Jumat, Oktober 23, 2009

Televisi, Merenggut Fungsi Mendidik Guru

Pendidikan dan Realitas TV Indonesia
Munculnya televisi adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tak gampang untuk ditolak kehadirannya. Kemunculan “kotak ajaib” itu merupakan konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi massa yang diakui atau tidak telah membawa perubahan-perubahan yang berarti di masyarakat. Akibat munculnya televisi, masyarakat mengalami percepatan kemajuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Begitu dahsyatnya perubahan yang diakibatkan oleh televisi, ada banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan percepatan perkembangan teknologi komunikasi massa itu. Untuk sekadar menyebut contoh, kita saat ini telah memasuki era yang disebut “Revolusi Komunikasi” (Daniel Lerner), “Masyarakat Pasca Industri” atau the post industrial society (Daniel Bell), “Abad Komunikasi” atau “Gelombang Ketiga” atau the third wave (Alvin Toffler), “Global Village” (Marshall McLuhan), dan “Ledakan Komunikasi Massa” (Collin Cherry).

Tentu saja, perkembangan tersebut membawa dampak perubahan format masyarakat. Bahkan masyarakat saat ini tidak lagi mengandalkan komunikasinya melalui face to face communication, tetapi telah melalui media massa (cetak dan elektronik). Disamping itu, pola pikir dan perilaku kita sangat dipengaruhi oleh media massa pula. Coba kita pertanyakan, adakah barang yang kita miliki di rumah kebanyakan bermerek yang dikenalkan media massa? Adalah kita punya kemampuan untuk tidak memanfaatkan media massa dalam satu hari saja?

Dampak yang terjadi di masyarakat seperti yang dikemukakan di atas, tak terkecuali berdampak pada perkembangan anak-anak sebagai “pasar” televisi. Televisi memang membawa pengetahuan baru bagi anak-anak. Pengaruh yang sedemikian dahsyat akan pengaruh televisi pernah dikatakan Davis dan Abelman, “Although the family has been regarded as the primary agent in the socialization process (Gecas, 1992; Grusec & Goodnow, 1994; Maccoby, 1992), there is some evidence that television has the potential to transform the socialization process and displace the family from its traditional place in socialization” (Davis & Abelman, 1983) (Alexis Tan et.tal, 2000).

Banyak cerita memang, setelah menonton layar kaca tersebut anak-anak jadi semangat mempelajari Fisika atau IPA (bagi yang masih SD) ketika ditayangkan "Indosat Galileo". Melalui "Keluarga Cemara", anak-anak juga mendapat pelajaran tentang nilai keluarga dan bagaimana cara keluarga sederhana itu mengatasi kesulitan hidup mereka sehari-hari. Namun demikian, meskipun punya dampak positif, televisi juga bermuatan negatif. Bahkan muatan negatifnya jauh lebih besar pada diri anak-anak. Akan ampuhnya dampak televisi, pernah dikatakan oleh Huston, Zillman, & Bryant (1994), “Television is one of the most powerful socializing agents of children for several reasons. One is that children’s exposure to television begins in infancy and conservative estimate s are that it is watched three or more hours per day. Further, children’s access to television requires no special skills such as the ability to read” (Mary Strom Larson, 2002).

Pendapat itu jika ditarik ke dalam permasalahan yang lebih kongkrit adalah semakin banyak anak menonton televisi semakin kuat dampak negatif yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, semakin seringnya anak menonton televisi semakin sedikit minat membacanya. Di sinilah persoalannya bahwa televisi juga telah menumpulkan kecerdasan seseorang.

Dampak lain keberadaan televisi bisa dilihat dari kasus yang pernah menimpa Nyoya Rani (40 tahun). Suatu saat, ia sangat kaget ketika anak sulungnya yang berusia 11 tahun dan baru duduk di kelas 5 SD menanyakan apa artinya kondom. Dengan sedikit terbata-bata ibu yang juga karyawati sebuah perusahaan swasta itu menjawab pertanyaan sang anak dan berusaha disesuaikan dengan kemampuan nalarnya. Ketika diajak ngobrol, akhirnya si sulung mengemukakan istilah itu didapatnya dari tayangan televisi (Pikiran Rakyat, 22 Mei 2005).

Mengapa ini semua terjadi? Menurut sebuah penelitian, dari 15 judul sinetron ditemukan unsur yang kental sensualitas. Berpakaian seronok menempati aspek tertinggi (49 persen dari 169 pemunculan), lalu merayu (14 persen), merangkul (11 persen), dan menatap penuh hasrat lawan jenis (11 persen). Unsur seksualitas itu dikhawatirkan berujung pada pembentukan sikap permisif yaitu, cuek bebek pada terjadinya pelanggaran norma agama, sosial, bahkan hukum dalam kehidupan nyata (Republika, 30 Desember 2005).

Nyatalah bahwa televisi mempunyai dampak yang hebat pada sikap dan perilaku anak-anak. Anak-anak pun tak jarang menghabiskan waktunya di depan televisi. Dari sinilah kemudian problem muncul. Anak-anak terpengaruh oleh apa yang disajikan televisi. Televisi, dalam posisi ini sudah diposisikan sebagai seorang guru. “Sang guru” itu berceramah, bercerita, memberikan informasi, memberikan persuasi pada anak-anak tersebut, sementara anak-anak tanpa sengaja menurut dengan apa yang disajikan dari televisi itu. Televisi telah dianggap sebagai guru lantaran apa yang disajikannya bisa menghibur, sementara pelajaran di sekolah dianggapnya membebani, meskipun berguna bagi masa depan mereka.

Dari deskripsi latar belakang tersebut di atas permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah 1) sejauhmana dampak negatif televisi bagi anak-anak dan 2) bagaimana televisi telah mencabut fungsi mendidik seorang guru?

Baca lebih lanjut dalam: Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009.
Readmore »»

Sabtu, Oktober 03, 2009

Facebook, Tuhan Baru Masyarakat Modern?

“Pemkot Surabaya mulai gerah atas banyaknya pegawai negeri sipil yang online di Facebook dan Yahoo! Messenger (YM). ''Candu'' dua sarana perkawanan dunia maya itu dirasa begitu kuat, sehingga menurunkan kinerja aparat. Yang paling nyata, traffic internet di lingkungan pemkot ''disedot'' habis-habisan oleh dua situs tersebut” (Jawa Pos, 5/9/09).

Kalau Anda punya Facebook (FB) dengan jaringan pertemanan yang luas, akan menemukan kasus memukau pada bulan Ramadhan ini. Coba sekali-kali amati tulisan di status teman-teman Anda. Dalam status mereka, tak jarang ada doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Salah satu contohnya begini, “Mohon ampunanMU, aku masih berniat memperbaiki semua, bantu aku menjalani semua proses ini ya Allah”. Intinya, FB dijadikan sarana untuk memanjatkan doa. Itu belum termasuk kata-kata singkat, “habis sholat malam”, “mau tadarusan” , “Hari kelima puasa baru dapet 6 juz. Alhamdulillah, tapi masih kurang banyakkkkkk......” dan lain-lain.

Apa yang dilakukan pada FB-er (sebutan untuk para pengguna FB) seolah menjadikan FB sebagai Tuhan. Mengapa itu bisa terjadi?

Realitas Tuhan
Tuhan (dalam arti monoteisme) adalah tempat bergantung manusia. Dialah sesembahan dan tujuan akhir manusia untuk mencari tujuan hidup. Tuhan didudukkan sebagai sesuatu yang paling tinggi diantara semua hal. Intinya adalah Tuhan adalah tempat bergantung manusia.

Tentu saja, tidak semua manusia percaya adanya Tuhan. Meskipun begitu, Tuhan tetap memberikan kasih sayangnya pada mereka yang tak bertuhan sekalipun. Kasih sayang tak terbatas pada hanya pada mereka yang percaya Tuhan saja.

Bagi mereka yang percaya Tuhan, akan menjadikan Tuhan sebagai sebab utama. Dialah yang menjadikan dan dialah yang mengakhirkan. Manusia mungkin sudah berusaha, tetapi semua akan diserahkan pada Tuhan. Bahkan pada Tuhanlah mereka memohon petunjuk, berdoa, dan mengeluhkan segala persoalan hidup karena usaha manusia yang memang serba terbatas.

Tuhan memang tidak satu. Tuhan itu banyak dalam artian tempat bergantung manusia. Sementara Tuhan dalam ajaran monoteisme tetap satu, yakni sang Causa Prima (sebab awal). Sebagai tempat bergantung manusia, ada manusia yang menjadikan nafsu sebagai Tuhannya. Dalam perilakunya sehari-hari manusia ini selalu menuruti hawa nafsunya. Semua diabdikan untuk menyalurkan nafsu tersebut. Dalam posisi ini, manusia tersebut menjadikan nafsu sebagai Tuhan. Ada juga manusia yang menjadikan uang sebagai Tuhan. Jika ada manusia yang selalu mengukur sesuatu berdasarkan uang, orientasi hidup hanya untuk mencari uang, maka nyata ia telah menjadikan uang sebagai Tuhannya.

Realitas FB
Tidak sedikit diantara pada FBer sangat tergantung kehidupannya pada FB. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan ada yang terbangun dini hari membuka FB. Apalagi sekarang “berFBria” sangat mudah dinikmati dengan Hand Phone (HP). Macam-macam yang mereka dilakukan, dari soal mengubah status (ini yang sering), mengisi kuis, mengomentari status teman-temannya, sampai iseng-iseng mengetag (menandai) foto dirinya agar diketahui semua teman-temannya.

FB adalah tipe situs jaringan yang membuat aktif penggunanya. Ini sangat berbeda dengan Friendster (FS) yang muncul sebelumnya. Dalam FS, setiap komentar yang ditanggapi oleh teman-teman kita tidak diberitahukana oleh situs tersebut. Sementara dalam FB semua yang dilakukannya diberitahukan kepada pengguna. Jadi kalau kita mengomentari status teman, maka komentar teman yang punya status atau orang lain yang juga mengomentasi status teman kita itu bisa diketahui. Antar pengguna bisa berkomunikasi secara interaktif. Inilah kelebihan FB. Dalam FB juga bisa melakukan chatting layaknya Yahoo Messenger (YM).

Tak heran, jika para user sangat tergila-gila dengan FB. Bahkan di manapun menggunakan FB; di dalam kendaraan, di kampus, di tempat tidur, bahkan di dalam WC. Tak heran karena menariknya situs ini banyak perusahaan dan lembaga pemerintah melarang karyawannya menggunakan FB seperti yang terjadi pada Pemkot Surabaya. Alasannya, FB mengurangi produktivitas. Para karyawan tidak mau bekerja, tetapi justru “berFBria”. Bahkan itu juga terjadi pada anggota legislatif saat rapat atau aktivitas lain di gedung dewan.

Ketika para user itu putus cinta, misalnya, mereka tumpahkan dengan menulis status dalam FB. Mereka yang sedang gembira juga tidak berbeda. Bahkan sekadar hanya meminta saran tentang persoalan yang dihadapi, mereka memanfaatkan FB sebagai alatnya. Pokoknya, FB adalah alat yang bisa menyelesaikan semua persoalan hidup.
Di sinilah para user itu sangat tergantung sekali pada FB. Coba tanyakan pada mereka yang sudah kecanduan FB, apakah mereka kuat menahan tidak membuka FB dalam satu hari? FB sudah mempengaruhi hidup mereka. Apa pun akan dilakukan agar bisa FB-an. Sungguh, sebuah fenomena baru dalam masyarakat modern. Sangat mungkin dalam pikirannya, file-file tentang FB melebihi file persoalan yang lain.

Tuhan Baru
Apa yang dilakukan pada FBer sama persis dengan ajaran agama. Agama mengajarkan, agar manusia selalu mengingat Tuhannya, dimanapun dan kapan pun. Jika pikiran manusia terus menerus pada FB, tak heran mereka (seolah) sudah menjadikan FB sebagai “Tuhan Baru” dalam hidupnya. Alasannya, FB telah menjadi tempat bergantung manusia agar tidak terombang-ambing hidupnya, sama dengan agama bukan?

Kalau manusia sudah menggantungkan dirinya pada hal lain yang sama dengan Tuhan, bisa jadi dalam tubuh manusia itu telah bersemi "Tuhan Baru” di luar keyakinan pada Tuhannya. Mungkin manusia itu tak merasa, mereka telah menjadikan FB sebagai "Tuhan Baru''. Baginya, bisa jadi Tuhanya tetap Allah swt, misalnya, namun tingkah lakunya sehari-hari atau ketergantungan pada FB telah mengikis kepercayaan pada Tuhan.
Melalui agama yang diturunkan Tuhan, manusia diarahkan, dituntut, bahkan "diharuskan'' untuk melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu yang lain.

Intinya, manusia menjadikan referensi utamanya pada agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketergantungan yang demikian besar manusia pada agama merupakan ciri pokok manusia religius. Bagaimana jika manusia telah menjadikan FB sebagai Tuhannya?
Masalahnya, Tuhan baru yang dijadikan referensi hidup itu akan mengikis nilai-nilai ruhani manusia. Nilai-nilai transendental yang selama ini diajarkan oleh agama Tuhan, akan mengalami degradasi. Sebab, manusia sudah menggantungkan hidupnya pada FB.

Mereka berdoa tidak lagi pada Tuhan, tetapi lewat FB. Mengapa berdoa saja harus diketahui orang lain? Memang benar-benar berdoa atau hanya sekadar riya’? Bisa jadi, harapannya, dia menulis doa pada status FB agar diamini oleh para user. Tapi itu sama saja dengan seseorang berdoa dengan suara keras di tengah alun-alun agar orang yang melihatnya mengamini. Tapi jangan-jangan hanya cacian saja yang didapatkan karena dianggap memutarbalikkan hakikat doa? Jadi, jika aktivitas FBer seperti yang digambarkan di atas, mereka sedang membuka peluang tumbuhnya “Tuhan baru” dalam dirinya. Wallahu A’lam.
Readmore »»

Selasa, Juni 30, 2009

Lomba Menulis Resensi Buku "Jurnalisme Masa Kini"

Panitia lomba resensi buku Jurnalisme Masa Kini karya Nurudin, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 mengundang masyarakat umum untuk mengikuti lomba:
Syarat-syarat:
1.Terbuka untuk umum.
2.Naskah yang dilombakan harus pernah dimuat di media cetak Indonesia antara bulan Juli-September 2009.
3.Akan dipilih 3 pemenang oleh dewan Juri.
4.Keputusan dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat berkaitan dengan lomba.
5.Pengumuman pemenang akan diumumkan sekitar bulan Oktober-Nopember 2009.
Hadiah? baca lebih lengkap:

Pemenang akan mendapatkan:
1.a. Juara I mendapatkan honorarium Rp. 300.000,-
b. Juara II mendapat honorarium Rp. 200.000,-
c. Juara III mendapat honorarium Rp. 100.000,-
2.Juara juga akan mendapatkan piagam penghargaan.
3.Hak cipta tulisan resensi ada pada penulis masing-masing.
4.Hadiah akan dikirim ke alamat pemenang.

Kirimkan karya Anda ke:
Panitia Penulisan Resensi Buku:
Jalan Ulil Abshar no. 47, Mulyoagung, Dau, Malang 65151
Dengan melampirkan:
1.Bukti naskah resensi asli yang sudah dimuat di media cetak.
2.Menyertakan alamat lengkap, nomor telepon, e-mail dan nomor rekening.

Selamat meresensi!!!!!!!!!


Terima kasih

a.n Panitia
Readmore »»

Minggu, Juni 28, 2009

Facebook, Artis Paling Seksi 2009

Seorang teman pernah berseloroh kepada saya, “Mengapa para kiai mengharamkan FB (facebook)?”.

“Karena para kiai itu tidak menggunakan FB, dan tidak tahu kepentingan FB, “jawab saya sekenanya.

“Bukan itu, para kiai itu mengharamkan FB karena mereka biasa membaca kitab dalam bahasa Arab. Karena bahasa Arab itu dibaca dari kanan, maka FB dibaca BF (Blue Film)”.

Tentu saja, pertanyaan dan jawaban teman saya tadi dalam konteks tidak serius. Yang menjadi masalah kemudian adalah, mengapa beberapa pihak mengatakan FB itu haram? Alas an yang dikemukakan, FB haram jika digunakan untuk mencari jodoh, dan kegiatan yang tidak bermanfaat lainnya. Dalam posisi ini kita bisa memahami fatwa tersebut. Masalahnya tidak sedikit masyarakat kita yang menggeneralisasi bahwa FB memang haram. Kalau Tuhan memberikan jalan seorang untuk mendapatkan jodoh lewat FB apakah pernikahan yang dilakukannya itu haram juga? Inilah persoalannya.

Ini sama dengan ungkapan, “politik itu kotor”. Sebenarnya bukan politiknya yang kotor, tetapi orang-orang yang menggunakan politik untuk kepentingan yang tidak baiklah yang kotor. Dengan kata lain, politiknya itu baik-baik saja. Ia akan tergantung dari siapa yang memanfaatkannya. Tak terkecuali dengan pisau. Ia akan berguna jika dipakai ibu-ibu untuk memasak, misalnya. Tetapi ia akan berbahaya jika ada di tangan penjahat. Apakah dengan demikian kita dengan mudah mengatakan bahwa pisau itu berbahaya? Juga, apakah kita serta merta gampang mengatakan kalau politik itu kotor? Mengapa mereka tidak mengharamkan hotel-hotel yang digunakan untuk transaksi “kelamin”? Mengapa pula tidak gencar mengharamkan korupsi yang kian merajalela di negeri ini?

Sama dengan pisau, FB adalah sebuah alat komunikasi. Ia adalah keniscayaan sejarah. Artinya, ia muncul karena perkembangan sejarah teknologi komunikasi. Pada awalnya memang manusia yang menciptakan teknologi. Namun perkembangannya kemudian teknologi yang memengaruhi kehidupan manusia itu sendiri. Jadilah manusia dikuasai teknologi.
Mengapa FB populer dan diminati? FB yang ditemukan oleh Mark Elliot Zuckerberg sebenarnya sama dengan situs internet lainnya. Hanya perbedaannya, situs internet umumnya menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Dengan FB, para penjelajah bisa berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat itu.

Llebih dari 100 juta orang secara aktif menggunakan aplikasi bergerak pada Facebook. iPhone Facebook saja telah memiliki 5 juta pengguna aktif bulanan dan Blackberry untuk Facebook memiliki 3,25 juta pengguna aktif bulanan. Presiden AS Barack Hussein Obama bahkan memanfaatkan situs ini sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan dalam Pemilihan Presiden AS tahun lalu.

Situs Mashable (The Social Media Guide) menyatakan, desain Facebook lebih enak dilihat dan dijelajahi serta menawarkan hal-hal yang lebih riil. Sebagai contoh, Facebook menawarkan orang lain yang kira-kira Anda kenal untuk di-add (ditambahkan) jadi teman. My Space juga menyodori Anda beberapa teman, tetapi termasuk menyodori orang-orang dari negeri antah berantah menjadi teman.

FB memang fenomena aktual dan jejaring sosial paling diminati oleh para netter. Menurut catatan pusat operasional FB di California, Amerika, sebanyak 813 ribu dari 235 juta penduduk Indonesia menggunakan FB.

Jadi, manfaat dan tidak manfaat FB sangat tergantung pada penggunanya. Itu juga berarti meskipun pisau itu bisa berbahaya tidak lantas pisau itu dienyahkah, bukan? FB sendiri adalah alat untuk silaturahmi. FBer (untuk menyebut aktivis FB) bisa bertemu dengan teman-teman sesama sekolahnya dahulu. Teman yang sudah tidak pernah bertemu bisa ketemu kembali dengan jejaring FB. Bahkan muncul kesepakatan untuk mengadakan reuni, dan saling mengabarkan satu sama lain. Ini silaturahmi di era digital. Jadi silaturahmi tidak hanya dipahami bertemu dan bertatap muka saja.

Hanya memang tidak bisa dipungkiri, FB juga punya dampak negatif jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Misalnya munculnya perselingkuhan. Bisa jadi, FBer akan menemukan kembali pacar lamanya. Namun demikian, perkara dia akan kembali ke pacar lamanya tentu bukan salah FB. Barangkali karena dia punya jiwa petualang cinta. Dampak negatif lainnya, bisa saja FBer gampang melupakan aktivitas produktif lainnya.
Dari posisi inilah faktor individu pengguna FB sangatlah memegang peranan penting. Memvonis FB haram adalah tindakan yang tergesa-gesa, namun menjadikan diri kita didholimi oleh FB juga tindakan yang kurang bijaksana.
M
asalahnya, kita menjadi semakin heran. Mengapa sesuatu yang muncul dan menjadi keniscayaan sejarah langsung divonis haram? Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang. Bagaimana antisipasi yang dilakukan tanpa harus mengenyahkan sesuatu yang telanjut muncul. Jangan-jangan nanti ada fatwa lain bahwa FB itu “bid’ah”?
Yang jelas, FB adalah artis paling seksi di tahun 2009. Namanya artis, penuh dengan pro dan konta. Tak terkecuali, lekat dengan dampak baik dan buruk. Mendiskusikan bahwa FB itu haram, berdampak baik atau buruk semakin menjadi bukti bahwa FB sangat popular dan menjadi makhluk seksi melebihi wanita. (Sumber:Tera/Tajuk koran Bestari,no. 251/Th.XXII/Juni/2009)
Readmore »»

Selasa, Juni 09, 2009

Kontrak Politik Capres

Oleh Nurudin (Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Pasangan Capres dan Cawapres yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan komitmen jika mereka terpilih. Berkaitan dengan bidang ekonomi, pasangan SBY-Boediono memilih bekerja keras untuk rakyat, tidak menyerahkan ekonomi pada pasar bebas. Pasangan JK-Win melindungi ekonomi rakyat, menyejahterakan rakyat dengan adil dan makmur. Sementara pasangan Mega-Pro mengusung keberpihakan pada wong cilik dan menjalankan kemandirian di bidang ekonomi.

Tentu saja, apa yang dikatakan tersebut masih sebatas wacana. Dan tak mungkin hanya sekadar wacana untuk meraih simpati rakyat. Ada beberapa catatan, pertama, wacana tersebut harus dirinci lebih detail dan lebih operasional. Kedua, tidak boleh sekadar wacana, tetapi harus ada komitmen dengan membuat kontrak politik yang jelas.

Hukum Positif
Mengapa kontrak politik penting dilakukan oleh para kandidat Capres dan Cawapres? Pertama, kontrak politik bermakna tanggung jawab tinggi. Artinya, kandidat yang berani mengadakan kontrak politik, akan dianggap berani pula menerima risiko politik di masa datang. Sebab, program yang dikeluarkan bisa jadi populer di masyarakat, namun siapa yang bisa menjamin kalau program yang pernah dikemukakannya itu akan dilaksanakan secara baik dan benar? Dengan demikian, kontrak politik akan menepis keraguan masyarakat untuk memilih pasangan kandidat.

Oleh karena itu, kontrak politik karenanya punya sanksi yang tegas dan nyata. Sebab, dalam kontrak akan bisa diketahui apa bentuk sanksi yang diterima jika kandidat melanggar kontrak yang sudah disepakati tersebut.

Karenanya pula, sanksi dalam kontrak politik bukan pada diri masing-masing orang seperti yang ada dalam kode etik. Dengan kata lain, kontrak politik bukan sebuah kode etik. Jika seorang wartawan menerima amplop, padahal dilarang, pertanggungjawabannya pada hati nurani sang wartawan itu. Ini jelas sanksi yang tidak tegas dan nyata. Kontrak politik dengan sanksi seperti kode etik tidak cocok untuk para kandidat. Maka, kontrak politik harus berada dalam ranah hukum positif (punya sanksi tegas dan nyata).

Kedua, masyarakat sekarang adalah masyarakat dengan tingkat melek politik yang sudah tinggi. Karenanya, ada banyak perubahan kecenderungan memilih yang sulit diduga sejak awal. Perhitungan di atas kertas tidak lagi bisa menjadi jaminan seorang kandidat bisa memenangkan sebuah “kompetisi politik”. Seringkali rasionalitas masyarakat sangat berbeda dengan rasionalitas para pengamat, tim sukses dan politisi itu sendiri.

Bukti sudah banyak berbicara. Lepas dari ada faktor lain yang ikut menentukan kita bisa melihat pada kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ambil contoh terpilihnya pasangan Heryawan-Dede Yusuf (Hade) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Kedua pasangan itu membalikkan prediksi-presiksi politik awal.

Orang tidak menyangka kalau pasangan yang hanya didukung oleh PKS dan PAN itu bisa menang. Kurang apa pasangan Agum dan Nu’man yang didukung oleh PDI-P, PKB, PPP, PKPB, PDS, dan PBR sampai kalah dengan pasangan Hade? Tak terkecuali, kurang apa Danny-Iwan yang didukung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mempunyai suara besar akhirnya juga kalah? Inilah prediksi-presikdsi politik yang tidak bisa ditebak. Politik adalah dunia yang penuh misteri.

Ketiga, meyakinkan masyarakat untuk menyoblos pasangan calon akan lebih kuat manakala dilakukan dengan kontrak politik. Heterogenitas yang ada pada masyarakat membuat peta politik di Indonesia ini sangat sukar ditebak. Jika masing-masing kandidat hanya mengandalkan slogan, dan program-program menarik lainnya, belum menjadi jaminan akan dipilih. Bukankah semua program masing-masing kandidat baik semua?

Memang benar bahwa faktor psikologis kandidat dengan konstituen ikut menentukan perolehan suara. Tetapi, faktor ini bukan jaminan. Kurang apa pasangan Mega-Hasyim pada Pemilu 2004 yang punya pendukung riil dan loyal akhirnya kalah dengan pasangan SBY-JK?

Memang benar pula bahwa iklan juga bisa ikut menentukan suara pasangan calon, tetapi ini juga bukan jaminan utama. Kurang apa partai Gerindra yang gencar memasang iklan, tetapi hanya mendapatkan suara 5,36 persen dengan 30 kursi di legislatif?

Terobosan Cerdas
Mengandalkan iklan, hubungan psikologis, loyalitas konstuen sudah dilakukan, tetapi hasilnya tidaklah signifikan. Yang belum dilakukan adalah mengadakan kontrak politik dalam Pilpres. Kontrak politik ini juga akan membuka pemahaman masyarakat bahwa pasangan kandidat bukan orang yang takut akan risiko politik.

Janji-janji dalam iklan yang terkesan basa-basi sudah sering diteriakkan para politisi, tetapi menguap begitu saja ketika mereka sudah menjabat. Sementara itu, kontrak politik yang dampaknya luar biasa belum dilakukan oleh para kandidat. Barangkali mereka takut mengambil risiko dan tanggung jawab ketika mereka terpilih. Politisi di negeri ini memang pandai bersilat lidah tetapi hanya berhenti di mulut saja.

Maka, keberanian para kandidat mengadakan kontrak politik akan menjadi terobosan baru dan cerdas di tengah keragu-raguan dan kegamangan masyarakat akan Pemilu. Kontrak politik juga akan mendidik masyarakat apakah mereka berani mempermasalahkan kandidat yang sudah terpilih seandainya pasangan calon itu tidak mematuhi kontrak politik yang sudah dilakukan? Jadi, para kandidat dan masyarakat dengan sendirinya akan terdidik untuk melek dan cerdas dalam berpolitik. Ini tentu keuntungan bagi bangsa ini di masa datang.

Kontrak politik memang sebuah “pembohongan publik” yang dibungkus dengan “akal sehat”. Tetapi, kontrak politik setidaknya membuka peluang pemberlakuan hukum positif yang tegas dan nyata. Jika itu sudah dilakukan, biarlah rakyat yang nanti akan menilai.

(Sumber: Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics