jurnalisme yang pada awalnya melekat pada orang yang bekerja di media cetak, saat ini telah berubah berkaitan dengan munculnya citizen journalism (jurnalisme warga). Pasalnya, kini, masyarakat yang tidak mempunyai penerbitan pun bisa menjadi wartawan atas dirinya sendiri, yakni dengan memakai website atau blog. Meskipun hal itu masih menjadi perdebatan, tapi realitas di lapangan demikian.

Bahkan, berbagai media massa pun telah membuka peluang bagi masyarakat untuk menulis tentang peristiwa atau sesuatu yang terjadi di lingkungannya untuk dikirimkan ke media tersebut. Misalnya, di Harian SOLOPOS dibuka subrubrik Ruang Publik. Melalui subrubrik ini siapa pun boleh mengirimkan tulisannya atau informasi untuk dimuat di koran ini.

Kalau subrubrik Ruang Publik lebih khusus bagi warga Solo dan sekitarnya, untuk mereka yang jauh dari Solo, bahkan yang berada di luar negeri pun bisa berinteraksi dengan pembaca koran ini, melalui subrubrik Buku Tamu di setiap edisi Minggu.

Revolusi
Memang, penemuan internet pada 1990-an telah menjadi keniscayaan sejarah dalam teknologi komunikasi yang pengaruhnya luar biasa. Pengaruh ini tak bisa kita hindari. Oleh karena itu, cara berkomunikasi pun telah mengalami revolusi. Cara penyampaian berita yang semula hanya dilakukan dengan cara manual, sekarang cukup dengan email. Surat kabar, televisi, dan radio tidak hanya mengandalkan medianya sendiri, melainkan sudah memakai internet.

Dengan begitu, penyebaran informasi, kini, bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja. Warga negara yang selama ini dipersepsikan hanya sebagai konsumen media, sekarang bisa bertindak sebagai ”jurnalis”.

Seperti diketahui, pengertian jurnalis berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa diartikan wartawan, yakni orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar, dsb. Sedangkan jurnalisme, masih menurut KBBI, merupakan pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar, dsb.

Dalam proses penulisan berita, menurut penulis buku ini, dulu didominasi dengan pedoman klasik 5W+1H (what, when, where, why, who, dan how) yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan, kini dengan jurnalisme baru, konsep klasik itu telah dikembangkan.

Konsep itu dikembangkan menjadi tulisan model naratif dengan mengubah rumus 5W dan 1H. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif, dan how menjadi narasi. Sehingga, pengisahan berita naratif menjadi mirip kamera film dokumenter. ”Ini menjadi kecenderungan jurnalisme baru,” tutur Nurudin yang selain aktif menulis di media massa juga dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang ini.

Dalam sejarah perkembangannya, jurnalisme mengalami kemajuan yang berarti. Ini sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi massa. Karenanya, kajian jurnalisme membawa banyak konsekuensi di bidang jurnalisme pula. Yang awalnya dimonopoli media cetak, sudah bertambah dengan media elektronik seperti televisi dan radio. Bahkan, sekarang sudah mewabah internet yang mau tidak mau menyeret pembahasan jurnalisme ke bentuk media baru itu (Halaman 13).

Di Indonesia, media cetak tak lagi cukup disajikan dengan media yang tercetak. Demikian juga media elektronik. Sekarang masing-masing mempunyai wujud dua, selain medianya sendiri, juga media internet. Harian SOLOPOS bukan hanya dalam bentuk media yang tercetak, tapi juga memiliki solopos.com. Harian Kompas memiliki kompas.com. Harian Jawa Pos juga memiliki jawapos.co.id. Demikian pula beberapa televisi seperti RCTI, SCTV, MetroTV, dll, semua itu juga menyajikan dalam media internet.

Oleh karena itu, dalam buku ini, selain disajikan asal-usul jurnalisme, definisi dan ruang lingkup jurnalisme, juga mengungkap konsep-konsep jurnalisme, kualifikasi jurnalis, prinsip-prinsip jurnalisme masa kini, dan topik-topik jurnalisme.
Dalam pembahasan tentang konsep-konsep jurnalisme, dijelaskan sejarah pers dan jurnalisme. Demikian pula dalam pembahasan tentang prinsip-prinsip jurnalisme masa kini, di dalamnya diungkap konsep-konsep baru dalam jurnalisme dan jenis-jenisnya. Misalnya jurnalisme warga negara, jurnalisme presisi, jurnalisme kuning, dsb. Dan, sebelum sampai pada kesimpulan, buku ini juga mengungkap KUHP vs UU Pokok Pers. q -


https://docs.google.com/document/d/1P8ePDLvLrGw9QX_u0gVptdhAsCo_Mpspotyj-ZGYJmU/edit?usp=sharing Readmore »»

Minggu, November 01, 2009

Syarat-Syarat Pembuatan Tugas UTS

Setelah Anda memilih anggota dan tema teori komunikasi massa yang dipilih saat perkuliahan, berikut saya sajikan syarat-syarat pembuatan tugas UTS:

Buatlah paper dengan syarat sebagai berikut:
1.Uraikan tema yang sudah dipilih kelompok Anda dengan isi:
a. Sejarah dan latar belakang kemunculan teori.
b. Inti teori dipaparkan secara jelas.
c. Bagaimana konteks aplikasi teori itu dalam kehidupan masyarakat sekarang, sertakan contohnya.
d. Apa kelebihan dan kekurangan teori itu.
e. Apa kesimpulan yang bisa didapatkan dari uraian makalah yang dibuat.
2.Sistematika penulisan bebas, yang penting bisa membahas permasalahan dalam poin 1
3.Diketik di atas kertas kuarto atau A4 spasi ganda (2), times new roman 12
4.Panjang tulisan antara 5-7 halaman.
5.Jangan lupa cover paper dengan mencantumkan nama, Nim, kelas, judul tema yang dipilih, nama mata kuliah (ketidaklengkapan syarat dalam cover ini mengakibatkan tugas tidak diperiksa).
6.Sertakan daftar pustaka buku minimal 5 buku (tidak termasuk literatur dari media massa)
7.Dikumpulkan saat Ujian Tengah Semester (UTS) sesuai jadwal dari fakultas. Jangan lupa tanda tangan presensi saat mengumpulkan tugas itu. Keterlambatan pengumpulan tugas mengakibatkan tugas itu akan ditolak.
8.No plagiarism.
9.Tidak melayani pengumpulan tugas lewat e-mail, FB dll.

Selamat belajar, semoga sukses.
Readmore »»

Jumat, Oktober 23, 2009

Televisi, Merenggut Fungsi Mendidik Guru

Pendidikan dan Realitas TV Indonesia
Munculnya televisi adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tak gampang untuk ditolak kehadirannya. Kemunculan “kotak ajaib” itu merupakan konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi massa yang diakui atau tidak telah membawa perubahan-perubahan yang berarti di masyarakat. Akibat munculnya televisi, masyarakat mengalami percepatan kemajuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Begitu dahsyatnya perubahan yang diakibatkan oleh televisi, ada banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan percepatan perkembangan teknologi komunikasi massa itu. Untuk sekadar menyebut contoh, kita saat ini telah memasuki era yang disebut “Revolusi Komunikasi” (Daniel Lerner), “Masyarakat Pasca Industri” atau the post industrial society (Daniel Bell), “Abad Komunikasi” atau “Gelombang Ketiga” atau the third wave (Alvin Toffler), “Global Village” (Marshall McLuhan), dan “Ledakan Komunikasi Massa” (Collin Cherry).

Tentu saja, perkembangan tersebut membawa dampak perubahan format masyarakat. Bahkan masyarakat saat ini tidak lagi mengandalkan komunikasinya melalui face to face communication, tetapi telah melalui media massa (cetak dan elektronik). Disamping itu, pola pikir dan perilaku kita sangat dipengaruhi oleh media massa pula. Coba kita pertanyakan, adakah barang yang kita miliki di rumah kebanyakan bermerek yang dikenalkan media massa? Adalah kita punya kemampuan untuk tidak memanfaatkan media massa dalam satu hari saja?

Dampak yang terjadi di masyarakat seperti yang dikemukakan di atas, tak terkecuali berdampak pada perkembangan anak-anak sebagai “pasar” televisi. Televisi memang membawa pengetahuan baru bagi anak-anak. Pengaruh yang sedemikian dahsyat akan pengaruh televisi pernah dikatakan Davis dan Abelman, “Although the family has been regarded as the primary agent in the socialization process (Gecas, 1992; Grusec & Goodnow, 1994; Maccoby, 1992), there is some evidence that television has the potential to transform the socialization process and displace the family from its traditional place in socialization” (Davis & Abelman, 1983) (Alexis Tan et.tal, 2000).

Banyak cerita memang, setelah menonton layar kaca tersebut anak-anak jadi semangat mempelajari Fisika atau IPA (bagi yang masih SD) ketika ditayangkan "Indosat Galileo". Melalui "Keluarga Cemara", anak-anak juga mendapat pelajaran tentang nilai keluarga dan bagaimana cara keluarga sederhana itu mengatasi kesulitan hidup mereka sehari-hari. Namun demikian, meskipun punya dampak positif, televisi juga bermuatan negatif. Bahkan muatan negatifnya jauh lebih besar pada diri anak-anak. Akan ampuhnya dampak televisi, pernah dikatakan oleh Huston, Zillman, & Bryant (1994), “Television is one of the most powerful socializing agents of children for several reasons. One is that children’s exposure to television begins in infancy and conservative estimate s are that it is watched three or more hours per day. Further, children’s access to television requires no special skills such as the ability to read” (Mary Strom Larson, 2002).

Pendapat itu jika ditarik ke dalam permasalahan yang lebih kongkrit adalah semakin banyak anak menonton televisi semakin kuat dampak negatif yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, semakin seringnya anak menonton televisi semakin sedikit minat membacanya. Di sinilah persoalannya bahwa televisi juga telah menumpulkan kecerdasan seseorang.

Dampak lain keberadaan televisi bisa dilihat dari kasus yang pernah menimpa Nyoya Rani (40 tahun). Suatu saat, ia sangat kaget ketika anak sulungnya yang berusia 11 tahun dan baru duduk di kelas 5 SD menanyakan apa artinya kondom. Dengan sedikit terbata-bata ibu yang juga karyawati sebuah perusahaan swasta itu menjawab pertanyaan sang anak dan berusaha disesuaikan dengan kemampuan nalarnya. Ketika diajak ngobrol, akhirnya si sulung mengemukakan istilah itu didapatnya dari tayangan televisi (Pikiran Rakyat, 22 Mei 2005).

Mengapa ini semua terjadi? Menurut sebuah penelitian, dari 15 judul sinetron ditemukan unsur yang kental sensualitas. Berpakaian seronok menempati aspek tertinggi (49 persen dari 169 pemunculan), lalu merayu (14 persen), merangkul (11 persen), dan menatap penuh hasrat lawan jenis (11 persen). Unsur seksualitas itu dikhawatirkan berujung pada pembentukan sikap permisif yaitu, cuek bebek pada terjadinya pelanggaran norma agama, sosial, bahkan hukum dalam kehidupan nyata (Republika, 30 Desember 2005).

Nyatalah bahwa televisi mempunyai dampak yang hebat pada sikap dan perilaku anak-anak. Anak-anak pun tak jarang menghabiskan waktunya di depan televisi. Dari sinilah kemudian problem muncul. Anak-anak terpengaruh oleh apa yang disajikan televisi. Televisi, dalam posisi ini sudah diposisikan sebagai seorang guru. “Sang guru” itu berceramah, bercerita, memberikan informasi, memberikan persuasi pada anak-anak tersebut, sementara anak-anak tanpa sengaja menurut dengan apa yang disajikan dari televisi itu. Televisi telah dianggap sebagai guru lantaran apa yang disajikannya bisa menghibur, sementara pelajaran di sekolah dianggapnya membebani, meskipun berguna bagi masa depan mereka.

Dari deskripsi latar belakang tersebut di atas permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah 1) sejauhmana dampak negatif televisi bagi anak-anak dan 2) bagaimana televisi telah mencabut fungsi mendidik seorang guru?

Baca lebih lanjut dalam: Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009.
Readmore »»

Sabtu, Oktober 03, 2009

Facebook, Tuhan Baru Masyarakat Modern?

“Pemkot Surabaya mulai gerah atas banyaknya pegawai negeri sipil yang online di Facebook dan Yahoo! Messenger (YM). ''Candu'' dua sarana perkawanan dunia maya itu dirasa begitu kuat, sehingga menurunkan kinerja aparat. Yang paling nyata, traffic internet di lingkungan pemkot ''disedot'' habis-habisan oleh dua situs tersebut” (Jawa Pos, 5/9/09).

Kalau Anda punya Facebook (FB) dengan jaringan pertemanan yang luas, akan menemukan kasus memukau pada bulan Ramadhan ini. Coba sekali-kali amati tulisan di status teman-teman Anda. Dalam status mereka, tak jarang ada doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Salah satu contohnya begini, “Mohon ampunanMU, aku masih berniat memperbaiki semua, bantu aku menjalani semua proses ini ya Allah”. Intinya, FB dijadikan sarana untuk memanjatkan doa. Itu belum termasuk kata-kata singkat, “habis sholat malam”, “mau tadarusan” , “Hari kelima puasa baru dapet 6 juz. Alhamdulillah, tapi masih kurang banyakkkkkk......” dan lain-lain.

Apa yang dilakukan pada FB-er (sebutan untuk para pengguna FB) seolah menjadikan FB sebagai Tuhan. Mengapa itu bisa terjadi?

Realitas Tuhan
Tuhan (dalam arti monoteisme) adalah tempat bergantung manusia. Dialah sesembahan dan tujuan akhir manusia untuk mencari tujuan hidup. Tuhan didudukkan sebagai sesuatu yang paling tinggi diantara semua hal. Intinya adalah Tuhan adalah tempat bergantung manusia.

Tentu saja, tidak semua manusia percaya adanya Tuhan. Meskipun begitu, Tuhan tetap memberikan kasih sayangnya pada mereka yang tak bertuhan sekalipun. Kasih sayang tak terbatas pada hanya pada mereka yang percaya Tuhan saja.

Bagi mereka yang percaya Tuhan, akan menjadikan Tuhan sebagai sebab utama. Dialah yang menjadikan dan dialah yang mengakhirkan. Manusia mungkin sudah berusaha, tetapi semua akan diserahkan pada Tuhan. Bahkan pada Tuhanlah mereka memohon petunjuk, berdoa, dan mengeluhkan segala persoalan hidup karena usaha manusia yang memang serba terbatas.

Tuhan memang tidak satu. Tuhan itu banyak dalam artian tempat bergantung manusia. Sementara Tuhan dalam ajaran monoteisme tetap satu, yakni sang Causa Prima (sebab awal). Sebagai tempat bergantung manusia, ada manusia yang menjadikan nafsu sebagai Tuhannya. Dalam perilakunya sehari-hari manusia ini selalu menuruti hawa nafsunya. Semua diabdikan untuk menyalurkan nafsu tersebut. Dalam posisi ini, manusia tersebut menjadikan nafsu sebagai Tuhan. Ada juga manusia yang menjadikan uang sebagai Tuhan. Jika ada manusia yang selalu mengukur sesuatu berdasarkan uang, orientasi hidup hanya untuk mencari uang, maka nyata ia telah menjadikan uang sebagai Tuhannya.

Realitas FB
Tidak sedikit diantara pada FBer sangat tergantung kehidupannya pada FB. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan ada yang terbangun dini hari membuka FB. Apalagi sekarang “berFBria” sangat mudah dinikmati dengan Hand Phone (HP). Macam-macam yang mereka dilakukan, dari soal mengubah status (ini yang sering), mengisi kuis, mengomentari status teman-temannya, sampai iseng-iseng mengetag (menandai) foto dirinya agar diketahui semua teman-temannya.

FB adalah tipe situs jaringan yang membuat aktif penggunanya. Ini sangat berbeda dengan Friendster (FS) yang muncul sebelumnya. Dalam FS, setiap komentar yang ditanggapi oleh teman-teman kita tidak diberitahukana oleh situs tersebut. Sementara dalam FB semua yang dilakukannya diberitahukan kepada pengguna. Jadi kalau kita mengomentari status teman, maka komentar teman yang punya status atau orang lain yang juga mengomentasi status teman kita itu bisa diketahui. Antar pengguna bisa berkomunikasi secara interaktif. Inilah kelebihan FB. Dalam FB juga bisa melakukan chatting layaknya Yahoo Messenger (YM).

Tak heran, jika para user sangat tergila-gila dengan FB. Bahkan di manapun menggunakan FB; di dalam kendaraan, di kampus, di tempat tidur, bahkan di dalam WC. Tak heran karena menariknya situs ini banyak perusahaan dan lembaga pemerintah melarang karyawannya menggunakan FB seperti yang terjadi pada Pemkot Surabaya. Alasannya, FB mengurangi produktivitas. Para karyawan tidak mau bekerja, tetapi justru “berFBria”. Bahkan itu juga terjadi pada anggota legislatif saat rapat atau aktivitas lain di gedung dewan.

Ketika para user itu putus cinta, misalnya, mereka tumpahkan dengan menulis status dalam FB. Mereka yang sedang gembira juga tidak berbeda. Bahkan sekadar hanya meminta saran tentang persoalan yang dihadapi, mereka memanfaatkan FB sebagai alatnya. Pokoknya, FB adalah alat yang bisa menyelesaikan semua persoalan hidup.
Di sinilah para user itu sangat tergantung sekali pada FB. Coba tanyakan pada mereka yang sudah kecanduan FB, apakah mereka kuat menahan tidak membuka FB dalam satu hari? FB sudah mempengaruhi hidup mereka. Apa pun akan dilakukan agar bisa FB-an. Sungguh, sebuah fenomena baru dalam masyarakat modern. Sangat mungkin dalam pikirannya, file-file tentang FB melebihi file persoalan yang lain.

Tuhan Baru
Apa yang dilakukan pada FBer sama persis dengan ajaran agama. Agama mengajarkan, agar manusia selalu mengingat Tuhannya, dimanapun dan kapan pun. Jika pikiran manusia terus menerus pada FB, tak heran mereka (seolah) sudah menjadikan FB sebagai “Tuhan Baru” dalam hidupnya. Alasannya, FB telah menjadi tempat bergantung manusia agar tidak terombang-ambing hidupnya, sama dengan agama bukan?

Kalau manusia sudah menggantungkan dirinya pada hal lain yang sama dengan Tuhan, bisa jadi dalam tubuh manusia itu telah bersemi "Tuhan Baru” di luar keyakinan pada Tuhannya. Mungkin manusia itu tak merasa, mereka telah menjadikan FB sebagai "Tuhan Baru''. Baginya, bisa jadi Tuhanya tetap Allah swt, misalnya, namun tingkah lakunya sehari-hari atau ketergantungan pada FB telah mengikis kepercayaan pada Tuhan.
Melalui agama yang diturunkan Tuhan, manusia diarahkan, dituntut, bahkan "diharuskan'' untuk melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu yang lain.

Intinya, manusia menjadikan referensi utamanya pada agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketergantungan yang demikian besar manusia pada agama merupakan ciri pokok manusia religius. Bagaimana jika manusia telah menjadikan FB sebagai Tuhannya?
Masalahnya, Tuhan baru yang dijadikan referensi hidup itu akan mengikis nilai-nilai ruhani manusia. Nilai-nilai transendental yang selama ini diajarkan oleh agama Tuhan, akan mengalami degradasi. Sebab, manusia sudah menggantungkan hidupnya pada FB.

Mereka berdoa tidak lagi pada Tuhan, tetapi lewat FB. Mengapa berdoa saja harus diketahui orang lain? Memang benar-benar berdoa atau hanya sekadar riya’? Bisa jadi, harapannya, dia menulis doa pada status FB agar diamini oleh para user. Tapi itu sama saja dengan seseorang berdoa dengan suara keras di tengah alun-alun agar orang yang melihatnya mengamini. Tapi jangan-jangan hanya cacian saja yang didapatkan karena dianggap memutarbalikkan hakikat doa? Jadi, jika aktivitas FBer seperti yang digambarkan di atas, mereka sedang membuka peluang tumbuhnya “Tuhan baru” dalam dirinya. Wallahu A’lam.
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics