Kamis, April 08, 2010

Pendidikan Multikultur 3: 'Fatimah Sang Ketua Kelas, Sedangkan Si Joni Sang Juara Kelas"

(Saling Bahu Membahu Antara Laki-laki dan Perempuan 3)

Apakah Anda pernah melihat Film berjudul “Perempuan Berkalung Surban” yang diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqi (2000)? Apa makna yang bisa Anda tangkap dari film itu berkaitan dengan posisi laki-laki dan perempuan? Film ini adalah gambaran realitas masih adanya hegemoni bahwa laki-laki itu lebih penting, perlu diposisikan pada level tinggi, dan berada di depan. Sementara perempuan harus mengalah.

Jika Anda belum pernah menonton, ringkasan film cerita yang disutradarai Hanung Bramantyo kira-kira begini. Film ini bercerita tentang Annisa (yang diperankan oleh Revalina S. Temat), seorang gadis yang terkenal "nakal". Ia “nakal” terhadap tradisi pesantren. Annisa berusaha berjuang untuk keluar dari "kungkungan" pesantren, tempat dia dilahirkan dan dididik dengan ilmu-ilmu agama. Ia adalah santriwati dari sebuah Pesantern Salafiyah al-Huda di Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Hanan (Joshua Pandelaky), yang terkenal "konservatif".

Disamping seorang kiai, Kiai Hanan juga sesekaligus bapak Annisa sendiri. Sebagai kiai konservatif, pak kiai itu mempunyai prinsip bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin. Prinsip ini dibuktikan ketika Annisa duduk di Madrasah Ibtidaiyah (SD). Pada pemilihan ketua, Annisa terpilih menjadi ketua kelas dengan perbedaan suara tipis dengan anak laki-laki. Namun demikian, guru kelasnya langsung menunjuk pemenang kedua, sebab dia laki-laki, dan keputusan ini didukung Kiai. Karena kecewa, Annisa melakukan walk-out.

Prinsip konservatif lain yang dijalankan pesantren itu adalah adanya larangan naik kuda bagi perempuan. Kebijakan ini tentu saja ditentang Annisa. Menurut Annisa, Aisyah (putri Rasulullah) pun bisa menunggang kuda. Ketidakadilan yang menimpa Annisa juga menyangkut persoalan sekolah. Saudara laki-laki Annisa dikirim ke Mesir untuk sekolah, bahkan dengan cara menjual beberapa bidang tanah. Sementara Annisa harus berada di “rumah” saja.

Untuk urusan menikahpun, Annisa tidak bisa berbuat banyak. Dia harus menikah dengan lelaki pilihan Ayahnya, Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak kiai Salaf, pesantren besar, yang banyak menyumbang dana untuk kemajuan pesantren al-Huda. Dengan pernikahan ini, justru Annisa makin terpuruk sebagai ibu rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga pun selalu menghantui hidupnya sehari-hari. Sedangkan Annisa sendiri sebenarnya suka dengan paklik Khudori (Oka Antara) dari keluarga ibunya.

Karena Annisa dinikahkan dengan Samsudin, Khudori akhirnya pergi ke Mesir untuk kuliah. Keterpurukan Annisa kian menjadi-jadi.

Annisa tidak diam oleh keadaan itu. Dia memberontak. Dia melakukan perlawanan sebagai perempuan. Dia kemudian meninggalkan lingkungan pesantren suaminya dan memilih pergi ke Yogyakarta, untuk kuliah dan melanjutkan hobinya menulis. Dia pun aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hukum, yang mengadvokasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Ibu Annisa (Widyawati) adalah sosok ibu pendiam, tapi menyimpan kebaikan-kebaikan. Dia menunjukkan peran ibu yang mengayomi semua anaknya, selalu mengerti apa yang dilakukan anak-anaknya, sosok ibu yang baik.

Apa yang bisa dipetik dari kondisi pesantren, dan pemberontakan yang dilakukan Annisa dalam film “Perempuan Berkalung Sorban? Pemberontakan atau lebih tepatnya kritik atas hegemoni laki-laki, bukan hanya dalam lingkungan pesantren, tetapi juga tempat lain. Film ini berusaha mengoreksi pemahaman sempit para penafsir agama bahwa perempuan tidak berhak menjadi subjek yang merdeka, dan harus dituntun oleh laki-laki. Walau pun terkadang laki-laki tidak bisa menuntun, tetapi tak jarang justru malah menjerumuskan.

Film ini jelas berbeda dengan sinetron komedi “Suami-Suami Takut Istri” yang disiarkan TransTV. Sinetro ini meskipun menggambarkan pemberontakan perempuan atas laki-laki, tetapi terkesan didramatisir, penuh khayalan, dan kurang menggambarkan realitas sesungguhnya. Namun, “Perempuan Berkalung Sorban” menyajikan dengan adil, pergulatan hegemoni itu dengan kemasan cerita yang menarik dan pengambilan gambar yang indah.

Pemberontakan kaum perempuan juga diperlihatkan oleh ibu Annisa yang pendiam. "Siapa yang merasa tidak berdosa, silakan merajam", kata ibu Annisa. Pernyataan ini meluncur begitu saja dai mulut ibu Annisa ketika Annisa dan Khudori, dituduh berbuat zina. Padahal mereka hanya ngobrol sebentar di belakang pesantren. Kalimat itu sebenarnya bukan sekadar pembelaan, tapi sebuah kata yang kuat untuk menggambarkan bahwa pelaksanaan dogma hukuman rajam, bagi Ibu Annisa, harus imbang. Sementara itu yang melakukan hukuman juga harus benar-benar bersih dari dosa, apakah bisa hukuman itu dilakukan, kalau semua manusia memang berdosa.

Apa yang disajikan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” mempunyai makna sebagai berikut;
a. Hegemoni laki-laki dalam kehidupan sehari-hari masih sedemikian kuat.
b. Laki-laki harus menjadi pemimpin, perempuan yang dipimpin.
c. Tafsir pemahaman agama masih ditafsirkan menurut kepentingan diri dan kelompoknya.
d. Ada ketidakadilan yang selama ini dilanggengkan dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan sengaja didiamkan.

Sebenarnya, kenyataan adanya perbedaan yang tajam antara laki-laki dan perempuan itu bukan sekadar muncul begitu saja, tetapi merupakan rentetan ketidakadilan yang selama ini terus dilanggengkan. Orang tahunya, ketidakadilan muncul dan berusaha untuk melawannya. Mengapa mereka tidak berusaha mencari akar persoalan dari ketidakadilan itu? Dengan kata lain, kalau ingin menciptakan keadilan atas posisi dan hubungan laki-laki dengan perempuan harus dicari akar persoalannya.

Salah satu persoalan yang penting untuk dikaji adalah ketidakadilan yang selama ini melekat pada perlakuan anak didik oleh seorang guru. Kasusnya hampir sama dengan yang terjadi pada diri Annisa yang dicabut haknya sebagai ketua kelas yang sah oleh gurunya.

Sebagai seorang pendidik, guru layak untuk mempertanyakan;
a. Apakah saya sudah memberikan keadilan dengan memberikan kesempatan yang sama pada anak didik saya selama ini?
b. Apakah sebagai guru laki-laki/atau perempuan saya masih mementingkan kaum saya?
c. Apakah saya berusaha melawan jika ada kebijakan sistem yang mementingkan kauam tertentu?

Berbagai pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas layak untuk terus didengungkan dalam sanubari dan pikiran seorang guru. Apakah saya harus melawan atasan kalau atasan tidak adil (misalnya) dengan mementingkan sekelompok kaum tertentu? Melawan di sini tentu tidak harus memakai cara-cara yang revolusioner atau kekerasan. Melihat ketidakadilan dan melawan dengan kemampuan (tangan, pembicaraan) adalah perlawanan yang paling baik. Tetapi, diam adalah juga bentuk perlawanan. Perlawanan yang lebih cerdas adalah dengan terus memberikan pengertian pada anak didik bahwa mengedepankan laki-laki dan meminggirkan perempuan itu tidak adil. Dan kalau perlu ditunjukkan dengan perilaku nyata. Biarlah anak berkembang sesuai kemampuannya, tidak perlu dilarang-larang sedemikian rupa.

Anak perempuan dan laki-laki harus maju bersama-sama. Anak perempuan kalau memang punya kemampuan lebih perlu diberikan kesempatan untuk maju di depan. Sementara itu, meskipun dia anak laki-laki tetapi kalah bersaing dengan perempuan sebaiknya dengan sadar harus menyingkir. Yang paling baik memang memberi kesempatan kedua jenis kelamin itu untuk bersaing secara sehat. Bahkan kalau perlu mereka sama-sama menjadi pemimpin. Fatimah menjadi ketua kelas, misalnya, sementara Joni menjadi juara kelas. Laki-laki dan perempuan dalam hal ini diposisikan secara terhormat dalam sebuah sistem pendidikan.

Memang, membongkar ketidakadilan yang ada dalam sistem pendidikan dasar kita selama ini tidaklah gampang dan memakan waktu lama. Lihat misalnya perubahan pada teks membaca pada tahun 1970-an. Waktu itu, dalam pelajaran membaca yang menceritakan keluarga Budi selalu ditulis, “Bapak pergi ke sawah, ibu memasak di dapur”.
Kalimat itu jelas mencerminkan bagaimana seorang perempuan didudukkan pada sektor domestik (memasak), sementara bapak ada pada sektor publik (bekerja). Itu adalah gambaran realitas budaya masyarakat yang menempatkan perempuan subordinat laki-laki kemudian diabsahkan melalui sistem pembelajaran sekolah. Bukankah kenyataan ini terus dilanggengkan?

Lambat laun dengan perkembangan pendidikan masyarakat yang kian maju, kalimat “Bapak pergi ke sawah, ibu memasak di dapur” sudah mulai ditinggalkan. Tetapi itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sekarang, dalam pelajaran membaca kedudukan laki-laki dengan perempuan dianggap sama.

Namun demikian, itu baru ada dalam teks pembelajaran. Dalam praktiknya tidak mudah untuk diubah. Memang sudah tidak ada kalimat yang mencoba memosisikan laki-laki ada di sektor publik sementara perempuan di sektor domestik, tetapi dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari hal itu masih “jauh panggang dari api”.

Bahkan, para guru sering tidak sadar kalau dia juga melakukan tindakan yang kurang adil. Misalnya, seorang laki-laki harus menjadi pemimpin upacara, sementara perempuan di luar itu. Meskipun bukan berkaitan dengan sektor domestik dan publik, tetapi menempatkan laki-laki lebih superior masih menggejala di sekolah-sekolah. Tak terkecuali dengan menempatkan laki-laki sebagai ketua kelas. Tidak percaya? Coba dilakukan survei kecil-kecilan, berapa persen sekolah-sekolah yang menempatkan, bahkan kadang direkayasa oleh gurunya, perempuan sebagai ketua kelas dan laki-laki sebagai ketua kelas? Anda akan menemukan jawaban bahwa prosentase laki-laki yang menjadi ketua kelas jauh lebih banyak daripada perempuan.

Ini bukan berarti dalam kelas tersebut tidak ada perempuan yang mumpuni, tetapi ada budaya yang masih hidup bahwa laki-laki itu harus didepan dan memimpin. Perubahan demi perubahan ini jelas sangat membutuhkan peran aktif seorang guru.

Tentu saja, mendudukkan anak perempuan sejajar dengan laki-laki di dalam sistem pendidikan tidaklah mudah diwujudkan. Beberapa kendala yang bisa dilihat antara lain;
a. Kendala utamanya ada pada guru laki-laki. Bagaimanapun juga sentimen kelaki-lakian masih sangat kuat ada dalam budaya kita. Lihatlah berapa banyak laki-laki yang rela memperjuangkan hak-hak perempuan? Bukankah mereka lebih memilih diam karena jika diperjuangkan kesamaan antara laki-laki dan perempuan akan mengancam “habitatnya”?
b. Sistem pendidikan kita secara tertulis memang menempatkan laki-laki dan perempuan memang sejajar dan didorong bersama-sama untuk maju, namun dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan.
c. Budaya masyarakat kita belum menerima sepenuhnya jika ada kesamaan peran antara laki-laki dengan perempuan.
d. Ajaran agama masih dipahami secara tekstual dan bukan kontekstual.

Akibatnya, peran perempuan semakin terjerembab, justru sering dikatakan “atas nama agama”. Misalnya, “Atas nama agama, maka laki-laki harus menjadi pemimpin”
Meskipun tidak mudah, hal demikian tetap perlu diperjuangkan. Bahwa anak laki-laki dan perempuan harus punya kesempatan bersama dalam meraih prestasi. Persoalan apakah siapa yang paling dominan di masa datang itu urusan nanti. Yang penting, guru telah memberikan dasar-dasar pembelajaran yang baik dan adil kepada anak didik. Tentu saja, semua harus diniatkan dengan ibadah dan bukan sekadar melawan.

Bagi guru perempuan, proses penyamaan hak antara anak laki-laki dengan perempuan bukan semata-mata agar kaumnya menang. Dengan kata lain, hanya sekadar usaha merebut posisi yang selama ini didominasi laki-laki. Kalau begini caranya, ada kesan hanya sekadar balas dendam. Bagaimana jika balas dendam ini kemudian justrsu tidak didukung oleh kaum Adam? Bukankah perjuangannya nanti akan sia-sia? Tentu saja harus didasari niat menjalankan amanah dan beribadah harus berapa di posisi depan.
Jadi, kenapa tidak mungkin Fatimah (anak perempuan) sebagai ketua kelasnya, sementara Joni (anak laki-laki) juara kelasnya?
Readmore »»

Pendidikan Multikultur 2: "Kami Bermain Bersama"

(Saling Bahu Membahu Antara Laki-laki dan Perempuan 2)

Pada suatu hari, di sebuah TK di kota Malang akan menyelenggarakan test psikologi untuk melihat potensi anak-anak sekolah itu. Untuk menyambut acara tersebut, maka diumumkanlah kepada siswa-siswa, dan tentu juga kepada orang tua wali, untuk mengikutinya. Setiap siswa dibebani biaya Rp. 10.000,- rupiah. Surat pun dilayangkan ke orang tua dengan dititipkan kepada anak-anak TK itu.

Kebanyakan orang tua penasaran, apa bakat anaknya. Pilihannya, mendaftarkan anaknya untuk ikut test psikologi yang akan diselenggarakan oleh sekolah tersebut. Untuk menyambut acara itu, sekolah juga tidak tanggung-tanggung dengan mengundang psikolog yang sudah ternama. Harapannya, agar potensi anak-anak didiknya benar adanya.

Setelah hari pelaksanaan tiba, diujilah anak-anak TK itu satu per satu ke ruangan sekolah. Hingga semua anak yang mendaftar telah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti test. Besok paginya, saat anak-anak mengukti pelajaran, giliran orang tua yang wali murid yang dipanggil oleh psikolog yang melaksanakan tes psikologi itu.

Deg-degan pun menghinggapi para orang tua tersebut. Tapi ada juga yang yakin akan bakat anaknya yang memang lebih dari cukup.

Terjadilah dialog diantaranya sebagai berikut;
“Gimana bu, hasil tes anak perempuan saya?” tanya seorang wali murid pada psikolog.
Dengan agak sungkan-sungkan sang spikolog menjawab, “Begini ibu, anak ibu agaknya mengalami kelainan sedikit.

“Kelainan bagaimana maksudnya?” tanya wali murid itu tidak sabaran.

“Maksud saya, ada sedikit gangguan pada perkembangan anak ibu.”

“Terus?”

“Saat kami sodorkan beberapa pilihan permainan antara sepak bola dan senam, anak ibu memilih sepak bola sebagai permainan kesukaan.”

“Terus, apanya yang salah, ya bu?”

“Begini bu. Sepak bola itu kan olah raganya anak-anak laki-laki. Tetapi anak ibu justru menyukainya. Bukankah ini kelainan?“

Ibu itu hanya terdiam. Dia tidak berpikir kalau selama ini anaknya dianggap punya “kelainan”.

Cerita di atas barangkali terjadi pada anak atau keluarga kita. Cerita tersebut juga menggambarkan pada kita bahwa adanya pengkotak-kotakan dalam memilih permainan yang kemudian dikaitkan dengan bakat atau kecenderungan si anak. Ada olah raga ini untuk laki-laki, olah raga itu untuk perempuan dan sebagainya.

Dari cerita itu, bisa diambil benang merah bahwa ada sesuatu yang bisa jadi salah dalam pelajaran hidup kita selama ini, meskipun bukan satu-satunya kesalahan. Bahwa permainan sepakbola itu adalah permainan laki-laki. Dan ini menjadi pendapat mayoritas masyarakat. Akibatnya, jika ada seorang perempuan itu bermain bola dianggap sesuatu yang mengingkari dirinya sebagai seorang perempuan.

Sementara itu, perempuan biasa diidentikan dengan olah raga yang lebih feminim dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak, misalnya senam. Ketika ada seorang anak laki-laki sedang dengan olah raga senam, juga akan dianggap punya kelainan. Dan masih banyak permainan yang selalu diidentikkan dengan persoalan laki-laki atau perempuan.

Memang tidak bisa dipungkiri, umumnya pekerjaan perempuan dengan laki-laki bisa dibedakan. Misalnya seorang perempuan terlihat lebih banyak terlibat pada kegiatan yang membutuhkan kelembutan, perhatian dan perasaan, misalnya bermain boneka-bonekaan, masak-masakan, keterampilan tangan, dan sebagainya. Sementara laki-laki terlihat lebih banyak terlibat pada kegiatan yang menuntut ketangkasan, keberanian atau ketegasan. Bisa dimaklumi jika ada pembagian bentuk permainan yang perlu digeluti antara laki-laki dengan perempuan.

Bagaimana kita menyikapi akan hal ini? Apakah seorang anak laki-laki harus dipisahkan dengan anak perempuan dalam bermain bersama-sama? Bagaimana mereka bisa saling belajar memahami satu sama lain jika harus dipisah-pisah seperti itu? Itulah berbagai pertanyaan yang layak untuk kita renungkan bersama-sama.

Umumnya orang tua, termasuk guru, juga akan kebingungan menghadapi kasus di atas. Bagaimana tidak jika yang mengemukakan adalah seorang psikolog? Banyak orang tua yang hanya mengikuti apa yang dikehendaki oleh para psikolog itu. Ia tidak salah, hanya tidak seratus persen benar.

Seorang anak laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya, dan dalam batas-batas tertentu, tidak perlu dilarang mau main permainan apa di waktu kecil. Bukan pada soal apakah bentuk permainannya salah, tetapi harus dipahami bahwa itu semua sebagai salah satu sosialisasi antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Jika benar bahwa antara laki-laki berbeda secara biologis dan psikologis, bermain bersama-sama akan bisa mengasah kepekaan mereka dan mempercepat proses pendewasaan diri satu sama lain. Jika kita juga sepakat bahwa laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih mengandalkan perasaan, justru ketika masih kanak-kanak harus dibaurkan. Bukan untuk apa, tetapi biar sama-sama saling belajar.

Bagaimana jika anak laki-laki terus bermain dengan anak laki-laki? Ia akan mungkin terus mengedepankan sifat kelaki-lakiannya, dan tidak punya perasaan sepeka yang dipunyai perempuan. Artinya, anak laki-laki yang hanya bermain dengan anak laki-laki saja tidak punya perasaan lebih baik jika dibandingkan dengan anak laki-laki yang bisa bermain dengan anak perempuan. Ini tidak bermaksud agar laki-laki menjadi perempuan. Masalahnya, bukankah jika dewasa nanti dua orang yang berjenis kelamin berbeda itu akan hidup bersama-sama? Mereka yang sudah dibesarkan dan di dewasakan pemikiran dan perasaannya akan cepat menyesuaikan diri.

Tak terkecuali dengan perempuan. Jika perempuan dibaurkan untuk bermain dengan laki-laki, ia akan mengenal sosok dan pemikiran yang ada pada laki-laki. Ini juga bukan berarti ia harus menjadi laki-laki. Tidak. Kemampuan bergaul dengan laki-laki di waktu kecil akan membuat perempuan tidak menjadi orang yang lembek dan hanya mengandalkan perasaannya saja. Jika ini tidak dilakukan, jangan-jangan ia akan menjadi generasi yang cengeng. Punya masalah sedikit menangis. Ini juga tidak berarti bahwa semua perempuan itu cengeng.

Pendapat tersebut di atas tidak bermaksud membedakan terlalu tajam antara laki-laki dan perempuan. Pentingnya bahu membahu antara laki-laki dengan perempuan lebih sebagai sebuah kodrat perlunya kerjasama diantara mereka. Bersaing penting, tetapi kerjasama tak kalah pentingnya.

Kerjasama yang baik antara anak laki-laki dengan perempuan juga tidak akan membuat saling menguasai satu sama lain. Bahwa laki-laki itu tugasnya di sektor publik, sementara perempuan disektor domestik. Baik sektor publik maupun sektor domestik jika perlu bisa dikerjakan oleh kedua jenis kelamin itu. Tentu saja dalam porsi yang berbeda dan di luar kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Yang perlu ditekankah di sini adalah semangat akan pentingnya kerjasama antara laki-laki dengan perempuan.
Konsep kerjasama (baca: saling menolong) antara laki-laki dengan perempuan sudah sepantasnya dilakukan sejak dini. Tolong menolong sudah digariskan dalam Al Qur’an, “Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al Maidah: 2).

Hal demikian juga pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Meskipun tidak menggambarkan tolong menolong antara laki-laki dengan perempuan, saling menolong harus menjadi semangat untuk menciptakan kebersamaan, tak peduli jenis kelaminnya.
Suatu hari Rasul jalan-jalan ke pasar dengan membawa uang delapan dirham. Di tengah perjalanan, Rasul bertemu dengan budak perempuan sedang menangis, kemudian Rasul bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”

Kemudian budak itu menjawab, “Majikan saya mengutus untuk membeli sesuatu dengan uang dua dirham, tapi uang tersebut sekarang hilang”.

Kemudian Rasul memberinya dua dirham. Selanjutnya Rasul berjalan dengan membawa uang enam dirham, dan membeli pakaian seharga empat dirham untuk dirinya dan kemudian di pakai. Dalam perjalanan pulang, Rasul bertemu dengan seorang muslim yang tua tak berpakaian seraya berkata, “Barang siapa memberi pakaian kepadaku, maka akan diganti Allah sebuah akaian dari surga.

Kemudian Rasul mencopot pakaian yang baru dibeli dan diberikan kepada orang tersebut. selanjutnya Rasul berkeinginan kembali ke pasar dan membeli pakaian seharga dua dirham dan kemudian dipakainya, Rasul bergegas untuk pulang.
Cerita di atas adalah teladan Rasulullah bagaimana kepedulian untuk saling bekerjasama perlu dikedepankan, bahkan kerelaan berkorban untuk orang lain.

Orang tua atau guru yang mendorong kerjasama antara laki-laki dan perempuan, dalam batas-batas tertentu, jelas sedang melaksanakan sunnah Rasul di atas. Bagaimana caranya mewujudkan dan memupuk itu semua?

Pertama, biarlah anak berkembang sesuai kedewasaannya. Tidak perlu dilarang-larang atau dibatasi bentuk permainan atau kepada siapa ia akan bermain. Ini semua penting untuk mendewasakan kepribadian anak di masa datang. Tidak pada tempatnya pula menjelaskan kepada anak didik bahwa laki-laki itu lebih super dari pada perempuan. Kita tidak hidup dalam zaman “Siti Nurbaya” lagi.

Kedua, jangan sesuatu dikaitkan dengan bakat. Memang bakat itu ada dan penting. Tetapi bakat bukan segala-galanya. Sesuatu kalau dilakukan terus menerus akhirnya akan bisa.

Ketiga, biarlah anak bermain sesuai keinginannya. Semua itu akan membentuk kepribadian anak di masa datang. Anak yang terus dikungkung dalam lingkungan pergaulan tertentu hanya akan menjadi anak yang tidak berkembang sebagai mana layaknya.

Barangkali cerita Kingsley Davis bisa dijadikan contoh kongkrit. Jika anak terus dikungkung, ia tidak bisa berkembanag secara wajar. Ia pernah mengamati perilaku seorang anak yang bernama Anna (5 tahun). Hampir seluruh hidupnya disekap dalam sebuah kamar kecil di atas loteng di sebuah rumah petani di Pensylvania, Amerika. Anak tersebut diasingkan dari lingkungan. Akibatnya kemudian, ia mempunyai sifat-sifat yang berlainan dengan anak seusianya; dia tak dapat jalan, tak dapat mendengar dengan sempurna dan tak dapat makan sempurna seperti halnya manusia.
Readmore »»

Pendidikan Multikultur 1: "Ternyata Kita Bisa, Lho...."

(Saling Bahu Membahu Antara Laki-laki dan Perempuan 1)

Awalnya memang film. Tetapi, film adalah gambaran realitas masyarakat yang terjadi atau yang dicita-citakan. Memang ada perbedaan mencolok antara yang diceritakan dalam film dengan kenyataan sebenarnya. Tetapi, film tak lain adalah reflsksi realitas masyarakat yang sebenarnya dan bingkai kecil. Dari film, tak jarang kita sering melihat teladan yang baik, tak terkecuali yang berkaitan dengan peran anak laki-laki dan perempuan. Lewat film, bagaimana anak-anak diberikan contoh berperilaku baik -- meski tak jarang ada juga film yang berdampak negatif.

Sekarang, ambil contoh film”Petuangan Sherina” yang pernah diputar di bioskop-bioskop seluruh Indonesia dan menjadi penanda bangkitnya film anak-anak di layar lebar. Sherina (diperankan oleh Sherina Munaf) adalah seorang gadis cilik yang cerdas, enerjik, dan senang menyanyi. Ia tinggal di Jakarta bersama orang tuanya, Bapak Darmawan (Mathias Muchus). Namun Sherina harus meninggalkan sahabat-sahabatnya, ketika ayahnya diterima bekerja di perkebunan sayur milik Pak Ardiwilaga (Didi Petet) di Lembang.

Di lingkungannya yang baru, ia dengan cepat tanggap dan dapat menyesuaikan diri serta mudah memperoleh teman-teman baru. Namun iapun menjadi sasaran kejahilan para 'bandit kelas', yaitu seorang anak laki-laki bernama Sadam (Derby Romero) dan dua anteknya, Dudung dan Icang. Mereka sering mengganggu anak-anak yang lebih lemah, khususnya perempuan. Sherina tidak dapat menerima perlakuan tersebut dan menggalang teman-teman barunya agar berani melawan Sadam.

Dalam suatu liburan singkat, Sherina berkesempatan untuk mengenal Sadam lebih dekat. Keduanya terlibat dalam suatu petualangan yang menguji kecerdikan, ketabahan dan keberanian mereka serta kemampuan untuk saling bekerja sama dalam menghadapi komplotan bandit yang sesungguhnya, yaitu komplotan Pak Raden, yang merupakan suruhan dari seorang pengusaha licik bernama Kertarajasa. Kertarajasa ingin menguasai areal perkebunan Pak Ardiwilaga untuk dijadikan proyek real-estate.

Sebagai seorang anak yang merasa lebih kuat, Sadam (sebagai anak laki-laki) terlalu gengsi bermain dengan Sherina (sebagai anak perempuan). Tetapi, karena kondisi memaksa, maka kedua anak itu harus bekerja sama kalau tidak mau diculik oleh komplotan yang disuruh oleh Kertarajasa. Karena Sadam tidak ingin ditangkap dan menyadari Sherina lebih siap menghadapi keadaan, maka keduanya harus bekerja sama. Maka, Sherina dan Sadam tidak saja mengecoh penjahat yang mau menangkapnya, tetapi telah menyelamatkan orang tuanya dari niat jahat orang lain.

Itu memang hanya film, tetapi menggambarkan betapa anak perempuan seringkali masih dianggap lemah disanding laki-laki. Bahkan tidak pada lingkup anak-anak saja, tetapi juga orang dewasa. Di sinilah gengsi antar “kaum Adam dan Hawa” sering kali membuat mereka berseteru untuk tidak mau bekerjasama satu sama lain.

Sebenarnya, kalau manusia sadar mengapa Allah menciptakan kaum Adam dan Hawa? Mengapa tidak menciptakan Adam saja yang dianggap kuat dan bisa menaklukkan “dunia” yang hanya bisa dilalui dengan penuh perjuangan? Laki-laki yang merasa lebih kuat dari perempuan dan tidak mau bekerjasama, berarti senyatanya tidak beriman. Beriman bahwa antara laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk bisa saling bekerja sama. Bukan untuk saling menghilangkan, tetapi mencapai kehidupan yang lebih baik. Mengapa masih banyak perselisihan antara laki-laki dan perempuan, hanya karena mereka berbeda jenis kelamin? Di sinilah iman mereka sedang diuji.

Melihat pentingnya kerjasama antara laki-laki dan perempuan, perlu kiranya melihat lebih jauh apa yang terjadi pada diri anak-anak dan bagaimana menumbuhkan suasana saling kerjasama antara anak laki-laki dan perempuan?

Para guru barangkali sering mendengar bahkan hafal di luar kepala tentang ayat Al Qur’an yang menekankan pentingnya persaudaraan. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat. Mungkin saja, kita sering mengucapkannya. Tetapi masalahnya, apakah semangat ayat itu sudah masuk ke dalam diri kita dan kita siap menjadi teladannya? Jangan-jangan ayat itu mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan? Apakah mungkin melaksanakannya dalam keadaan kondisi yang tidak mendukung sementara kita meyakini ayat itu benar adanya?

Misalnya, apakah (misalnya) seorang guru mampu membela, melindungi seorang anak yang bukan dari keluarga Muhammadiyah saat terjadi perselisihan dengan anak dari keluarga non Muhammadiyah, sementara anak dari keluarga Muhammadiyah itu yang bersalah? Kalau membela anak Muhammadiyah tetapi berada dalam lingkungan Muhammadiyah itu hal yang biasa. Tetapi membela anak bukan dari keluarga Muhammadiyah yang nyata-nyata tidak bersalah itu sangat luar biasa. Inilah kondisi dimana seseorang meyakini, konsisten melaksanakan ajaran agama, dalam keadaan apapun. Ajaran agama bukan dilaksanakan hanya dalam keadaan yang menguntungkan. Justru dalam kondisi yang tidak menguntungkan itulah tantangan sebenarnya. Dan tidak semua orang bisa melakukannya.

Itu pulalah sebenarnya sari pati pelaksanaan ajaran agama terjadi.
Yang menjadi persoalan kita kemudian adalah mengapa kerjasama antara anak laki-laki dan perempuan perlu terus dipupuk sejak anak-anak?

a. Laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang sama.
Selama ini, ada pendapat umum yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang berbeda. Bahwa perampuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dari prinsip keadilan ini jelas sangat bertentangan. Apalagi Islam selalu menjunjung tinggi prinsip keadilan ini. Sehebat apapun prinsip keadilan ditegakkan, tetapi kalau masih ada perbedaan yang menganga, hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. Maka, perlu diubah pandangan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang sama. Pendapat ini memang terus menjadi perdebatan yang tidak kunjung usai. Para ulama klasik memahami bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini didasarkan pada surat An Nisa ayat 1. Bahwa dhamir ha pada kata minha bukan “dari bagian tubuh Adam” tetapi “dari jins Adam” (min jinsiha). Artinya, Hawa bukan berasal dari Adam, tetapi dari unsur “genetika yang satu” dari asal semua makhluk hidup. Bahkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tidak sependapat juga dengan penafsiran ulama klasik yang menafsirkan nafs wahidah bermakna Adam dan zaujana adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuknya. Keduanya menafsirkan sama bahwa nafs wahidah dengan jenis yang sama, bukan dari diri Adam. Artinya, Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Maka, antara laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis yang sama. Namun demikian, pendapat ini jelas ditentang oleh para ulama klasik. Anehnya, ulama klasik ini memang masih mendominasi persoalan tafsir yang beredar di masyarakat. Maka, usaha untuk memulai itu juga berasal dari ulama sendiri dan para guru-guru sekolah dasar sebagai kekuatan pengarah anak didik di masa datang.

b. Laki-laki dan perempuan itu sederajat.
Ini masih berkaitan dengan bagian (a). Karena diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka kedudukan perempuan itu jelas subordinat laki-laki. Tafsir yang mengatakan itu sangat bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Dalam tradisi ajaran Islam, Al Qur’an adalah “kalam-Nya” yang dipercayai harus merefleksikan keadilan. Tafsir bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ada implikasi ketidakadilan jender. Yang mengkhawatirkan adalah jika tafsir ayat tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar atau tolok ukur untuk menafsirkan ayat-ayat yang lain (terutama yang berhubungan antara laki-laki dengan perempuan). Semua tentu akan ditafsirkan bahwa perempuan itu subordinat laki-laki. Maka, tafsir yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam itu keluar dari standar etis dan tak mungkin Tuhan berbuat tidak adil, bukan?

c. Hidup ini maju ke depan dan tidak surut ke belakang. Setiap orang, termasuk guru, perlu menyesuaikan dengan apa yang terjadi sekarang. Tentu saja tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Namun demikian, tafsir ajaran agama yang “usang” perlu ditinggalkan. Tidak perlu dipertahankan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang guru perlu dilakukan oleh anak didik zaman sekarang. Sebab, hidup telah berubah, tantangan dan peluang juga akan berubah. Analoginya, guru tidak perlu menasihati anak dididiknya untuk mengkliping koran, yang benar , menyuruh download ke internet. Jika gurunya tidak bisa, gurunya perlu belajar internet.

Ulasan di atas menjadi sebab tiadanya kerjasama yang baik antara anak laki-laki dengan perempuan. Tetapi, mengapa itu semua masih terjadi?

a. Proses belajar mengajar yang yang selama ini terjadi masih menempatkan laki-laki di atas perempuan. Misalnya, laki-laki harus menjadi komanan upacara sementara perempuan cukup menjadi pengibar bendera atau pembawa acara saja. Memang sudah ada beberapa guru yang mendobrak budaya ini, tapi belum semua mau dan menginginkannnya. Kebiasaan ini hanya akan membuat laki-laki lebih super dari perempuan.

b. Tidak semua laki-laki, termasuk para pendidik, mau melakukan prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan dalam segala tindakannya. Ini mungkin terjadi karena dengan mengkampanyekan kerjasama dan prinsip keadilan antara laki-laki dengan perempuan, sama saja hanya akan menurunkan kekuasaan dan wibawa laki-laki.

c. Prinsip itu memang enak dibicarakan, tetapi tidak semua orang mau konsisten melaksanakan apa yang diomongkan itu. Kita sering berteriak, perlu kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, tetapi bagaimana jika hak-hak yang akan diberikan pada perempuan itu kemudian melanggar hak laki-laki juga?

Jadi tiadanya kerjasama antara laki-laki dengan perempuan yang selama ini terjadi karena jalinan itu tidak dipupuk sejak kecil. Apalagi jika suasana itu didukung oleh budaya. Misalnya, sudah berkembang dalam masyarakat kita laki-laki itu berasal dari bahasa Jawa lanang dan perempuan itu wanito. Jika diartikan kedua arti kata itu jelas tidak mencerminkan keadilan. Lanang berarti olo olo menang (meskipun jelek yang penting menang). Ini menempatkan laki-laki, apapun yang terjadi, harus berada pada pihak yang harus dimenangkan, terutama jika berurusan dengan perempuan.

Sementara itu wanito berarti wani ditoto (berani ditata). Tak heran jika dalam budaya (Jawa khususnya), perempuan ditempatkan di sektor domestik sebagai “pelayan” laki-laki. Sudah berkembang jamak bahwa perempuan itu identik dengan “sumur, kasur, dan dapur”. Tugasnya adalah bersih-bersih di rumah, melayani nafsu suami di tempat tidur, dan memasak.

Tak terkecuali juga, pemerintah juga ikut andil dalam ketidakadilan ini. Sudah dalam kurun lama, kepala rumah tangga itu dipercayakan atau melekat pada diri laki-laki. Dalam pikiran masyarakat, jika ada kata-kata kepala rumah tangga identik dengan laki-laki.

Sebagai guru yang baik, jika ingin mengabdi dan melaksanakan ajaran agama secara menyeluruh harus mengenalkan bahwa ketidakdilan tidak saja berasal dari perbedaan tafsir atas nash tetapi juga oleh masyarakat, dan juga pemerintahnya.
Apa yang perlu dilakukan kalau begitu?

a. Kenalkan pada siswa bahwa ada perbedaan penafsiran atas sebuah teks Al Qur’an. Al Qur’annya sendiri tidak perlu diragukan, tetapi jika sudah masuk ke dalam otak manusia kemudian ditafsirkan sangat mungkin terjadi perbedaan cara menafsirkan.

b. Siswa perlu belajar perbedaan dari yang selama ini mereka kenal. Misalnya, jika masyarakat menganggap bahwa laki-laki itu yang paling berkuasa, perlu dikenalkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam itu sama.

c. Islam adalah ajaran agama yang berorientasi pada keadilan untuk semua pihak. Perbedaan yang dilebih-lebihkan antara laki-laki dengan perempuan tidak saja melanggar prinsip keadilan, tetapi juga mengingkari kebenaran Al Qur’an.

d. Siswa perlu diberikan contoh bahwa dalam pelaksaan tugas-tugas tertentu kerjasama laki-laki dengan perempuan akan lebih baik dan menghasilkan yang lebih bermanfaat dari pada merasa paling benar atau kuat.
Jadi, “Ternyata laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dan mencapai keinginan yang lebih baik, lho”.

Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics