Panitia lomba resensi buku Jurnalisme Masa Kini karya Nurudin, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 mengundang masyarakat umum untuk mengikuti lomba:
Syarat-syarat:
1.Terbuka untuk umum.
2.Naskah yang dilombakan harus pernah dimuat di media cetak Indonesia antara bulan Juli-September 2009.
3.Akan dipilih 3 pemenang oleh dewan Juri.
4.Keputusan dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat berkaitan dengan lomba.
5.Pengumuman pemenang akan diumumkan sekitar bulan Oktober-Nopember 2009.
Hadiah? baca lebih lengkap:
Pemenang akan mendapatkan:
1.a. Juara I mendapatkan honorarium Rp. 300.000,-
b. Juara II mendapat honorarium Rp. 200.000,-
c. Juara III mendapat honorarium Rp. 100.000,-
2.Juara juga akan mendapatkan piagam penghargaan.
3.Hak cipta tulisan resensi ada pada penulis masing-masing.
4.Hadiah akan dikirim ke alamat pemenang.
Kirimkan karya Anda ke:
Panitia Penulisan Resensi Buku:
Jalan Ulil Abshar no. 47, Mulyoagung, Dau, Malang 65151
Dengan melampirkan:
1.Bukti naskah resensi asli yang sudah dimuat di media cetak.
2.Menyertakan alamat lengkap, nomor telepon, e-mail dan nomor rekening.
Selamat meresensi!!!!!!!!!
Terima kasih
a.n Panitia
Readmore »»
Minggu, Juni 28, 2009
Facebook, Artis Paling Seksi 2009
Seorang teman pernah berseloroh kepada saya, “Mengapa para kiai mengharamkan FB (facebook)?”.
“Karena para kiai itu tidak menggunakan FB, dan tidak tahu kepentingan FB, “jawab saya sekenanya.
“Bukan itu, para kiai itu mengharamkan FB karena mereka biasa membaca kitab dalam bahasa Arab. Karena bahasa Arab itu dibaca dari kanan, maka FB dibaca BF (Blue Film)”.
Tentu saja, pertanyaan dan jawaban teman saya tadi dalam konteks tidak serius. Yang menjadi masalah kemudian adalah, mengapa beberapa pihak mengatakan FB itu haram? Alas an yang dikemukakan, FB haram jika digunakan untuk mencari jodoh, dan kegiatan yang tidak bermanfaat lainnya. Dalam posisi ini kita bisa memahami fatwa tersebut. Masalahnya tidak sedikit masyarakat kita yang menggeneralisasi bahwa FB memang haram. Kalau Tuhan memberikan jalan seorang untuk mendapatkan jodoh lewat FB apakah pernikahan yang dilakukannya itu haram juga? Inilah persoalannya.
Ini sama dengan ungkapan, “politik itu kotor”. Sebenarnya bukan politiknya yang kotor, tetapi orang-orang yang menggunakan politik untuk kepentingan yang tidak baiklah yang kotor. Dengan kata lain, politiknya itu baik-baik saja. Ia akan tergantung dari siapa yang memanfaatkannya. Tak terkecuali dengan pisau. Ia akan berguna jika dipakai ibu-ibu untuk memasak, misalnya. Tetapi ia akan berbahaya jika ada di tangan penjahat. Apakah dengan demikian kita dengan mudah mengatakan bahwa pisau itu berbahaya? Juga, apakah kita serta merta gampang mengatakan kalau politik itu kotor? Mengapa mereka tidak mengharamkan hotel-hotel yang digunakan untuk transaksi “kelamin”? Mengapa pula tidak gencar mengharamkan korupsi yang kian merajalela di negeri ini?
Sama dengan pisau, FB adalah sebuah alat komunikasi. Ia adalah keniscayaan sejarah. Artinya, ia muncul karena perkembangan sejarah teknologi komunikasi. Pada awalnya memang manusia yang menciptakan teknologi. Namun perkembangannya kemudian teknologi yang memengaruhi kehidupan manusia itu sendiri. Jadilah manusia dikuasai teknologi.
Mengapa FB populer dan diminati? FB yang ditemukan oleh Mark Elliot Zuckerberg sebenarnya sama dengan situs internet lainnya. Hanya perbedaannya, situs internet umumnya menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Dengan FB, para penjelajah bisa berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat itu.
Llebih dari 100 juta orang secara aktif menggunakan aplikasi bergerak pada Facebook. iPhone Facebook saja telah memiliki 5 juta pengguna aktif bulanan dan Blackberry untuk Facebook memiliki 3,25 juta pengguna aktif bulanan. Presiden AS Barack Hussein Obama bahkan memanfaatkan situs ini sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan dalam Pemilihan Presiden AS tahun lalu.
Situs Mashable (The Social Media Guide) menyatakan, desain Facebook lebih enak dilihat dan dijelajahi serta menawarkan hal-hal yang lebih riil. Sebagai contoh, Facebook menawarkan orang lain yang kira-kira Anda kenal untuk di-add (ditambahkan) jadi teman. My Space juga menyodori Anda beberapa teman, tetapi termasuk menyodori orang-orang dari negeri antah berantah menjadi teman.
FB memang fenomena aktual dan jejaring sosial paling diminati oleh para netter. Menurut catatan pusat operasional FB di California, Amerika, sebanyak 813 ribu dari 235 juta penduduk Indonesia menggunakan FB.
Jadi, manfaat dan tidak manfaat FB sangat tergantung pada penggunanya. Itu juga berarti meskipun pisau itu bisa berbahaya tidak lantas pisau itu dienyahkah, bukan? FB sendiri adalah alat untuk silaturahmi. FBer (untuk menyebut aktivis FB) bisa bertemu dengan teman-teman sesama sekolahnya dahulu. Teman yang sudah tidak pernah bertemu bisa ketemu kembali dengan jejaring FB. Bahkan muncul kesepakatan untuk mengadakan reuni, dan saling mengabarkan satu sama lain. Ini silaturahmi di era digital. Jadi silaturahmi tidak hanya dipahami bertemu dan bertatap muka saja.
Hanya memang tidak bisa dipungkiri, FB juga punya dampak negatif jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Misalnya munculnya perselingkuhan. Bisa jadi, FBer akan menemukan kembali pacar lamanya. Namun demikian, perkara dia akan kembali ke pacar lamanya tentu bukan salah FB. Barangkali karena dia punya jiwa petualang cinta. Dampak negatif lainnya, bisa saja FBer gampang melupakan aktivitas produktif lainnya.
Dari posisi inilah faktor individu pengguna FB sangatlah memegang peranan penting. Memvonis FB haram adalah tindakan yang tergesa-gesa, namun menjadikan diri kita didholimi oleh FB juga tindakan yang kurang bijaksana.
M
asalahnya, kita menjadi semakin heran. Mengapa sesuatu yang muncul dan menjadi keniscayaan sejarah langsung divonis haram? Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang. Bagaimana antisipasi yang dilakukan tanpa harus mengenyahkan sesuatu yang telanjut muncul. Jangan-jangan nanti ada fatwa lain bahwa FB itu “bid’ah”?
Yang jelas, FB adalah artis paling seksi di tahun 2009. Namanya artis, penuh dengan pro dan konta. Tak terkecuali, lekat dengan dampak baik dan buruk. Mendiskusikan bahwa FB itu haram, berdampak baik atau buruk semakin menjadi bukti bahwa FB sangat popular dan menjadi makhluk seksi melebihi wanita. (Sumber:Tera/Tajuk koran Bestari,no. 251/Th.XXII/Juni/2009)
Readmore »»
“Karena para kiai itu tidak menggunakan FB, dan tidak tahu kepentingan FB, “jawab saya sekenanya.
“Bukan itu, para kiai itu mengharamkan FB karena mereka biasa membaca kitab dalam bahasa Arab. Karena bahasa Arab itu dibaca dari kanan, maka FB dibaca BF (Blue Film)”.
Tentu saja, pertanyaan dan jawaban teman saya tadi dalam konteks tidak serius. Yang menjadi masalah kemudian adalah, mengapa beberapa pihak mengatakan FB itu haram? Alas an yang dikemukakan, FB haram jika digunakan untuk mencari jodoh, dan kegiatan yang tidak bermanfaat lainnya. Dalam posisi ini kita bisa memahami fatwa tersebut. Masalahnya tidak sedikit masyarakat kita yang menggeneralisasi bahwa FB memang haram. Kalau Tuhan memberikan jalan seorang untuk mendapatkan jodoh lewat FB apakah pernikahan yang dilakukannya itu haram juga? Inilah persoalannya.
Ini sama dengan ungkapan, “politik itu kotor”. Sebenarnya bukan politiknya yang kotor, tetapi orang-orang yang menggunakan politik untuk kepentingan yang tidak baiklah yang kotor. Dengan kata lain, politiknya itu baik-baik saja. Ia akan tergantung dari siapa yang memanfaatkannya. Tak terkecuali dengan pisau. Ia akan berguna jika dipakai ibu-ibu untuk memasak, misalnya. Tetapi ia akan berbahaya jika ada di tangan penjahat. Apakah dengan demikian kita dengan mudah mengatakan bahwa pisau itu berbahaya? Juga, apakah kita serta merta gampang mengatakan kalau politik itu kotor? Mengapa mereka tidak mengharamkan hotel-hotel yang digunakan untuk transaksi “kelamin”? Mengapa pula tidak gencar mengharamkan korupsi yang kian merajalela di negeri ini?
Sama dengan pisau, FB adalah sebuah alat komunikasi. Ia adalah keniscayaan sejarah. Artinya, ia muncul karena perkembangan sejarah teknologi komunikasi. Pada awalnya memang manusia yang menciptakan teknologi. Namun perkembangannya kemudian teknologi yang memengaruhi kehidupan manusia itu sendiri. Jadilah manusia dikuasai teknologi.
Mengapa FB populer dan diminati? FB yang ditemukan oleh Mark Elliot Zuckerberg sebenarnya sama dengan situs internet lainnya. Hanya perbedaannya, situs internet umumnya menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Dengan FB, para penjelajah bisa berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat itu.
Llebih dari 100 juta orang secara aktif menggunakan aplikasi bergerak pada Facebook. iPhone Facebook saja telah memiliki 5 juta pengguna aktif bulanan dan Blackberry untuk Facebook memiliki 3,25 juta pengguna aktif bulanan. Presiden AS Barack Hussein Obama bahkan memanfaatkan situs ini sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan dalam Pemilihan Presiden AS tahun lalu.
Situs Mashable (The Social Media Guide) menyatakan, desain Facebook lebih enak dilihat dan dijelajahi serta menawarkan hal-hal yang lebih riil. Sebagai contoh, Facebook menawarkan orang lain yang kira-kira Anda kenal untuk di-add (ditambahkan) jadi teman. My Space juga menyodori Anda beberapa teman, tetapi termasuk menyodori orang-orang dari negeri antah berantah menjadi teman.
FB memang fenomena aktual dan jejaring sosial paling diminati oleh para netter. Menurut catatan pusat operasional FB di California, Amerika, sebanyak 813 ribu dari 235 juta penduduk Indonesia menggunakan FB.
Jadi, manfaat dan tidak manfaat FB sangat tergantung pada penggunanya. Itu juga berarti meskipun pisau itu bisa berbahaya tidak lantas pisau itu dienyahkah, bukan? FB sendiri adalah alat untuk silaturahmi. FBer (untuk menyebut aktivis FB) bisa bertemu dengan teman-teman sesama sekolahnya dahulu. Teman yang sudah tidak pernah bertemu bisa ketemu kembali dengan jejaring FB. Bahkan muncul kesepakatan untuk mengadakan reuni, dan saling mengabarkan satu sama lain. Ini silaturahmi di era digital. Jadi silaturahmi tidak hanya dipahami bertemu dan bertatap muka saja.
Hanya memang tidak bisa dipungkiri, FB juga punya dampak negatif jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Misalnya munculnya perselingkuhan. Bisa jadi, FBer akan menemukan kembali pacar lamanya. Namun demikian, perkara dia akan kembali ke pacar lamanya tentu bukan salah FB. Barangkali karena dia punya jiwa petualang cinta. Dampak negatif lainnya, bisa saja FBer gampang melupakan aktivitas produktif lainnya.
Dari posisi inilah faktor individu pengguna FB sangatlah memegang peranan penting. Memvonis FB haram adalah tindakan yang tergesa-gesa, namun menjadikan diri kita didholimi oleh FB juga tindakan yang kurang bijaksana.
M
asalahnya, kita menjadi semakin heran. Mengapa sesuatu yang muncul dan menjadi keniscayaan sejarah langsung divonis haram? Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang. Bagaimana antisipasi yang dilakukan tanpa harus mengenyahkan sesuatu yang telanjut muncul. Jangan-jangan nanti ada fatwa lain bahwa FB itu “bid’ah”?
Yang jelas, FB adalah artis paling seksi di tahun 2009. Namanya artis, penuh dengan pro dan konta. Tak terkecuali, lekat dengan dampak baik dan buruk. Mendiskusikan bahwa FB itu haram, berdampak baik atau buruk semakin menjadi bukti bahwa FB sangat popular dan menjadi makhluk seksi melebihi wanita. (Sumber:Tera/Tajuk koran Bestari,no. 251/Th.XXII/Juni/2009)
Readmore »»
Selasa, Juni 09, 2009
Kontrak Politik Capres
Oleh Nurudin (Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Pasangan Capres dan Cawapres yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan komitmen jika mereka terpilih. Berkaitan dengan bidang ekonomi, pasangan SBY-Boediono memilih bekerja keras untuk rakyat, tidak menyerahkan ekonomi pada pasar bebas. Pasangan JK-Win melindungi ekonomi rakyat, menyejahterakan rakyat dengan adil dan makmur. Sementara pasangan Mega-Pro mengusung keberpihakan pada wong cilik dan menjalankan kemandirian di bidang ekonomi.
Tentu saja, apa yang dikatakan tersebut masih sebatas wacana. Dan tak mungkin hanya sekadar wacana untuk meraih simpati rakyat. Ada beberapa catatan, pertama, wacana tersebut harus dirinci lebih detail dan lebih operasional. Kedua, tidak boleh sekadar wacana, tetapi harus ada komitmen dengan membuat kontrak politik yang jelas.
Hukum Positif
Mengapa kontrak politik penting dilakukan oleh para kandidat Capres dan Cawapres? Pertama, kontrak politik bermakna tanggung jawab tinggi. Artinya, kandidat yang berani mengadakan kontrak politik, akan dianggap berani pula menerima risiko politik di masa datang. Sebab, program yang dikeluarkan bisa jadi populer di masyarakat, namun siapa yang bisa menjamin kalau program yang pernah dikemukakannya itu akan dilaksanakan secara baik dan benar? Dengan demikian, kontrak politik akan menepis keraguan masyarakat untuk memilih pasangan kandidat.
Oleh karena itu, kontrak politik karenanya punya sanksi yang tegas dan nyata. Sebab, dalam kontrak akan bisa diketahui apa bentuk sanksi yang diterima jika kandidat melanggar kontrak yang sudah disepakati tersebut.
Karenanya pula, sanksi dalam kontrak politik bukan pada diri masing-masing orang seperti yang ada dalam kode etik. Dengan kata lain, kontrak politik bukan sebuah kode etik. Jika seorang wartawan menerima amplop, padahal dilarang, pertanggungjawabannya pada hati nurani sang wartawan itu. Ini jelas sanksi yang tidak tegas dan nyata. Kontrak politik dengan sanksi seperti kode etik tidak cocok untuk para kandidat. Maka, kontrak politik harus berada dalam ranah hukum positif (punya sanksi tegas dan nyata).
Kedua, masyarakat sekarang adalah masyarakat dengan tingkat melek politik yang sudah tinggi. Karenanya, ada banyak perubahan kecenderungan memilih yang sulit diduga sejak awal. Perhitungan di atas kertas tidak lagi bisa menjadi jaminan seorang kandidat bisa memenangkan sebuah “kompetisi politik”. Seringkali rasionalitas masyarakat sangat berbeda dengan rasionalitas para pengamat, tim sukses dan politisi itu sendiri.
Bukti sudah banyak berbicara. Lepas dari ada faktor lain yang ikut menentukan kita bisa melihat pada kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ambil contoh terpilihnya pasangan Heryawan-Dede Yusuf (Hade) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Kedua pasangan itu membalikkan prediksi-presiksi politik awal.
Orang tidak menyangka kalau pasangan yang hanya didukung oleh PKS dan PAN itu bisa menang. Kurang apa pasangan Agum dan Nu’man yang didukung oleh PDI-P, PKB, PPP, PKPB, PDS, dan PBR sampai kalah dengan pasangan Hade? Tak terkecuali, kurang apa Danny-Iwan yang didukung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mempunyai suara besar akhirnya juga kalah? Inilah prediksi-presikdsi politik yang tidak bisa ditebak. Politik adalah dunia yang penuh misteri.
Ketiga, meyakinkan masyarakat untuk menyoblos pasangan calon akan lebih kuat manakala dilakukan dengan kontrak politik. Heterogenitas yang ada pada masyarakat membuat peta politik di Indonesia ini sangat sukar ditebak. Jika masing-masing kandidat hanya mengandalkan slogan, dan program-program menarik lainnya, belum menjadi jaminan akan dipilih. Bukankah semua program masing-masing kandidat baik semua?
Memang benar bahwa faktor psikologis kandidat dengan konstituen ikut menentukan perolehan suara. Tetapi, faktor ini bukan jaminan. Kurang apa pasangan Mega-Hasyim pada Pemilu 2004 yang punya pendukung riil dan loyal akhirnya kalah dengan pasangan SBY-JK?
Memang benar pula bahwa iklan juga bisa ikut menentukan suara pasangan calon, tetapi ini juga bukan jaminan utama. Kurang apa partai Gerindra yang gencar memasang iklan, tetapi hanya mendapatkan suara 5,36 persen dengan 30 kursi di legislatif?
Terobosan Cerdas
Mengandalkan iklan, hubungan psikologis, loyalitas konstuen sudah dilakukan, tetapi hasilnya tidaklah signifikan. Yang belum dilakukan adalah mengadakan kontrak politik dalam Pilpres. Kontrak politik ini juga akan membuka pemahaman masyarakat bahwa pasangan kandidat bukan orang yang takut akan risiko politik.
Janji-janji dalam iklan yang terkesan basa-basi sudah sering diteriakkan para politisi, tetapi menguap begitu saja ketika mereka sudah menjabat. Sementara itu, kontrak politik yang dampaknya luar biasa belum dilakukan oleh para kandidat. Barangkali mereka takut mengambil risiko dan tanggung jawab ketika mereka terpilih. Politisi di negeri ini memang pandai bersilat lidah tetapi hanya berhenti di mulut saja.
Maka, keberanian para kandidat mengadakan kontrak politik akan menjadi terobosan baru dan cerdas di tengah keragu-raguan dan kegamangan masyarakat akan Pemilu. Kontrak politik juga akan mendidik masyarakat apakah mereka berani mempermasalahkan kandidat yang sudah terpilih seandainya pasangan calon itu tidak mematuhi kontrak politik yang sudah dilakukan? Jadi, para kandidat dan masyarakat dengan sendirinya akan terdidik untuk melek dan cerdas dalam berpolitik. Ini tentu keuntungan bagi bangsa ini di masa datang.
Kontrak politik memang sebuah “pembohongan publik” yang dibungkus dengan “akal sehat”. Tetapi, kontrak politik setidaknya membuka peluang pemberlakuan hukum positif yang tegas dan nyata. Jika itu sudah dilakukan, biarlah rakyat yang nanti akan menilai.
(Sumber: Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Readmore »»
Pasangan Capres dan Cawapres yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan komitmen jika mereka terpilih. Berkaitan dengan bidang ekonomi, pasangan SBY-Boediono memilih bekerja keras untuk rakyat, tidak menyerahkan ekonomi pada pasar bebas. Pasangan JK-Win melindungi ekonomi rakyat, menyejahterakan rakyat dengan adil dan makmur. Sementara pasangan Mega-Pro mengusung keberpihakan pada wong cilik dan menjalankan kemandirian di bidang ekonomi.
Tentu saja, apa yang dikatakan tersebut masih sebatas wacana. Dan tak mungkin hanya sekadar wacana untuk meraih simpati rakyat. Ada beberapa catatan, pertama, wacana tersebut harus dirinci lebih detail dan lebih operasional. Kedua, tidak boleh sekadar wacana, tetapi harus ada komitmen dengan membuat kontrak politik yang jelas.
Hukum Positif
Mengapa kontrak politik penting dilakukan oleh para kandidat Capres dan Cawapres? Pertama, kontrak politik bermakna tanggung jawab tinggi. Artinya, kandidat yang berani mengadakan kontrak politik, akan dianggap berani pula menerima risiko politik di masa datang. Sebab, program yang dikeluarkan bisa jadi populer di masyarakat, namun siapa yang bisa menjamin kalau program yang pernah dikemukakannya itu akan dilaksanakan secara baik dan benar? Dengan demikian, kontrak politik akan menepis keraguan masyarakat untuk memilih pasangan kandidat.
Oleh karena itu, kontrak politik karenanya punya sanksi yang tegas dan nyata. Sebab, dalam kontrak akan bisa diketahui apa bentuk sanksi yang diterima jika kandidat melanggar kontrak yang sudah disepakati tersebut.
Karenanya pula, sanksi dalam kontrak politik bukan pada diri masing-masing orang seperti yang ada dalam kode etik. Dengan kata lain, kontrak politik bukan sebuah kode etik. Jika seorang wartawan menerima amplop, padahal dilarang, pertanggungjawabannya pada hati nurani sang wartawan itu. Ini jelas sanksi yang tidak tegas dan nyata. Kontrak politik dengan sanksi seperti kode etik tidak cocok untuk para kandidat. Maka, kontrak politik harus berada dalam ranah hukum positif (punya sanksi tegas dan nyata).
Kedua, masyarakat sekarang adalah masyarakat dengan tingkat melek politik yang sudah tinggi. Karenanya, ada banyak perubahan kecenderungan memilih yang sulit diduga sejak awal. Perhitungan di atas kertas tidak lagi bisa menjadi jaminan seorang kandidat bisa memenangkan sebuah “kompetisi politik”. Seringkali rasionalitas masyarakat sangat berbeda dengan rasionalitas para pengamat, tim sukses dan politisi itu sendiri.
Bukti sudah banyak berbicara. Lepas dari ada faktor lain yang ikut menentukan kita bisa melihat pada kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ambil contoh terpilihnya pasangan Heryawan-Dede Yusuf (Hade) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Kedua pasangan itu membalikkan prediksi-presiksi politik awal.
Orang tidak menyangka kalau pasangan yang hanya didukung oleh PKS dan PAN itu bisa menang. Kurang apa pasangan Agum dan Nu’man yang didukung oleh PDI-P, PKB, PPP, PKPB, PDS, dan PBR sampai kalah dengan pasangan Hade? Tak terkecuali, kurang apa Danny-Iwan yang didukung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mempunyai suara besar akhirnya juga kalah? Inilah prediksi-presikdsi politik yang tidak bisa ditebak. Politik adalah dunia yang penuh misteri.
Ketiga, meyakinkan masyarakat untuk menyoblos pasangan calon akan lebih kuat manakala dilakukan dengan kontrak politik. Heterogenitas yang ada pada masyarakat membuat peta politik di Indonesia ini sangat sukar ditebak. Jika masing-masing kandidat hanya mengandalkan slogan, dan program-program menarik lainnya, belum menjadi jaminan akan dipilih. Bukankah semua program masing-masing kandidat baik semua?
Memang benar bahwa faktor psikologis kandidat dengan konstituen ikut menentukan perolehan suara. Tetapi, faktor ini bukan jaminan. Kurang apa pasangan Mega-Hasyim pada Pemilu 2004 yang punya pendukung riil dan loyal akhirnya kalah dengan pasangan SBY-JK?
Memang benar pula bahwa iklan juga bisa ikut menentukan suara pasangan calon, tetapi ini juga bukan jaminan utama. Kurang apa partai Gerindra yang gencar memasang iklan, tetapi hanya mendapatkan suara 5,36 persen dengan 30 kursi di legislatif?
Terobosan Cerdas
Mengandalkan iklan, hubungan psikologis, loyalitas konstuen sudah dilakukan, tetapi hasilnya tidaklah signifikan. Yang belum dilakukan adalah mengadakan kontrak politik dalam Pilpres. Kontrak politik ini juga akan membuka pemahaman masyarakat bahwa pasangan kandidat bukan orang yang takut akan risiko politik.
Janji-janji dalam iklan yang terkesan basa-basi sudah sering diteriakkan para politisi, tetapi menguap begitu saja ketika mereka sudah menjabat. Sementara itu, kontrak politik yang dampaknya luar biasa belum dilakukan oleh para kandidat. Barangkali mereka takut mengambil risiko dan tanggung jawab ketika mereka terpilih. Politisi di negeri ini memang pandai bersilat lidah tetapi hanya berhenti di mulut saja.
Maka, keberanian para kandidat mengadakan kontrak politik akan menjadi terobosan baru dan cerdas di tengah keragu-raguan dan kegamangan masyarakat akan Pemilu. Kontrak politik juga akan mendidik masyarakat apakah mereka berani mempermasalahkan kandidat yang sudah terpilih seandainya pasangan calon itu tidak mematuhi kontrak politik yang sudah dilakukan? Jadi, para kandidat dan masyarakat dengan sendirinya akan terdidik untuk melek dan cerdas dalam berpolitik. Ini tentu keuntungan bagi bangsa ini di masa datang.
Kontrak politik memang sebuah “pembohongan publik” yang dibungkus dengan “akal sehat”. Tetapi, kontrak politik setidaknya membuka peluang pemberlakuan hukum positif yang tegas dan nyata. Jika itu sudah dilakukan, biarlah rakyat yang nanti akan menilai.
(Sumber: Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Readmore »»
Sabtu, Mei 30, 2009
Flu Babi Muncul, Pemerintah Sibuk Sendiri
Media massa di Tanah Air memberitakan bahwa flu babi sudah menjalar di Asia Tenggara. Pemerintah Malaysia sudah melakukan antisipasi pencegahan dengan penempatan tim media ke seluruh negeri jiran itu. Bahkan, beberapa peternakan babi sudah berada dalam pengawasan pemerintah. Kamboja juga siaga. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen malah mengusulkan diadakan KTT ASEAN darurat berkaitan dengan wabah itu.
Begitu menghebohkannya virus itu, sampai-sampai WHO harus mengganti istilah flu babi menjadi H1N1. Sebab, flu itu telah disalahartikan. Di Mesir terjadi pembantaian sekitar 300 ribu ekor babi.
Virus flu babi memang berawal dari babi, namun virus flu yang mewabah kali ini merupakan virus strain baru yang memiliki gen dari virus manusia, burung, dan babi. Para ilmuwan tidak mengetahui bagaimana sebenarnya virus ini berpindah ke manusia. Ditegaskan WHO, dalam wabah yang melanda saat ini, virus itu disebarkan dari manusia ke manusia, bukan dari kontak dengan babi.
Kita tidak akan mendiskusikan mengenai flu itu, apa pun istilahnya. Yang jelas, virus itu telah menakutkan masyarakat dunia. Pertanyaannya adalah tindakan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Bukankah wabah itu lebih hebat dampaknya daripada flu burung yang juga pernah menghebohkan dunia, khususnya Indonesia?
Saat ini tak ada kegiatan yang sangat menyibukkan para elite politik kita (pemerintah dari tingkat presiden, wapres, menteri) kecuali mengurusi politik. Mereka sedang disibukkan untuk menyongsong pemilihan presiden (pilpres) atau sesuatu yang orientasinya kekuasaan. Urusan politik telah menyita mereka untuk tidak mengurusi masalah lain, termasuk masalah flu babi.
Lihat misalnya, dari presiden hingga menteri disibukkan dengan urusan politik. Bagi menteri yang memimpin sebuah partai politik, ia tidak peduli lagi dengan urusan-urusan kenegaraan. Ia sangat sibuk dengan orientasi kekuasaan. Bagi menteri yang tidak berada dalam lingkup parpol, mereka seolah kena pengaruh juga. Mereka terkena virus untuk tak berbuat apa-apa. Barangkali mereka berpikir, biarlah nanti urusan kenegaraan diurusi oleh menteri periode selanjutnya.
Yang tidak kalah pentingnya, ada menteri yang menjelang pilpres tampil habis-habisan di media televisi dengan membuat iklan layanan masyarakat. Lihat apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM). Kedua menteri ini seolah memanfaatkan momen politik sebagai salah satu cara untuk mendongkrak popularitas diri. Jika tidak seperti itu, mengapa iklannya baru muncul sekarang? Orang akan berpikir, ada apa dengan iklan tersebut?
Kalaupun peduli dengan kepentingan masyarakat akan pentingnya koperasi dan pelayanan pendidikan gratis, bukankah akan sia-sia karena menteri terpilih nanti belum tentu akan meneruskan programnya? Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa "jika ganti menteri, berarti ganti kebijakan". Jadi, kepentingan popularitas dan orientasi pada kekuasaan sangat transparan sekali.
Mereka ini tidak pernah berpikir apakah yang dilakukannya itu (urusan politik) merugikan rakyat atau tidak. Ada dua saja orientasinya, yakni mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan.
Tak terkecuali, kebiasaan pemerintah kita baru akan bertindak setelah ada korban atau sesuatunya terjadi. Lihat misalnya, pemberantasan flu burung baru gencar dilakukan setelah banyak korban. Bangsa kita belum terbiasa untuk mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Pembagian bantuan langsung tunai (BLT)-terlepas dari masalah pro-kontranya-baru dikeluarkan setelah banyak masyarakat miskin meninggal akibat ketertekanan ekonomi.
Kita juga baru sadar akan kepemilikannya ketika Pulau Sipadan-Ligitan akhirnya jatuh ke Malaysia berdasarkan sidang Mahkamah Internasional (MI) pada tanggal 18 Desember 2002. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan efektivitas. Yakni, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata di Malaysia selama 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.
Bahkan, "keserakahan" Malaysia tidak berhenti sampai di situ. Negara jiran itu juga pernah mengklaim bahwa reog (yang selama ini dikenal dari Ponorogo) adalah miliknya. Ini belum termasuk bagaimana para tenaga kerja wanita (TKW) di Indonesia diperlakukan "tidak bijak" di negara itu.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa pemerintah kita begitu terlambat dalam menanggapi berbagai kasus. Kita sering kali baru sadar ketika peristiwa sudah terjadi dan meminta korban. Itu saja belum tentu menyelesaikan masalah.
Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika masalah flu babi tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam keadaan "normal" saja pemerintah terlambat menangani, apalagi saat ini disibukkan dengan Pilpres 2009.
Memang, elite politik boleh sibuk, tetapi bukankah mereka masih resmi sebagai pejabat pemerintah? Mengapa para menterinya juga sibuk sendiri-sendiri?
Sementara itu, kenyataan ini menjadi santapan empuk pihak-pihak yang menjadi seteru politik pemerintah. Lihat PDIP sudah nyaris kehilangan isu kecuali dengan hanya terus mengkritik kebijakan pemerintah. Memang boleh, tetapi ada kecenderungan asal beda dan hanya mencari-cari kesalahan pemerintah. Ini tidak bermaksud membela pemerintah, tetapi kenyataan itu sangat jelas terjadi saat ini.
Sibuk mengurusi politik memang tidak salah, tetapi membiarkan korban akan berjatuhan akibat wabah flu babi, janganlah.***
Penulis adalah staf pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Sumber: Harian Suara Karya, 29 Mei 2009.
Readmore »»
Begitu menghebohkannya virus itu, sampai-sampai WHO harus mengganti istilah flu babi menjadi H1N1. Sebab, flu itu telah disalahartikan. Di Mesir terjadi pembantaian sekitar 300 ribu ekor babi.
Virus flu babi memang berawal dari babi, namun virus flu yang mewabah kali ini merupakan virus strain baru yang memiliki gen dari virus manusia, burung, dan babi. Para ilmuwan tidak mengetahui bagaimana sebenarnya virus ini berpindah ke manusia. Ditegaskan WHO, dalam wabah yang melanda saat ini, virus itu disebarkan dari manusia ke manusia, bukan dari kontak dengan babi.
Kita tidak akan mendiskusikan mengenai flu itu, apa pun istilahnya. Yang jelas, virus itu telah menakutkan masyarakat dunia. Pertanyaannya adalah tindakan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Bukankah wabah itu lebih hebat dampaknya daripada flu burung yang juga pernah menghebohkan dunia, khususnya Indonesia?
Saat ini tak ada kegiatan yang sangat menyibukkan para elite politik kita (pemerintah dari tingkat presiden, wapres, menteri) kecuali mengurusi politik. Mereka sedang disibukkan untuk menyongsong pemilihan presiden (pilpres) atau sesuatu yang orientasinya kekuasaan. Urusan politik telah menyita mereka untuk tidak mengurusi masalah lain, termasuk masalah flu babi.
Lihat misalnya, dari presiden hingga menteri disibukkan dengan urusan politik. Bagi menteri yang memimpin sebuah partai politik, ia tidak peduli lagi dengan urusan-urusan kenegaraan. Ia sangat sibuk dengan orientasi kekuasaan. Bagi menteri yang tidak berada dalam lingkup parpol, mereka seolah kena pengaruh juga. Mereka terkena virus untuk tak berbuat apa-apa. Barangkali mereka berpikir, biarlah nanti urusan kenegaraan diurusi oleh menteri periode selanjutnya.
Yang tidak kalah pentingnya, ada menteri yang menjelang pilpres tampil habis-habisan di media televisi dengan membuat iklan layanan masyarakat. Lihat apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM). Kedua menteri ini seolah memanfaatkan momen politik sebagai salah satu cara untuk mendongkrak popularitas diri. Jika tidak seperti itu, mengapa iklannya baru muncul sekarang? Orang akan berpikir, ada apa dengan iklan tersebut?
Kalaupun peduli dengan kepentingan masyarakat akan pentingnya koperasi dan pelayanan pendidikan gratis, bukankah akan sia-sia karena menteri terpilih nanti belum tentu akan meneruskan programnya? Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa "jika ganti menteri, berarti ganti kebijakan". Jadi, kepentingan popularitas dan orientasi pada kekuasaan sangat transparan sekali.
Mereka ini tidak pernah berpikir apakah yang dilakukannya itu (urusan politik) merugikan rakyat atau tidak. Ada dua saja orientasinya, yakni mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan.
Tak terkecuali, kebiasaan pemerintah kita baru akan bertindak setelah ada korban atau sesuatunya terjadi. Lihat misalnya, pemberantasan flu burung baru gencar dilakukan setelah banyak korban. Bangsa kita belum terbiasa untuk mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Pembagian bantuan langsung tunai (BLT)-terlepas dari masalah pro-kontranya-baru dikeluarkan setelah banyak masyarakat miskin meninggal akibat ketertekanan ekonomi.
Kita juga baru sadar akan kepemilikannya ketika Pulau Sipadan-Ligitan akhirnya jatuh ke Malaysia berdasarkan sidang Mahkamah Internasional (MI) pada tanggal 18 Desember 2002. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan efektivitas. Yakni, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata di Malaysia selama 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.
Bahkan, "keserakahan" Malaysia tidak berhenti sampai di situ. Negara jiran itu juga pernah mengklaim bahwa reog (yang selama ini dikenal dari Ponorogo) adalah miliknya. Ini belum termasuk bagaimana para tenaga kerja wanita (TKW) di Indonesia diperlakukan "tidak bijak" di negara itu.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa pemerintah kita begitu terlambat dalam menanggapi berbagai kasus. Kita sering kali baru sadar ketika peristiwa sudah terjadi dan meminta korban. Itu saja belum tentu menyelesaikan masalah.
Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika masalah flu babi tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam keadaan "normal" saja pemerintah terlambat menangani, apalagi saat ini disibukkan dengan Pilpres 2009.
Memang, elite politik boleh sibuk, tetapi bukankah mereka masih resmi sebagai pejabat pemerintah? Mengapa para menterinya juga sibuk sendiri-sendiri?
Sementara itu, kenyataan ini menjadi santapan empuk pihak-pihak yang menjadi seteru politik pemerintah. Lihat PDIP sudah nyaris kehilangan isu kecuali dengan hanya terus mengkritik kebijakan pemerintah. Memang boleh, tetapi ada kecenderungan asal beda dan hanya mencari-cari kesalahan pemerintah. Ini tidak bermaksud membela pemerintah, tetapi kenyataan itu sangat jelas terjadi saat ini.
Sibuk mengurusi politik memang tidak salah, tetapi membiarkan korban akan berjatuhan akibat wabah flu babi, janganlah.***
Penulis adalah staf pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Sumber: Harian Suara Karya, 29 Mei 2009.
Readmore »»
Selasa, Mei 26, 2009
Pers, Penekan Penghancuran Moral
Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa Pemilu telah menghancurkan sistem nilai dan moral yang ada di masyarakat. Di Papua dan Sumatra Utara, kerukunan hidup antarmarga dan antarsuku tergerus oleh perbedaan politik akibat Pemilu.
Tentu saja, penghancuran sistem nilai dan moral dalam masyarakat itu juga tidak hanya secara langsung dipengaruhi oleh Pemilu. Bisa jadi, jurang semakin menganga karena berbagai informasi yang didapat masyarakat kurang lengkap. Dalam hal ini, pers sebagai lembaga, tak jarang dituduh sebagai biang kerok.
Memang, pers seringkali diklaim sebagai lembaga yang bisa ikut mengipas-ngipasi sebuah perbedaan dalam masyarakat yang akhirnya menjadi konflik. Dalam kurun waktu lama pula, pers disebut sebagai narcotizing dysfunction (racun pembius). Tetapi, mengingkari pers sebagai penekan dan penentu utama kemajuan masyarakat juga sangat naif.
Dalam kompetisi politik, pers sekadar mengungkap berbagai fakta-fakta yang tersaji dalam setiap peristiwa. Pers memberitakan, menginterpretasikan pesan kemudian menyodorkan pada masyarakat apa yang perlu dilakukannya. Efeknya, kembali pada kualitas individu dalam menyikapi setiap peristiwa yang disajikannya. Dalam hal ini, pers adalah faktor antara dari semua sebab yang terjadi.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika di dalam masyarakat telah terjadi penghancuran moral bangsa akibat berita-berita yang disajikan oleh pers itu sendiri? Sebagai media penyampai informasi, pers punya tugas mulia untuk memulihkannya.
Pertama, meskipun diklaim sebagai narcotizing dysfunction, pers punya tugas sebagai contributing to social cohesion. Karenanya, pers sebenarnya punya potensi besar dalam menciptakan kesatuan dan integrasi dalam masyarakat. Dalam melihat sebuah konflik misalnya, pers yang berusaha untuk selalu melihat dan tidak terlibat dalam konflik menjadi potensi untuk menciptakan integrasi sosial di masyarakat. Ini juga berarti, wartawan yang meliput kejadian juga berada di luarnya.
Ini dimungkinkan terjadi, jika pers memang tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa. Masalahnya adalah apakah pers benar-benar tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa? Katakanlah pers tidak punya kepentingan, bagaimana dengan wartawannya?
Independen
Dalam pandangan Kovach dan Rosenstiel (Nurudin, 2009), wartawan harus independen dari yang mereka liput. Independensi yang dimaksud di sini adalah independensi pikiran, dari kelas atau status ekonomi, dan independen dari ras, etnis, agama dan gender. Ini berarti wartawan dalam menulis berita melepaskan semua yang ada pada dirinya. Ia bertugas melaporkan dan menunjukkan fakta apa adanya, tanpa takut kepada sebuah kelompok.
Kedua, memberikan upah layak pada wartawan. Ini memang relatif. Meskipun juga tidak ada jaminan dengan gaji layak, mereka bisa layak dalam melakukan peliputan. Tetapi, gaji layak akan bisa menekan mereka mencari ”objekan” di luar gaji, entah amplop, perjalanan dinas dan entah fasilitas lain dari narasumber. Ini memang ideal dan tak mudah dilaksanakan. Tetapi tanpa ada usaha ke arah itu, semua hanya omong kosong. Niat wartawan untuk tak menerima fasilitas narasumber akan sia-sia manakala media juga mendiamkan saja.
Dengan gaji layak, mereka tidak akan tergantung pada nara sumber. Selama ini, berbagai konflik di masyarakat akibat pemberitaan pers yang berat sebelah karena wartawan sudah ”dibeli” oleh narasumber. Bisa dikatakan penghancuran sistem nilai dan moral bangsa akarnya juga dari sini pula.
Ketiga, media harus selektif dalam memilih kata-kata dalam medianya. Kata-kata itu bukan kata-kata yang bisa memicu konflik. Beberapa contoh kata-kata yang justru ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat pernah dilakukan media di Kalimantan berkaitan dengan konflik Sampit. Dua media massa di sana pernah menulis berita sebagai berikut, ”Malam itu, setelah dua hari etnis Madura ”menjajah” Sampit, Panglima Dayak merangsek masuk kota”. Lihat juga, ”Aparat siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura di sana” (Eriyanto, 2004).
Tak terkecuali yang pernah ditulis media dalam konflik Ambon (2000) sebagai berikut, ”Kepulauan Maluku bagai ladang penjagalan. Nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai. Satu per satu terbunuh dengan sia-sia....Wajah Kepulauan Maluku porak-poranda, karut-marut tak terbentuk lagi. Agaknya ini pula yang menggugah nurani umat Islam untuk memberikan bantuan kepada saudaranya di Maluku.”
Contoh di atas adalah perilaku pers dengan kata-kata yang ditulis dan bisa menimbulkan keresahan, pemicu konflik, sampai ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat. Pers ikut menentukan arah, ke mana masyarakat dan bangsa ini akan dibawa di masa datang. Hal demikian perlu diperhatikan pers sebelum kambing hitam selalu ditimpakan kepadanya
Oleh : Nurudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Jurnalisme Masa Kini
Sumber: Solo Pos, Selasa, 26 Mei 2009
Readmore »»
Tentu saja, penghancuran sistem nilai dan moral dalam masyarakat itu juga tidak hanya secara langsung dipengaruhi oleh Pemilu. Bisa jadi, jurang semakin menganga karena berbagai informasi yang didapat masyarakat kurang lengkap. Dalam hal ini, pers sebagai lembaga, tak jarang dituduh sebagai biang kerok.
Memang, pers seringkali diklaim sebagai lembaga yang bisa ikut mengipas-ngipasi sebuah perbedaan dalam masyarakat yang akhirnya menjadi konflik. Dalam kurun waktu lama pula, pers disebut sebagai narcotizing dysfunction (racun pembius). Tetapi, mengingkari pers sebagai penekan dan penentu utama kemajuan masyarakat juga sangat naif.
Dalam kompetisi politik, pers sekadar mengungkap berbagai fakta-fakta yang tersaji dalam setiap peristiwa. Pers memberitakan, menginterpretasikan pesan kemudian menyodorkan pada masyarakat apa yang perlu dilakukannya. Efeknya, kembali pada kualitas individu dalam menyikapi setiap peristiwa yang disajikannya. Dalam hal ini, pers adalah faktor antara dari semua sebab yang terjadi.
Pertanyaannya adalah bagaimana jika di dalam masyarakat telah terjadi penghancuran moral bangsa akibat berita-berita yang disajikan oleh pers itu sendiri? Sebagai media penyampai informasi, pers punya tugas mulia untuk memulihkannya.
Pertama, meskipun diklaim sebagai narcotizing dysfunction, pers punya tugas sebagai contributing to social cohesion. Karenanya, pers sebenarnya punya potensi besar dalam menciptakan kesatuan dan integrasi dalam masyarakat. Dalam melihat sebuah konflik misalnya, pers yang berusaha untuk selalu melihat dan tidak terlibat dalam konflik menjadi potensi untuk menciptakan integrasi sosial di masyarakat. Ini juga berarti, wartawan yang meliput kejadian juga berada di luarnya.
Ini dimungkinkan terjadi, jika pers memang tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa. Masalahnya adalah apakah pers benar-benar tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa? Katakanlah pers tidak punya kepentingan, bagaimana dengan wartawannya?
Independen
Dalam pandangan Kovach dan Rosenstiel (Nurudin, 2009), wartawan harus independen dari yang mereka liput. Independensi yang dimaksud di sini adalah independensi pikiran, dari kelas atau status ekonomi, dan independen dari ras, etnis, agama dan gender. Ini berarti wartawan dalam menulis berita melepaskan semua yang ada pada dirinya. Ia bertugas melaporkan dan menunjukkan fakta apa adanya, tanpa takut kepada sebuah kelompok.
Kedua, memberikan upah layak pada wartawan. Ini memang relatif. Meskipun juga tidak ada jaminan dengan gaji layak, mereka bisa layak dalam melakukan peliputan. Tetapi, gaji layak akan bisa menekan mereka mencari ”objekan” di luar gaji, entah amplop, perjalanan dinas dan entah fasilitas lain dari narasumber. Ini memang ideal dan tak mudah dilaksanakan. Tetapi tanpa ada usaha ke arah itu, semua hanya omong kosong. Niat wartawan untuk tak menerima fasilitas narasumber akan sia-sia manakala media juga mendiamkan saja.
Dengan gaji layak, mereka tidak akan tergantung pada nara sumber. Selama ini, berbagai konflik di masyarakat akibat pemberitaan pers yang berat sebelah karena wartawan sudah ”dibeli” oleh narasumber. Bisa dikatakan penghancuran sistem nilai dan moral bangsa akarnya juga dari sini pula.
Ketiga, media harus selektif dalam memilih kata-kata dalam medianya. Kata-kata itu bukan kata-kata yang bisa memicu konflik. Beberapa contoh kata-kata yang justru ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat pernah dilakukan media di Kalimantan berkaitan dengan konflik Sampit. Dua media massa di sana pernah menulis berita sebagai berikut, ”Malam itu, setelah dua hari etnis Madura ”menjajah” Sampit, Panglima Dayak merangsek masuk kota”. Lihat juga, ”Aparat siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura di sana” (Eriyanto, 2004).
Tak terkecuali yang pernah ditulis media dalam konflik Ambon (2000) sebagai berikut, ”Kepulauan Maluku bagai ladang penjagalan. Nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai. Satu per satu terbunuh dengan sia-sia....Wajah Kepulauan Maluku porak-poranda, karut-marut tak terbentuk lagi. Agaknya ini pula yang menggugah nurani umat Islam untuk memberikan bantuan kepada saudaranya di Maluku.”
Contoh di atas adalah perilaku pers dengan kata-kata yang ditulis dan bisa menimbulkan keresahan, pemicu konflik, sampai ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat. Pers ikut menentukan arah, ke mana masyarakat dan bangsa ini akan dibawa di masa datang. Hal demikian perlu diperhatikan pers sebelum kambing hitam selalu ditimpakan kepadanya
Oleh : Nurudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Jurnalisme Masa Kini
Sumber: Solo Pos, Selasa, 26 Mei 2009
Readmore »»
Langganan:
Postingan (Atom)