Rabu, April 20, 2011

"Boikotlah Daku, Kau Kugigit"

Tidak banyak pejabat pemerintah yang dengan terang-terangan berani melawan media. Umumnya, karena kepentingannya, mereka cenderung melayani apa yang diinginkan media. Alasannya, media menjadi jembatan emas untuk meraih ambisi, tujuan dan orientasi pragmatis lainnya.

Tetapi, Dipo Alam (Sekretaris Kabinet) sangat berbeda. Ia berani melawan arus. Bahkan ia menginstruksikan untuk memboikot media. Tidak itu saja, ia akan melawan jika ada somasi dari media sekalipun. Pernyataan yang berani, tetapi tidak melihat dampak “psikologis” dari media. Jadi, pernyataannya bagai bara dalam sekam.

Dua Alasan
Ada beberapa hal yang bisa dikaji dari pernyataan Dipo Alam. Pertama, Dipo Alam memang risih dengan pemberitaan media massa selama ini yang dianggapnya berat sebelah. Bahkan itu terjadi pada media-media yang menjadi “musuh” pemerintah (Dipo Alam berposisi pada pihak pemerintah). Pemberitaan media selama ini dianggap cenderung memojokkan pemerintah secara membabi buta tanpa berimbang.

Kedua, sebagai pejabat pemerintah, tingkah laku Dipo Alam sengaja dibiarkan untuk “melawan” media. Dengan kata lain, dia dijadikan martil. Memang benar berita media selama ini cenderung buruk pada pemerintah, tetapi pejabat pemerintah (presiden, wakil presiden dan menteri) sangat riskan untuk berkomentar seperti Dipo Alam. Dampak politiknya sangat tinggi. Maka, ketika Dipo Alam berani melawan media, dibiarkan saja. Bagi pemerintah (yang disebutkan di atas), biarlah Dipo Alam mewakili pemerintah. Toh kalau punya dampak politik juga tidak terlalu tinggi. Bisa jadi Dipo Alam menyadari fakta ini (?). Dari kasus ini, terbukti bahwa dia adalah sosok sangat loyal pada pemerintah sampai-sampai mengorbankan diri untuk kepentingan (politik) pemerintah (mungkin juga dirinya).

Media itu Pemantau Kekuasaan
Dipo Alam boleh sewot atas pemberitaan, tetapi media mempunyai pilihan sendiri apa yang ingin disiarkan kepada publik. Sama juga dengan pemerintah, apakah akan memilih kebijakan ini dan itu, itu urusan pemerintah.

Sebenarnya, salah satu fungsi ideal media massa dalam politik adalah pemantau kekuasaan (Kovach dan Rosenstiel, 2004). Dalam kaitan ini, media seringkali diangap sebagai “watch dog” (anjing penjaga). Bahkan seorang pakar bernama Wilson Harris pernah mengatakan press is a watch dog of the the public. Artinya, media harus memfungsikan diri sebagai pengamat sosial. Pengamat sosial ini fungsinya meluruskan apa yang bengkok dan menjaga agar yang lurus tetap lurus.

Sebagai anjing penjaga, anjing itu harus bisa menjaga rumah majikanya. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, anjing harus menggongong memberitahu tuannya. Maksudnya agar tuannya waspada ada sesuatu yang harus dia pertimbangkan untuk dilakukan.
Fungsi media massa juga tak jauh berbeda dengan anjing penjaga tadi. Media harus menjadi pengawas. Media harus loyal pada majikannya. Majikan di sini idealnya adalah masyarakat. Tentu saja, majikan yang dimaksud bukan pemilik modal. Jika di masyarakat ada kejadian yang merugikan masyarakat secara umum, media harus berani “menggonggong”, kalau perlu menggigit.

Maka dari itu, jika media mencurigai ada perilaku menyimpang dari pemerintah, media harus berteriak. Tidak jadi soal apakah teriakannya itu lembek atau keras. Sebab itu semua tergantung pada karakteristik masing-masing media. Yang jelas, suara untuk menyampaikan yang kurang berjalan sebagaimana mestinya harus dikatakan. Jika ada korupsi di pemerintahan yang belum juga terselesaikan, media juga harus lantang bersuara. “Hei ada korupsi”, demikian kalau dikatakan secara verbal.

Lebih lanjut, media juga punya tugas untuk memantau kekuasaan pemerintah. Sebab, jika pemerintah tidak dipantau, kebijakannya bisa melenceng dan merugikan masyarakat. Memantau kekuasaan yang di maksud di sini adalah bertujuan untuk menegakkan demokrasi dan keadilan. Artinya, media tidak sekadar memberikan fakta-fakta telanjang saja, tetapi fakta-fakta itu benar-benar memperjelas duduk persoalannya. Misalnya, media sedang melaporkan tindak pidana korupsi seorang pejabat. Media harus bisa menunjukkan bahwa seseorang itu memang benar-benar bersalah dan orang lain tidak bersalah. Tentu saja, semangat praduga tak bersalah harus tetap dipegang teguh.

Demokrasi juga mensyaratkan bahwa media harus menyuarakan “kaum lemah”. Dengan kata lain, media harus menjadi penyambung lidah rakyat. Media bukan sebagai pelayan kekuasaan semata. Ini tak berarti bahwa media itu “menyusahkan orang yang senang”. Misalnya, jangan hanya gara-gara tidak suka dengan seorang politikus, secara membabi buta media mencari-cari kesalahan dia. Ini berarti, media semata-mata hanya menyusahkan orang yang senang.

Fungsi media di sini juga sama dengan parlemen, yakni mengawasi kinerja pemeritah. “Parliament is one lung, and the pers is the other” (parlemen itu ibarat sebuah paru-paru, yang lainya adalah media). Jadi, peran media sangatlah vital, sama dengan fungsi paru-paru dalam tubuh kita. Apa jadinya jika paru-paru seseorang sakit atau bahkan tidak berfungsi sama sekali? Di sinilah media berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat, sama seperti fungsi parlemen.

Sebagai penyambung lidah rakyat, media dituntut untuk tak hanya menampilkan pemberitaan yang berasal dari keterangan pejabat resmi. Atau, hanya berisi silang pendapat dari beragam sumber yang dia liput. Saat ini, media Indonesia banyak yang terjebak dengan jurnalisme kutipan. Mereka lebih suka dengan mengutip pernyataan seseorang, lalu selesai dan diberitakan. Lain hari, jika ada pernyataan lain diberitakan lagi. Kalau begini upaya untuk mencari esensi tidak akan pernah terlaksana.

Jadi, Dipo Alam boleh saja marah dan melakukan boikot. Tetapi media tetap akan terus bersuara. Memang tidak bisa dipungkiri media kadang menyuarakan secara sepihak yang menurutnya perlu dibela. Namun demikian, hal itu tidak harus membuat pejabat atau pihak yang dikritik media menjadi lupa diri, apalagi melakukan tindak kekerasan. Jangan sampai perilakunya menjadi kontraproduktif bagi kemajuan masyarakat di masa datang. Media itu punya tugas mulia untuk pemantau kekuasaan.

Barangkali kita perlu menyimak pendapat Thomas Jefferson, “Jika saya harus memilih antara ada media tanpa ada pemerintah, dengan ada pemerintah tapi tak ada media saya tidak ragu-ragu lagi akan memilih yang pertama”. Jadi, “Boikotlah daku, kau kugigit”
Type rest of the post here
Readmore »»

Imperialisme Baru Budaya

Saat mengajar mata kuliah Komunikasi Massa, saya ditanya oleh seorang mahasiswa, “Mengapa ide, sikap, perilaku, dan apa yang kita pakai tidak jauh berbeda dengan budaya Barat?”. Sejak beberapa tahun saya mengajar mata kuliah tersebut, baru kali ini saya mendapat pertanyaan seperti itu. Tentu saja, ada banyak ragam yang bisa menjawab pertanyaan cerdas tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya bercerita terlebih dahulu tentang sebuah film yang pernah diproduksi secara kolosal, Titanic, yang dibintangi oleh Kate Winslet dan Leonardo Dicaprio. Film yang dibuat dengan mengandalkan efek audio visual kuat itu sangat digemari oleh penonton Indonesia. Mengapa? Karena film-film Indonesia belum mungkin membuat film seperti itu. Akhirnya, film itu sangat digemari penonton Indonesia.

Yang ingin saya tekankan adalah tanpa sadar ketika kita menyaksikan sebuah film atau mengakses berita-berita dari media massa, kita sedang mengadopsi apa yang datang dari Barat. Lihat saja, mengapa perhelatan Miss Indonesia selalu memakai kriteria sebagai berikut; tinggi, langsing, kulit kuning, rambut lurus (atau kalau perlu pirang), hidung macung, pintar berbahasa asing dan kriteria fisik lainnya. Ini sangat mungkin terjadi karena pengaruh dari apa yang dijadikan kriteria di negara Barat yang disiarkan lewat media massanya. Akan sangat aneh, jika memakai kriteria di luar itu.

Tanpa sengaja, identifikasi ini akan mengarahkan pada kenyataan bahwa untuk menjadi seorang gadis ideal harus bisa memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Apalagi, mereka yang laris untuk jadi artis, bintang sinetron, dan semacamnya memang juga dianggap punya kriteria seperti itu. Di sinilah adopsi budaya Barat yang sadar atau tidak sedang menggejala pada masyarakat kita.

Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang). Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.

Karenanya, kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa di seluruh dunia.

Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film 2012 seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah kenyataan akan hancurnya dunia ini, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Itu semua bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.

Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran yang berasal dari Barat. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan, dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.

Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Inilah yang disebut dengan imperialisme budaya Barat dengan mendominasi media massa dunia ketiga.

Salah satu yang mendasari munculnya kajian imperialisme budaya itu adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan, dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.

Ia juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.

Yang tak kalah “ganasnya” adalah bea siswa yang diberikan secara gratis oleh negara Barat ke negara berkembang. Mengapa mereka memberikan cuma-cuma bea siswa itu? Mereka jelas punya misi tertentu untuk “menguasai” negara berkembang.

Mereka yang sempat kuliah di luar negeri akan mengadopsi nilai-nilai luar negeri kemudian dibawa ke Indonesia. Tidak saja gaya hidup, pemikiran, tetapi juga perilaku. Tanpa sadar mereka telah “dijajah” oleh bangsa asing. Saya punya kolega dosen yang selalu cerita tentang luar negeri. Seolah dia menjejalkan semua hal yang berbau luar negeri ke mahasiswanya. Bahkan ada juga yang baru kuliah sebentar saja sudah bercerita kembaikan bangsa asing dan mengolok-olok bangsa sendiri. Bukan tidak boleh, tapi tanpa dipilah-pilah secara cerdas itu jelas akan meracuni. Memang, tak semua budaya kita bagus, begitu juga tak semua budaya asing jelek.

Tentu saja, tidak semua mereka yang kuliah di luar negeri menjadi “agen” bangsa asing. Mereka yang secara sadar tetap kuat pada budaya sendiri dan bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik juga masih ada. Hanya, tanpa disertai sikap rendah diri dan kecerdasan penuh hal itu tak gampang dilakukan.

Dua bentuk imperialisme budaya yang dilakukan media massa dan para pendidik jelas sangat berpengaruh untuk mempengaruhi dan membentuk watak dan bentuk budaya Indonesia. Jadi jelas, pertanyaan mahasiswa di awal tulisan ini bisa dijawab karena adanya imperialisme budaya yang telah merasuk ke dalam pikiran, sikap, dan perilaku manusia Indonesia. Cara penyebarannya secara halus, bahkan mereka yang melakukan dan menerimanya kadang tidak sadar. Inilah cara kerja imperialisme budaya yang riil terjadi dan tak gampang untuk dihindari.
Type rest of the post here
Readmore »»

Selasa, April 12, 2011

Menyoal Second Reality Pemberitaan Media

Kompas (30/11/10) memberitakan keluhan warga Malang berkaitan dengan berita-berita media massa (cetak dan elektornik) yang berlebihan tentang aktivitas gunung Bromo. Akibat pemberitaan yang berlebihan tersebut pendapatan ekonomi yang dihasilkan mereka menurun drastis. Pertanyaan kita adalah mengapa masyarakat menjadikan media massa sebagai “kambing hitam? Apakah yang diberitakan oleh media kita itu memang realitas sebenarnya yang terjadi?

Realitas Kedua
Media massa itu hanya mengonstruksi realitas yang terjadi di lapangan. Namanya mengonstruksi, jadi tidak semua yang diberitakan di lapangan itu bisa dilaporkan. Media mempunyai pilihan-pilihan untuk memberitakan fakta yang dilihatnya, melalui seorang wartawan. Lalu apakah wartawan yang memberitakan sebuah kejadian itu memberitakan realitas? Ia memberitakan realitas, tetapi realitas media bukan realitas sebenarnya.

Penjelasannya begini. Aktivitas gunung Bromo itu sebuah realitas. Sebut saja realitas pertama (first reality). Sebagai realitas pertama ia tampil apa adanya. Ketika seorang melihat sendiri aktivitas gunung Bromo berarti ia melihat realitas senyatanya atau realitas pertama. Dalam posisi ini, fakta-fakta terjadi begitu saja sesuai “hukum alam”. Dengan kata lain, realitas pertama tentang aktivitas gunung Bromo seperti yang dilihat oleh masing-masing orang, termasuk para wartawan.

Kemudian, dengan kemampuan yang dimiliki para wartawan itu merekam setiap kejadian dalam otaknya melalui alat bantu, entah menulis langsung, merekam pakai kamera atau memotretnya. Apa yang dicatat dan direkam wartawan ini tentu saja sangat tergantung dari filter masing-masing wartawan. Filter dalam kajian komunikasi massa bisa berwujud kondisi psikologis, jenjang pendidikan, pandangan politik, emosi, kepentingan, budaya atau sekadar kondisi fisik. Filter-filter itu harus diakui memengaruhi apa yang wartawan catat dan rekam.
Kalau sudah begini apakah yang diberitakan oleh wartawan tersebut sebuah realitas? Wartawan memang melaporkan realitas yang direkam dan dicatatnya karena ia memberitakan fakta-fakta di lapangan. Namun demikian realitas yang sudah diberitakan itu sangat dipengaruhi dan tergantung pada filter yang dipunyai masing-masing wartawan. Jadi, wartawan itu tetap memberitakan realitas tetapi realitas yang sudah dikonstruksi. Sebut saja realitas kedua (second reality).

Dengan demikian, wartawan yang memberitakan aktivitas gunung Bromo sampai menimbulkan kecemasan masyarakat itu sebuah realitas, tetapi realitas kedua yang sudah bercampur dengan banyak aspek.

Subjektivitas
Kalau sudah begitu apakah yang diberitakan media massa itu subjektif karena sangat tergantung dari sang wartawan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita mengutip pendapat Jakob Oetama. Dalam buku saya berjudul Jurnalisme Kemanusiaan, Membongkar Pemikiran Jakob Oetama tentang Pers dan Jurnalisme (2010) terungkap bahwa pemberitaan media massa itu objektivitas yang subjektif. Semua kejadian yang diberitakan media itu merupakan sesuatu yang objektif. Sedangkan bagaimana kejadian itu dipilih menjadi berita atau dilaporkan sebagai berita, jelas sesuatu yang subjektif.

Berita itu bukanlah kejadianya itu sendiri, tetapi berita ialah laporan tentang sesuatu kejadian aktual yang sudah melalui beberapa tahapan dan proses sampai menjadi sebuah berita yang muncul di media. Kejadian adalah realitas pertama (sebagaimana disebutkan di bagian awal), sementara berita adalah realitas kedua (ada yang menyebut realitas media).

Diakui atau tidak, faktor subjektivitas sering muncul dalam pembuatan sebuah berita. Ini tak lain karena dalam pembuatan berita, faktor pribadi wartawan terlibat jauh dalam pemilihan fakta-fakta di lapangan. Wartawan menulis berita apa adanya saja sudah subjektif karena ia memilih dan memilah fakta-fakta yang disajikan (bukan fakta keseluruhan). Apalagi kepentingan media ikut memengaruhinya.

Contoh kecil saja begini. Ketika memberitakan korban kecelakaan yang dialami oleh seorang perempuan umur 25 tahun, masing-masing wartawan bisa membuat profiling (pelabelan) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi seorang perempuan itu disebut dengan “perempuan karir”, perempuan yang bertubuh bahenol”, wanita yang punya rambut terurai panjang”, atau wanita yang berwajah manis”. Itu semua sangat tergantung dari persepsi, latar belakang, pengalaman, tuntutan kerja wartawan dan misi-visi medianya. Apalagi jika wartawan yang menulis itu punya kepentingan pribadi di balik pembuatan sebuah berita.

Berkaitan dengan itu, Dennis McQuail (2000) pernah juga mengungkapkan tentang peran media yakni as a window on events and experience dan as a mirror of events in society. Media itu seperti sebuah jendela. Ketika seseorang membuka jendela rumah, ia bisa memandang peristiwa di luar jendela itu. Namun demikian, peristiwa yang ada hanya sebatas sudut pandang jendela tersebut dan bukan semua peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Jendela juga bisa dianalogikan sebagai sebuah jendela. Melalui “jendela itu” kita bisa membaca peristiwa tentang aktivitas gunung Bromo. Tetapi sekali lagi, bukan semua peristiwa yang terjadi tetapi hanya sebatas sudut pandang yang bisa ditangkap media (realitas kedua).

Sementara itu, media juga bisa sebuah cermin peristiwa di masyarakat (a mirror of events in society). Cermin hanya sebuah pantulan dari kejadian, sama seperti kalau kita sedang bercermin. Apa yang tersaji dalam cermin bukan kenyataan sesungguhnya, tetapi sekadar pantulan dari fakta. Sebagai cermin, media pun hanya mampu memantulkan sebagian kecil dari kejadian yang berlangsung di masyarakat dan tak mampu memenuhi seluruh keinginan manusia.
Catatan Penting
Jadi, kecemasan masyarakat atas pemberitaan berlebihan dari media tidak serta merta harus digeneralisasi. Sebab, masing-masing media mencoba mengungkapkan realitas berdasar realitas kedua atau realitas media. Sementara itu, masing-masing media mempunyai realitas yang berbeda-beda.

Catatan penting yang bisa digarisbawahi adalah bahwa kecemasan masyarakat atas pemberitaan media justru menjadi bukti bahwa media memang mempunyai kekuatan dalam membentuk opini publik. Masyarakat tidak perlu terlalu cemas, begitu pula wartawan juga bisa lebih bijak dalam membuat berita karena pemberitaannya berdampak hebat di masyarakat.
Type rest of the post here
Readmore »»

Gejolak Timteng dan Kemenangan Jejaring Sosial


(Tulisan ini bagian dari naskah buku "Internet Menuju Cyber Village")
Timur Tengah (Timteng) tengah diguncang prahara. Setelah Zine al-Abidine Ben Ali (Tunisia) turun dari jabatannya pada tanggal 14 Januari dan Hosni Mubarak (Mesir) pada tanggal 11 Februari tumbang, Moammar Khadafy (Libya) digoncang. Khadafy sendiri bereaksi keras atas protes pada dirinya. Peristiwa itu membuka mata para pemimpin Timteng untuk melakukan langkah-langkah baru. Ali Abdullah (presiden Yaman), Omar Hasan (presiden Sudan), buru-buru tidak mencalonkan lagi sebagai kandidat pada Pemilu mendatang. Raja Bahrain, Sheikh Hamad, dengan cepat melakukan dialog dengan oposisi untuk mengantisipasi keadaan.

Tidak bisa dipungkiri meluasnya protes dan tergulingnya dua presiden di Timteng tersebut akibat dari pengaruh teknologi komunikasi jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube dan Flickr. Teknologi komunikasi itu telah memberikan pengaruh pada pola pikir, sikap, dan perilaku warganya (klik: buku)

Dunia Arab yang dikenal dengan budaya Islamnya telah terpengaruh film-film Hollywood dari budaya Barat serta internet yang membuat kehidupan masyarakatnya semakin terbuka dan demokratis. Apalagi, saat ini keberadaan jejaring sosial sudah menjadi keniscayaan. Meskipun berada dalam sebuah negara dengan budaya tertentu, mereka bisa berhubungan dan mengakses informasi dari luar. Ini akan menggesek budaya lokal.

Imperialisme Jejaring Sosial
Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang).

Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk memengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.

Apalagi untuk saat sekarang, berbagai bentuk imperialisme budaya bisa diperluas lewat jejaring sosial. Lihat kasus yang terjadi di Mesir beberapa waktu lalu. Begitu ada gejolak protes di alun-alun Tahrir, banyak saksi mata melihat, merekam dan menulis. Fakta-fakta itu kemudian disiarkan oleh tidak saja stasiun televisi Al Jazeera tetapi juga CNN. Bahkan begitu aksi muncul, kita bisa membaca peristiwa demi peristiwa dalam situs jejaring sosial. Peristiwa ini bisa diakses pula oleh mereka yang tidak hadir dalam demonstrasi di lapangan itu. Tetapi mereka ini ikut menyebarkan gagasan-gagasan akan pentingnya Mubarak mundur dari jabatannya lewat jejaring sosial itu.

Memang, teknologi itu sendiri tidak membuat gerakan. Tetapi orang-orang yang memanfaatkan teknologi jejaring sosial itu dengan antusias memanfaatkannya. Dalam kajian komunikasi kenyataan itu sering disebut dengan communication technological animal.

Communication technological animal berarti individu-individu yang menjadikan teknologi sebagai sangat fundamental bagi humanitasnya. Bagi mereka, teknologi adalah faktor utama dalam melakukan perubahan. Bahkan teknologi komunikasi seperti jejaring sosial dipercaya sebagai alat yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya.

Jejaring sosial telah memungkinkan sesuatu yang selama ini dipendam, misalnya kecurangan presiden, bisa diungkap secara transparan. Barangkali, awalnya sekadar informasi yang disebar, tetapi informasi yang disebar dalam jejaring sosial itu telah membuka mata banyak orang untuk ikut menyebarkannya.

Fenomena di Indonesia juga bisa dijadikan contoh. Berapa banyak kasus-kasus yang diungkap, dipercepat penyelesaiannya, undangan simpati dibangun melalui jejaring sosial? Gerakan sejuta Facebooker pendukung Priya Mulyasari atau gerakan mendukung ditetapkannya Sultan Yogya sebagai gubernur menyebar luas diketahui dari jejaring sosial.

Begitu juga, kepemimpinan tangan besi yang dilakukan mantan presiden Mesir dan Tunisia telah menyebabkan ketidakpuasan masyarakat di dua negara itu. Ketidakpuasan ini kemudian ditulis dalam jejaring sosial. Dengan cepat hal itu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Lihat pula aksi brutal pemimpin Libya Moammar Khadafy yang memerintahkan pasukannya menghalau protes massa dengan rudal antipesawat. Bahkan 1000 orang lebih sudah tewas sejak marak aksi protes di negara yang beribukota Tripoli tersebut. Semua itu bisa diakses melalui jejaring sosial.

Pelajaran Berharga
Pelajaran yang bisa dipetik dari meluasnya jejaring sosial itu antara lain; pertama, tidak ada sesuatu rahasia politik yang terus menerus tersimpan rapat. Para diktator dan pemerintahan tangan besi lambat atau cepat akan digugaut oleh people power. Kedua, penting kiranya pemerintah Indonesia segera untuk melakukan demokratisasi dan penegakan hukum disegala bidang sebelum gerakan rakyat semakin luas. Mereka tidak digerakkan oleh pihak lain, tetapi bergerak sendiri karena solidaritas dan ketidakpuasan atas peristiwa yang menimpanya.

Kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat negara lambat atau cepat akan terus terungkap. Jika ini tidak diantisipasi gelombang protes rakyat akan semakin luas. Lihat kasus demonstrasi menentang PSSI? Itu salah satu contoh kecil solidaritas gerakan yang tidak bisa dipungkiri konsekuensi dari jejaring sosial.

Jejaring sosial yang mempunyai pengaruh hebat untuk melakukan perubahan telah menjadi kekuatan penekan baru (new pressure group) dalam usaha melawan pemerintah. Maka, perubahan yang terjadi di Timteng bukan kemenangan rakyat saja, tetapi juga kemenangan jejaring sosial (Facebook, Twitter, Youtube dan Flickr).

Type rest of the post here
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics