Senin, November 24, 2008

Media Critical Theory (Teori Kritis Media)

Teori media kritis akarnya berasal dari aliran ilmu-ilmu kritis yang bersumber pada ilmu sosial Marxis. Beberapa tokoh yang mempeloporinya antara lain Karl Mark, Engels (pemikiran klasik), George Lukacs, Korsch, Gramschi, Guevara, Regis, Debay, T Adorno, Horkheimer, Marcuse, Habermas, Altrusser, Johan Galtung, Cardoso, Dos Santos, Paul Baran Samir Amin, Hamza Alavi (pemikiran modern). Ilmu ini juga disebut dengan emancipatory science (cabang ilmu sosial yang berjuang untuk mendobrak status quo dan membebaskan manusia, khususnya rakyat miskin dan kecil dari status quo dan struktur sistem yang menindas).

Beberapa teori studi budaya (cultural studies) dan ekonomi politik juga bisa dikaitkan dengan teori kritis. Sebab, teori-teori itu secara terbuka menekankan perlunya evaluasi dan kritik terhadap status quo. Teori kritis membangun pertanyaan dan menyediakan alternatif jalan untuk menginterpretasikan hukum sosial media massa.

Sekedar contoh, beberapa penganjur teori kritis mengatakan bahwa media secara umum mengukuhkan status quo – bahkan mungkin secara khusus, ketika status quo itu dibawah tekanan atau tidak bisa berubah. Teori kritis sering menyediakan penjelasan yang kompleks pada kecenderungan media untuk secara konsisten mengerjakan itu.

Untuk menyebut contoh, beberapa pengajur teori kritis mengidentifikasi ketidakbebasan para praktisi media yang membatasi kemampuannya untuk melawan kekuasaan yang mapan. Mereka menilai bahwa ada beberapa dorongan untuk menyokong para profesionalis media untuk menanggulangi ketidakbebasan itu dan para praktisi media secara terus menerus gagal untuk menjawabnya.

Teori kritis sering menganalisis secara khusus lembaga sosial, penyelidikan luas untuk yang dinilai objektif adalah mencari dan mencapai. Media massa dan budaya massa telah mempromosikan banyak hal yang ikut menjadi sasaran teori kritis. Bahkan ketika media massa tidak melihat sebagai sumber masalah khusus, mereka dikritik untuk memperburuk atau melindungi masalah dari yang diidentifikasi atau disebut dan dipecahkan.

Contohnya, seorang teoritikus berpendapat bahwa isi praktik produksi para praktisi media tidak hanya menyebabkan tetapi juga mengabadikan masalah. Thema pokok di dalam teori kritis adalah bahwa isi produksi juga ikut memperkuat status quo dan mengurangi usaha yang berguna bagi perubahan sosial yang konstruktif.

Baca lebih lengkap: Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Readmore »»

Technological Determinism Theory (Teori Determinisme Teknologi)

Teori ini dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertama kali pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik.

McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”.

Kita belajar, merasa dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio menyediakan kepada manusia lewat indera pendengaran (audio), sementara televisi menyediakan tidak hanya pendengaran tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa yang diterpa dari dua media itu masuk ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Selanjutnya, kita ingin menggunakannya lagi dan terus menerus. Bahkan McLuhan sampai pada kesimpulannya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message).

Media tak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan buku itu seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita akan bisa “melihat dunia”.

Mengikuti teori ini, ada beberapa perubahan besar yang mengikuti perkembangan teknologi dalam berkomunikasi. Masing-masing periode sama-sama memperluas perasaan, dan pikiran manusia. McLuhan membaginya ke dalam empat periode. Di dalam masing-masing kasus yang menyertai perubahan itu atau pergerakan dari era satu ke era yang lain membawa bentuk baru komunikasi yang menyebabkan beberapa macam perubahan dalam masyarakat.

Pertama-tama adalah era kesukuan. Era ini kemudian diikuti oleh era tulisan, kemudian era mesin cetak dan terakhir adalah era media elektronik dimana kita berada sekarang. Bagi masyarakat primitif di era kesukuan, pendengaran adalah hal yang paling penting. Peran otak menjadi sangat penting sebagai wilayah yang mengontrol pendengaran. Dengan pengenalan huruf lambat laun masyarakat berubah ke era tulisan.

Era ini mendudukkan kekuatan penglihatan sepenting pendengaran. Dengan memasuki era tulisan terjadi perubahan yang penting dan perasaan serta pikiran manusia semakin diperluas. McLuhan menyebutkan bahwa perubahan dengan penggunaan tulisan sebagai alat berkomunikasi menjadi pendorong munculnya ilmu matematika, filsafat dan ilmu pengetahuan yang lain.


Baca lebih lengkap: Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Readmore »»

Teori Spiral Keheningan

Elizabeth Noelle-Neumann (seorang professor emeritus penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman) adalah orang yang memperkenalkan teori spiral keheningan/kesunyian ini. Teori ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1984 melalui tulisannya yang berjudul The Spiral of Silence. Secara ringkas teori ini ingin menjawab pertanyaan, mengapa orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas? Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas.

Bahkan orang-orang yang sedang berada dalam kelompok mayoritas sering merasa perlu untuk mengubah pendiriannya. Sebab, kalau tidak mengubah pendiriannya ia akan merasa sendiri. Ini bisa diamati pada individu yang menjadi masyarakat pendatang di suatu kelompok tertentu. Ia merasa perlu diam seandainya pendapat mayoritas bertolak belakang dengan pendapat dirinya atau kalau pendapat itu tidak merugikan dirinya, bahkan ia sering merasa perlu untuk mengubah pendirian sesuai dengan kelompok mayoritas dimana dia berada.

Kajian Noelle-Neumann ini menitikberatkan peran opini dalam interaksi sosial. Sebagaimana kita ketahui, opini publik sebagai sebuah isu kotroversial akan berkembang pesat manakala dikemukakan lewat media massa. Ini berarti opini publik orang-orang juga dibentuk, disusun, dikurangi oleh peran media massa. Jadi ada kaitan erat antara opini dengan media massa. Opini yang berkembang dalam kelompok mayoritas dan kecenderungan seseorang untuk diam (sebagai basis dasar teori spiral kesunyian) karena dia barasal dari kelompok minoritas juga bisa dipengaruhi oleh isu-isu dari media massa.

Untuk memperjelas teori ini bisa diilustrasikan pada kejadian di Indonesia. Di Indonesia, terjadi dua kelompok besar yang setuju dengan penerapan demokrasi dengan yang tidak. Bagi kelompok yang pro demokrasi dikatakan bahwa demokrasi adalah hasil akhir dan paling baik yang akan mengantarkan bangsa Indonesia ke kehidupan yang lebih baik di masa datang. Asumsi lainnya, bahwa masyarakat itu adalah pilar utama negara, maka demokrasi harus dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan. Sedangkan bagi kelompok penentang demokrasi mengatakan bahwa kita sudah punya cara sendiri dalam mengatur negara dan masyarakat Indonesia, kita punya Pancasila, dan kita adalah bangsa yang mementingkan persatuan. Demokrasi hanya akan mengancam keharmonisan hidup selama ini. Bagi kalangan Islam mengatakan bahwa demokrasi dalam Islam itu sudah ada dan tak perlu mengubahnya.

Berbagai pendapat yang bertolak belakang tersebut berkembang dan “bertarung” baik dalam wacana keseharian atau disebarkan melalui media massa. Baik yang pro dan kontra sama-sama kuat di dalam membentuk opini publik. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dunia, ide pelaksanaan demokrasi akhirnya yang bisa dikatakan menang.

Mereka yang dahulunya, menolak demokrasi mulai melunak. Para intelektual muslim yang dahulu menolak demokrasi kemudian mengatakan menerima demokrasi karena dalam Islam juga ada demokrasi atau karena Islam dan demokrasi tidak bertolak belakang. Sementara kelompok yang dahulunya penentang demokrasi lebih memilih diam. Sebab, mayoritas opini yang berkembang adalah mendukung pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Baca lebih lengkap: Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Readmore »»

Media Equation Theory (Teori Persamaan Media)

Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass (professor jurusan komunikasi Universitas Stanford Amerika) dalam tulisannya The Media Equation: How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places pada tahun 1996. Teori ini relatif sangat baru dalam dunia komunikasi massa.

Media Equation Theory atau teori persamaan media ini ingin menjawab persoalan mengapa orang-orang secara tidak sadar dan bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media seolah-olah (media itu) manusia? Dengan demikian, menurut asumsi teori ini, media diibaratkan manusia. Teori ini memperhatikan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face.

Misalnya, kita berbicara (meminta pengolahan data) dengan komputer kita seolah komputer itu manusia. Kita juga menggunakan media lain untuk berkomunikasi. Bahkan kita berperilaku secara tidak sadar seolah-olah media itu manusia.
Dalam komunikasi interpersonal misalnya, manusia bisa belajar dari orang lain, bisa dimintai nasihat, bisa dikritik, bisa menjadi penyalur kekesalan atau kehimpitan hidup. Apa yang bisa dilakukan pada manusia ini bisa dilakukan oleh media massa.

Dalam media cetak misalnya, kita bisa meminta nasihat masalah-masalah psikologi pada rubrik konsultasi psikologi di media massa itu, kita bisa mencari jodoh juga bisa lewat media, misalnya dalam rubrik kontak jodoh. Kita bisa tertawa, sedih, iba terhadap apa yang disajikan media. Intinya, layaknya manusia media bisa melakukan apa saja yang dikehendaki individu bahkan bisa jadi lebih dari itu.

Contoh lain adalah ketika kita melihat televisi. Jika televisi yang kita lihat itu ukurannya kecil dan suaranya kecil, ada kemungkinan kita menontonnya lebih dekat jika dibanding dengan televisi yang besar. Kita bisa meniru berbagai adegan dalam televisi sama persis seperti yang disajikannya. Perilaku semacam itu, sama seperti yang dilakukan pada individu yang lain. Ketika yang kita ajak bicara suaranya kecil, kita cenderung mendekat.

Dalam hal ini televisi dan komputer diberlakukan sebagai aktor sosial. Artinya, aturan yang mempengaruhi perilaku setiap hari individu-individu dalam interaksi dengan orang lain relatif sama seperti ketika orang-orang berinteraksi dengan komputer atau televisi. Kalau orang berinteraksi dengan memakai aturan tertentu, televisi dan komputer juga punya aturan tertentu juga seperti dalam situasi lingkungan sosial.

Dalam proses interaksi sosial dikatakan bahwa orang-orang cenderung dekat dan menyukai satu sama lain karena terjadinya kesamaan satu sama lain, misalnya kesamaan kebutuhan, kepercayaan, status sosial, senasib dan lain-lain. Para penonton televisi pun punya kecenderungan melihat acara-acara televisi yang bisa memenuhi kebutuhannya atau bahkan mereka menonton televisi dengan alasan kurang kuat karena ada persamaan kepercayaan. Sekedar contoh misalnya, penonton dari kalangan Islam tentunya akan enggan menonton acara masak-memasak di televisi dengan bahan utamanya daging babi.

Alasannya, daging babi dianggap haram (tidak boleh dimakan) oleh umat ini. Hal demikian akan berbeda dengan penganut agama lain yang tidak mengharamkan daging babi. Itu artinya, orang-orang menggunakan televisi atau komputer tidak sekedar peralatan saja, tetapi aktor sosial.

Baca lebih lengkap: Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
. Readmore »»

Cultural Imperialism Theory (Teori Imperialisme Budaya)

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Tulisan pertama Schiller yang dijadikan dasar bagi munculnya teori ini adalah Communication and Cultural Domination. Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi media massa di dunia ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga.
Kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis. Dengan kata lain, media massa Barat sudah dikembangkan menjadi industri yang juga mementingkan laba.

Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film Titanic ada kesan kapal Titanic tersebut benar-benar ada, padahal itu semua tidak ada. Bahkan ketika kapal tersebut akhirnya menabrak gunung es dan tenggelam, seolah para penumpang kapal itu seperti berenang di laut lepas, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Semua itu bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.
Negara dunia ketiga tertarik untuk membeli produk Barat tersebut. Sebab, membeli produk itu jauh lebih murah jika dibanding dengan membuatnya sendiri. Berapa banyak media massa Indonesia yang setiap harinya mengakses dari media massa Barat atau kalau berita dari kantor berita Barat. Setiap hari koran-koran di Indonesia seolah berlomba-lomba untuk menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan, foto demonstrasi di Jakarta yang seharusnya bisa difoto oleh wartawan Indonesia sendiri justru berasal dari kantor berita AFP (Perancis). Sesuatu yang sulit diterima, tetapi nyata terjadi.
Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Kejadian ini bisa dikatakan terjadinya imperialisme budaya Barat. Imperialisme itu dilakukan oleh media massa Barat yang telah mendominasi media massa dunia ketiga.
Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.
Teori imperislisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang berbeda (yang tentunya lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetepi yang jelas, terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa pengaruh perubahan, meskipun sedikit.

Baca lebih lengkap: Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
Readmore »»

Teori Kultivasi

Teori kultivasi (cultivation theory) pertama kali dikenalkan oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisan pertama yang memperkenalkan teori ini adalah “Living with Television: The Violenceprofile”, Journal of Communication. Awalnya, ia melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu?. Itu juga bisa dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada “dampak”.

Menurut teori kultivasi ini, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak Anda tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak Anda dengan televisi Anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya memfokuskan pada thema-thema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar thema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah Universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka yang tergolong pecandu opera sabun tersebut lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominic, 1990).

Bahkan dengan memakai kacamata kultivasi, ada perbedaan antara pandangan orang tua dengan remaja tentang suatu permasalahan. Melalui perbedaan kultivasi, orang tua ditampilkan secara negatif di televisi. Bahkan para pecandu televisi (terutama kelompok muda) lebih mempunyai pandangan negatif tentang orang tua dari pada mereka yang bukan termasuk kelompok kecanduan. Mengapa ini semua terjadi? Karena sebelumnya, televisi telah memotret atau selalu menampilkan sisi negatif dari orang tua. Misalnya, bagaimana mereka sering terlihat kolot dalam memahami dan menyelesaikan kasus yang berhubungan dengan anak muda. Seolah, para pecandu televisi ini tidak sadar bahwa televisi punya banyak pengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka.

Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi ini akan mengatakn sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang dia tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena faktor cultural shock (keterkejutan budaya) dari tradisonal ke modern. Termasuk misalnya, pecandu berat televisi mengatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10, padahal dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Ia juga mengira bahwa 20 persen dari total penduduk berdiam di Amerika, padahal senyatanya cuma 6 persen. Dengan kata lain, penilaian, persepsi, opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.

Program acara sinetron yang diputar televisi swasta Indonesia saat ini nyaris segaram, misalnya Tersanjung, Pernikahan Dini, Kehormatan dan lain-lain. Masing-masing sinetron itu membahas konflik antara orang tua dan anak serta hamil di luar nikah. Para pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa di masyarakat sekarang banyak gejala tentang hamil di luar nikah karena televisi lewat sinetronnya banyak atau bahkan selalu menceritakan kasus tersebut. Bisa jadi pendapat itu tidak salah, tetapi ia terlalu menggeneralisir ke semua lapisan masyarakat. Bahwa ada gejala hamil di luar nikah itu benar, tetapi mengatakan bahwa semua gadis sudah hamil di luar nikah itu salah. Para pecandu sinetron itu sangat percaya bahwa apa yang terjadi pada masyarakat itulah seperti yang dicerminkan dalam sinetron-sinetron.

Termasuk di sini konflik antara orang tua dan anak. Benak penonton itu akan mengatakan saat ini semua anak memberontak kepada orang tua tentang perbedaan antara keduanya. Mereka yakin bahwa televisi adalah potret sesungguhnya dunia nyata. Padahal seperti yang bisa dilihat dalam kenyataannya, tidak sedikit anak-anak yang masih hormat atau bahkan selalu mengiyakan apa yang dikatakan orang tua mereka.
Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.

Penelitian kultivasi menekankan bahwa media massa sebagai agen sosalisasi dan menyelidiki apakah penonton televisi itu lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yan mereka lihat sesungguhnya. Gerbner dan kawan-kawannya melihat bahwa film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) catat pula, teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gerbner (meminjam istilah Bandura) juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan.
Dengan kata lain, perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang sebenarnya terjadi juga begitu. Jadi, kekerasan televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.

Baca lebih lengkap: Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2007.
. Readmore »»

Kamis, November 20, 2008

UU no 10 tahun 2008 dan Trauma Pers

"Seandainya saya harus memi­lih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya -- tidak ragu-ragu lagi -- akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah” (Thomas Jefferson).


Beberapa kalangan, termasuk Dewan Pers, menyesalkan aturan pemberitaan media massa dalam UU Pemilu UU nomor 10 tahun 2008 tentang anggota DPR, DPD dan DPRD. UU itu dicurigai akan menghambat kebebasan pers. Sebenarnya, Dewan Pers sudah mengingatkan jauh-jauh hai, tetapi nuansa kepentingan di lingkar anggota dewan lebih kental sehingga usaha menunjunjung tinggi kebebasan pers yang selama ini diatur dalam UU Pokok Pers, bisa terancam begitu saja. Akhirnya, UU nomor 10 tahun 2008 tetap diterbitkan tanpa mengakomodasi usulan Dewan Pers tersebut.

Yang diprotes kalangan Dewan Pers adalah keberadaan Pasal 99 yang mengatur sanksi atau “pembredelan” pers. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa media massa bisa dikenai sanksi antara lain (a) teguran tertulis; (b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah; (c). pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; (d) denda; (e) pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; atau (f) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Sementara itu dalam Pasal 100 ditegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU0.
Permasalahan
Berkaitan dengan pers, UU nomor 10 tahun 2008 setidak-tidaknya, mempunyai dua permasalahan pokok. Pertama, ketentuan yang ada dalam UU itu bertentangan dengan UU Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Di dalam Pasal 4 UU Pokok Pers disebutkan (1) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, (2) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan (3) untuk menjamin kemerdekan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Sementara itu, dalam UU nomor 10 tahun 2008 yang dibuat anggota dewan kita menyebutkan bahwa pers bisa dikenakan sanksi pembekuan kegiatan penyiaran informasi. Sanksi tersebut sama dengan pembredelan seperti yang dilakukan pemerintahan Orde Baru (Orba).
Kedua, peraturan yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU juga tidak adil. Seharusnya, ketentuan mengenai ini harus dikembalikan pada lembaga yang selama ini berhubungan dengan keberadaan pers kita seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Dewan Pers dengan tetap mengacu pada UU Pokok Pers. Jika diserahkan kepada KPU, nuansa kepentingan dan bias kebijakan jelas akan sangat kelihatan. Sebab, KPU akan mendasarkan diri pada kebijakan yang diambil secara politis (karena menyangkut urusan Pemilu) dan bukan berdasar kepentingan media massa secara lebih besar.
Kekhawatiran Pers
Apa yang diundangkan dalam UU nomor 10 tahun 2008 tersebut di atas jelas membuat miris kalangan pers. Bagaimana tidak, pers bisa sewaktu-waktu terkena pembredelan secara sepihak oleh orang di luar pers atau pengadilan. Bisa jadi pembredelannya hanya berkaitan dengan pemberitaan Pemilu. Tetapi, namanya pembredelan jelas tidak dikehendaki kalangan media, sekecil apapun karena bertentangan dengan UU Pokok Pers.
Pembredelan sebenarnya juga mengembalikan proses “pengelolaan” media seperti zaman Orba. Era Orba, dalam UU Pokok Pers UU Pokok Pers no. 21 tahun 1982 juga disebutkan tidak adanya pembredelan pers, tetapi ada aturan di bawahnya yang bernama Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (Peraturan Menteri Penerangan no. 01/Per/Menpen/1984) yang menyebutkan sanksi pembredelan. Kekhawatiran kita adalah jangan-jangan UU Pemilu yang tidak ada kaitannya dengan pers digunakan untuk mengurusi kebebasan menyiarkan informasi. Beritanya memang menyangkut politik atau Pemilu, tetapi hak menyebarkan informasi berada dalam ranah yang lain. Jadi, kerja pers akan selalu di bawah bayang-bayang pembredelan secara sepihak.
Di sisi lain, meskipun UU Pokok Pers sudah diundangkan, ia belum menjadi lex specialis. Jika terjadi demikian, maka UU Pokok Pers sebenarnya tidak punya fungsi apa-apa. Ia tidak menjadi sebuah undang-undang profesi yang melindungi pekerja pers dalam melakukan kegiatan jurnalistik.
Kenyataan ini juga fakta yang tidak bisa dihindari. Negara Indonesia memang belum menempatkan UU Pokok Pers menjadi acuan setiap kasus-kasus yang menyangkut pers. Kasus-kasus pers masih diselesaikan dengan aturan lain, salah satunya adalah KUHP. Kasus yang menimpa Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo dengan Tommy Winata layak dijadikan contoh kongkrit. Tempo pernah memuat berita berjudul, “Ada Tomy di Tenabang?”. Judul dan isi itu dianggap pencemaran nama baik Tommy Winata. Akhirnya, Tommy Winata menggugat majalah Tempo. Tempo akhirnya kalah karena dasar hukum yang melandasi pengadilan adalah KUHP, dan bukan UU Pokok Pers.
Lepas dari siapa yang dirugikan dan diuntungkan, dan bagaimana pendapat masyarakat, kasus tersebut telah membuka mata banyak pihak adanya kelemahan UU Pokok Pers jika berkaitan dengan kekuasaan. Bahkan pengadilan sendiri juga punya interpretasi untuk menyelesaikan masalah pers dengan KUHP saja.
Terhadap masalah ini, memang jika pers bersalah tetap harus dihukum. Yang terasa janggal adalah penggunaan KUHP sebagai dasar hukumnya. Dalam hal ini perbedaan dasar hukum kasus yang menimpa pers belum tuntas untuk ditentukan. Artinya, mana batas antara kasus yang menyangkut pemberitaan pers dan mana yang bukan dan masuk dalam wilayah KUHP. Kasus di atas jelas meninggalkan trauma kalangan pers terhadap semua bahan pemberitaan yang akan disiarkan.
Menepis Trauma
Lalu apa kaitannya antara UU Pokok Pers dengan UU nomor 10 tahun 2008? Kalangan pers bisa jadi menyimpan trauma jika seandainya semua kasus yang menyangkut pers diselesaikan dengan UU nomor 10 tahun 2008, atau jika akhirnya diselesaikan, dengan KUHP. Ini jelas akan mengancam kebebasan jurnalis menyiarkan informasi. Jurnalis yang takut untuk memberitakan fakta yang sebenarnya terjadi akibat dampak pembredelan, jelas masuk dalam kriteria menghambat kerja jurnalis.
Dengan demikian, kasus yang menimpa pers sebaiknya diselesaikan dengan memakai UU Pokok Pers agar tidak menimbulkan bias kepentingan. Ini tak berarti bahwa pers itu bebas sebebas-bebasanya. Ia tetap harus ada dalam koridor hukum. UU Pokok Pers dan kode etik menjadi landasan utama kinerja pers. Termasuk di sini, lembaga pemutus kebijakan berkaitan dengan masalah pers, harusnya berada di tangan Dewan Pers dan KPI, dan bukan KPU. Jika tidak, ada konflik kepentingan berkepanjangan dalam setiap keputusan yang menyangkut pers.
Sindiran bapak kemerdekaan Amerika yang dikutip pada awal tulisan ini menjadi relevan sekaligus sindiran keras bahwa selama ini kekuasaan selalu berupaya mengekang kebebasan pers.
(Sumber: Harian Joglosemar, 2 Agustus 2008)
Readmore »»

Penayangan Koruptor di Media Massa: Jangan “Hangat-hangat Tahi Ayam”

Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) pernah melakukan terobosan baru agar para koruptor ditayangkan di media massa (cetak dan elektronik). Usaha ini perlu disambut dengan gembira meskipun kita tidak perlu mabuk kegembiraan. Sebab, penayangan koruptor akan melibatkan kepentingan kelompok tertentu, dan apa target yang ingin dicapai dibalik motif penayangan tersebut tersebut. Jadi, meskipun baik tetapi menyimpan permasalahan yang perlu kita pikirkan bersama-sama. Kita akan diskusikan maslah tersebut dalam tulisan ini.

Sebenarnya, ide untuk menayangkan wajah koruptor di televisi (khususnya TVRI) sudah pernah dirintis oleh mantan Jaksa Agung (alm) Sukarton Marmosudjono, S.H pada tanggal 14 Desember 1989. Namun begitu, usaha tersebut ibarat “hangat-hangat tahi ayam” yang belum bisa memberikan efek seperti yang diharapkan. Buru-buru menangkap koruptor diluar lingkaran kekuasaan politik, apalagi mereka yang berlindung di balik kekuasaan yang absolut waktu itu.

Sebenarnya, ide penayangan koruptor bisa dikelompokkan menjadi beberapa hal; pertama, penayangan tersangka koruptor dalam usaha melakukan penyidikan untuk mencari dan menemukan tersangka pelaku kejahatan. Dalam hal ini koruptor adalah orang yang dicurigai atau sengaja ditayangkan agar sumber kejahatan utama bisa terlacak. Siapa tahu koruptor yang dimaksud bukan pelaku utamanya. Di sini efek domino sumber pelaku korupsi diharapkan bisa terlacak.
Kedua, penayangan terdakwa koruptor. Ini dilakukan agar proses pemeriksaan di pengadilan sebagai bentuk pemberitahuan kejahatan tertentu (korupsi) pada masyarakat umum. Dalam hal ini koruptor adalah orang yang benar-benar sudah didakwa melakukan kejahatan korupsi, lalu ditayangkan agar diketahui masyarakat umum agar bukti-bukti menjadi lengkap untuk dijadikan tersangka.

Ketiga, penayangan terpidana koruptor sebagai pelaksanaan putusan pengadilan berupa pengumuman putusan hakim. Ini berarti, pengadilan sudah memutuskan bahwa seseorang sudah bersalah dan sudah mendapatkan sanksi hukuman tertentu.

Efek yang Diharapkan
Tentu saja, ide penayangan koruptor di media massa agar efektif perlu berpijak pada efek sebagai berikut; Pertama, diharapkan akan menumbuhkan rasa “malu” pada masyarakat kita karena masyarakat kita sudah semakin kehilangan rasa malu, untuk tak mengatakan kita tidak punya rasa malu lagi. Dengan kata lain, korupsi sudah bukan menjadi rahasia umum yang dilakukan di hampir seluruh bidang dan lembaga di negara ini. Lembaga keagamaan sekalipun ternyata tidak lepas dari kasus korupsi juga. Bahkan korupsi di era sekarang tidak menumpuk di tangan beberapa orang, tetapi sudah dilakukan secara gotong royong. Ini dilakukan agar kejahatan bisa terbagi-bagi dan diharapkan pengusutan kasus korupsi juga mengalami hambatan sedemikian rupa.

Kedua, rasa malu yang sudah tertanam tersebut diharapkan akan membentuk rasa “bersalah” pada koruptor dan masyarakat umumnya. Rasa bersalah ini diharapkan akan mempunyai efek kehati-hatian terhadap apa yang akan dilakukan masyarakat.
Ketiga, diharapkan bisa meningkat ke hal yang lebih prinsip yakni rasa “berdosa” pada diri seseorang yang melakukan korupsi. Apalagi bangsa ini termasuk bangsa yang religius, meskipun agama kadang hanya dijadikan “hiasan” dan label individu saja.. Misalnya, seseorang bergama Islam. Sudah jelas dalam Islam, melakukan suap saja dilarang apalagi korupsi. Namun mengapa ia tetap melakukan korupsi? Di sinilah pemahaman keagamaan seseorang diharapkan semakin meningkat dengan perasaan berdosa. Atau dengan kata lain, ia akan menjadi manusia yang tobat atas segala perbuatan. Saat ini, harapan tersebut belum bisa terwujud karena banyak diantara para pelaku kejahatan justru melakukannya berlaki-kali. Apalagi didukung oleh hukum yang tidak tegak.

Pekerjaan yang Belum Selesai
Yang layak dipertanyakan adalah apakah penayangan koruptor di media massa itu bisa efektif? Ada beberapa permasalahan yang layak mendapatkan perhatian agar terobosan tersebut tidak sia-sia atau hanya sekadar untuk popularitas karena bisa menjadi komoditas politik.

Pertama, meskipun niatnya baik, penayangan koruptor di media massa tidak boleh melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), misalnya soal trial by the press (pers mengadili dengan mengatakan seseorang bersalah sebelum pengadilan memutuskan dia bersalah atau tidak). Ini tentu saja bukan soal menghambat kerja media massa, hanya kita perlu ada dalam jalur yang benar dengan tetap memegang teguh aturan yang berlaku. Termasuk di sini pula, pelanggaran asas pra duga tak bersalah. Sayangnya niat baik pers dan penegakan asas pra duga tak bersalah ini juga sering disalahgunakan oleh mereka yang merasa nama baiknya tercemar.

Kedua, harus ada kesepakatan antara pengadilan dengan media massa, jika media massa dituduh melanggar aturan yang menyangkut peliputan beritanya harus diselesaikan dengan UU Pokok Pers bukan dengan KUHP. Penegak hukum di Indonesia sering kali berbeda pandangan dengan kalangan media massa. Pengadilan seringkali memakai KUHP didalam memutuskan persoalan yang berkaitan dengan masalah yang sebenarnya masuk kasus media massa, sementara pihak media berpandangan bahwa UU Pokok Pers harus dijadikan pedoman. Dua perbedaan pendapat inilah yang seringkali menimbulkan interpretasi berlainan. Akibatnya, media massa seringkali berada di pihak yang dirugikan setiap ada kasus yang menimpa dirinya.

Hal ini bisa dilihat dari kasus yang melibatkan pencemaran nama baik seseorang.. Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 di halaman 31 pernah memuat tulisan berjudul “Ada Tommy di Tenabang?” terkait dengan berita kebakaran di Pasar tanah Abang pada tanggal 19 Februari 2003. Tempo berusaha untuk melihat bahwa kebakaran itu disengaja sebagai salah satu alasan untuk dibuat pasar modern. Tempo mengkaitkan kasus tersebut dengan Tommy Winata, seorang pengusaha dan pemilik Bank Artha Graha. Akibat pemberitaan ini, Tommy melakukan gugatan perdata dan pidana kepada Tempo karena dianggap mencermarkan nama baik. Mulai dari gugatan Tommy itulah masalah kemudian semakin panas.

Masalahnya, Tommy memakai KUHP sebagai dasar gugatan, sementara pihak Tempo memakai UU Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Kalau begini pers yang menjadi pemantik untuk membongkar korupsi tidak mendapat perlindungan.
Ketiga, penayangan koruptor di media massa masih menghadapi prinsip “Siapa yang punya uang dan kekuasaan bisa membeli hukum” yang masih berlaku di Indonesia. Berapa banyak koruptor yang selamat hanya gara-gara dia masih punya kekuasaan, dan berapa diantaranya yang dipenjara karena sudah tidak punya kekuasaan. Kasus pembunuhan (alm) Munir juga bisa dijadikan contoh bahwa ada logika yang tidak pas ketika Pollycarpus yang dijatuhi hukuman seumur hidup, di tingkat MA mentah lagi menjadi 2 tahun.

Keempat, program penayangan koruptor di media massa tentu saja masih menyisakan rasa like and dislike. Jangan sampai, program ini terkesan menjatuhkan kelompok tertentu dan melindungi kelompok yang lain, misalnya karena punya target politik. Jaksa Agung tidak perlu mengikuti perilaku DPR kita. Ketika ada anggotanya yang diduga terlibat kasus seperti kebakaran jenggot, sementara ketika ada kasus yang melibatkan bukan anggotanya seolah berposisi sebagai penegak keadilan dan berjuang demi kepentingan rakyat. Padahal semua itu penuh dengan target politik demi popilaritas kelompok.

Yang jelas, program penayangan koruptor di media massa tidak akan berjalan dengan baik jika dilandasi dengan niat tidak tulus, hanya mau mencari popularitas, dan penuh dengan target politik. Sudah saatnya korupsi yang semakin menggurita bak benang ruwet di Indonesia ini bisa diberantas. Jaksa Agung harus secepatnya mengadakan hubungan baik dengan media massa. Sebab, di tangan media masalah putih-hitamnya koruptor juga ikut ditentukan.
Readmore »»

Jurnalisme Kepiting

Jurnalime kepiting adalah istilah yang pernah dipopulerkan oleh wartawan senior Rosihan Anwar (2001). Jurnalisme kepiting adalah istilah yang dipakai Rosihan untuk melihat sepak terjang Jakob Oetama (JO) dengan Kompas-nya. Dalam pandangan mantan wartawan Pedoman yang korannya dibredel zaman Orde Baru ini, Jakob piawai dalam kiat how to play, bagaimana bermain. Ia pernah menjelaskan di depan wartawan peserta KLW-PWI (Karya Latihan Wartawan) bahwa sikapnya sebagai wartawan selalu berhati-hati. Ibarat orang yang sedang berjalan di dasar sungai dan kakinya meraba-raba apakah ada bahaya di depan. Jika ada kepiting dirasakannya menggigit kakinya, maka cepat-cepat mundur selangkah. Kalau kepiting sudah tidak ada lagi, barulah ia maju ke depan.
Dalam pandangannya, Kompas bergerak ala kepiting. Ia mencoba melangkah setapak demi setapak untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan (baca: kaki kepiting) memberikan toleransi kebebasan pers yang ada. Jika keadaan aman, maka “kaki” Kompas terus maju, tetapi ketika kakinya digigit kepiting (baca: kekuasaan), ia akan mundur beberapa langkah terlebih dahulu.
Jadi, jurnalisme kepiting lebih menunjuk pada kebijakan yang dijalankan oleh Jakob Oetama. Tentu saja komentar ini “memerahkan telinga” Jakob. Namun dalam pandangan Rosihan, dengan sikap yang ditegaskannya dengan gaya jurnalistik yang diterapkannya, terbukti Jakob Oetama tidak saja survive, tetapi juga terus bertumbuh from strength to strength, dari kekuatan ke kekuatan. Inilah pengakuan realistis Rosihan.

(Sumber: Buku Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009) Readmore »»

Jurnalisme “Lher”

Jurnalisme lher sering juga disebut dengan jurnalisme sensasional. Mengapa disebut dengan sensasional karena berita dan gambar atau grafis yang disuguhkan dilandasi dengan atau untuk mencari sensasi semata. Karena untuk mencari sensasi, apapun akan dilakukan untuk mewujudkannya. Ada juga yang menyebut dengan jurnalisme pornografi. Meskipun ketiganya berbeda istilah, dalam praktiknya ketiganya tidak jauh berbeda, yakni bersinggungan dengan “sekwilda” (sekitar wilayah dada) dan “bupati” (buka paha tinggi-tinggi). Bahkan akronim yang bisa menggambarkan jurnalisme lher saat ini lebih dari sekadar “sekwilda” dan “bupati”. Artinya, lebih tragis.
Berita atau gambar dapat dikategorikan pornografi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, setidak-tidaknya mengandung batasan sebagai berikut;
(1) Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi, dan
(2) Bahan yang dibuat dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Sesuatu yang menyangkut pornografi selama ini sering identik dengan eksploitasi seks wanita disertai komentar yang berselera rendah.
Dalam praktiknya, jurnalisme "lher" disamping menampilkan dada dan paha wanita dari berbagai pose yang mencolok tetapi juga disertai judul-judul aso­siatif buat pembacanya yang mengarah pada seks. Meskipun kenyataannya, kata-kata yang asosiatif tersebut hanya berhubungan dengan profesi keartisan seperti main film atau menyanyi.
Jika kita melihat sejarah perkembangan media massa di Indonesia, tabloid Monitor bisa dikatakan media yang mempelopori jurnalisme lher. Dalam setiap edisinya, Monitor selalu menampilkan liputan yang berkaitan dengan “bupati” dan “sekwilda” seperti yang sudah disebutkan di atas. Dua istilah itu melekat pada diri seorang wanita. Meskipun bisa jadi pornografi juga bisa melekat pada laki-laki, dalam praktiknya wanitalah yang sering dijadikan objek eksploitasi.
Beberapa contoh penampilan berita dan atau gambar yang berbau pornografi adalah sebagai berikut; cover Hesty Syani (Monitor, 31/1/90) disertai judul, "Setelah 2 Kali Kapok Deh"; cover Heidy Diana (Monitor, 24/2/90) dengan judul, "Istri Harus Pintar Goyang"; cover Herlin Wedhaswara (Moni­tor, 7/1/90) disertai judul, "Yang Penting Sudah Ngerasain"; cover Lidya Kandouw (Monitor, 3/1/90) dengan judul, "Dulu Sampai 17 Kali, Kini Cukup Sekali"; cover Ami Ijib (Monitor, 9/9/90) disertai judul, "Berlinang Air Mata Dada"; cover Faradilla Andy (Monitor, 19/8/90) dengan judul, "Seks Tidak di Satu Jenis"; cover Iis Dahlia (Monitor, 5/9/90) dengan judul, "Supaya Goyangnya Pas..."; dan kata-kata lain seper­ti; "Sejak Umur 5, Saya Suka", "Kalau dengan Suami ternyata Sakit", "Saya Suka yang Panjang", "Setelah Dua Kali Baru Nikmat" dan lain sebagainya.

Sumber: Buku Nurudin,Jurnalisme Masa Kini, 2009) Readmore »»

Jurnalisme Kuning (yellow journalism)

Pernahkan Anda menjumpai judul-judul berita yang bombastis, tetapi setelah dibaca isinya tidak substansial? Misalnya, “Suami Bantai istri di depan Anak”, “Kemaluan Tiga Pelaku Pengeroyokan Disundut Rokok”, “Mata Perampok Ojek Dicongkel Massa”, “ Gara-gara Ingin Memiliki Sepeda Motor; Pelajar Gorok Leher Teman”, “ Malu Melahirkan Hasil Hubungan Gelap: Wanita Patahkan Kaki Bayi”. Ini beberapa judul berita yang berasal dari media cetak yang pernah terbit di Jakarta.
Diantara judul-judul itu ada kesamaan. Kasus yang sedang dibahas ditulis dengan hiperbola. Seolah terkesan seram, angker, sadis, kejam dan semacamnya. Misalnya pilihan kata “dibacok”, “digorok”, “tewas terpanggang”, atau “mata dicongkel”. Padahal bisa jadi tidak seperti itu kenyataannya. Bisa jadi juga seseorang tewas biasa, tetapi kalau sudah masuk konstruksi berita media cetak seperti itu judul menjadi masalah lain. Dengan kata lain, ada sesuatu yang dibesar-besarkan untuk menarik perhatian pembaca.
Contoh-contoh judul di atas biasanya melekat pada media yang dijuluki jurnalisme kuning (yellow journalism). Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pembuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu,: agar masyarakat tertarik. Setelah tertarik diharapkan masyarakat membelinya. Ini sesuai dengan psikologi komunikasi massa. Orang akan tertarik untuk membaca atau membeli koran, yang diperhatikan pertama kali adalah judulnya. Apalagi judul-judul yang dibuat sangat bombastis. Bahkan untuk menarik perhatian pembaca, judul-judul yang dibuat ditulis secara besar-besaran dengan warna yang mencolok dan tak jarang disertai dengan gambar yang sadis.
Jurnalisme kuning adalah jurnalisme pemburukan makna. Ini disebabkan karena orientasi pembuatannya lebih menekankan pada berita-berita sensasional dari pada substansi isinya. Tentu saja, karena tujuannya untuk meninngkatkan penjualan ia sering dituduh jurnalisme yang tidak profesional, dan tak beretika. Mengapa? Karena yang dipentingkan adalah bagaimana caranya masyarakat suka pada beritanya. Perkara ia diprotes oleh kalangan tertentu tidak akan bergeming. Perkara isinya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, itu soal nanti.
(Sumber: Buku Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009) Readmore »»

Jurnalisme Warga Negara (citizen journalism)

Salah satu fenomena aktual yang berkaitan dengan proses penyebaran informasi adalah maraknya aktivitas blog yang sering disebut dengan citizen journalism (jurnalisme warga negara). Sebuah aktivitas yang muncul karena keniscayaan munculnya internet. Tetapi, sebagai sebuah genre yang baru dalam dunia komunikasi massa, citizen journalism tentu saja memunculkan pro dan kontra.
Dari pihak yang kontra memandang bahwa citizen journalism belum bisa masuk dalam ranah journalism (jurnalisme). Sebab, jurnalisme mensyaratkan banyak hal seperti yang terjadi pada dunia kewartawanan selama ini. Kalau kita mengikuti definisi jurnalisme dalam arti klasik selama ini, citizen journalism tentu saja bukan jurnalisme. Tetapi, ia hanya sebuah aktivitas seperti layaknya seseorang menulis buku harian, hanya medianya saja memakai internet.

Kalau kita berpedoman pada definisi jurnalisme yang dikemukakan dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (1987) terungkap bahwa, jurnalisme adalah:
a. The work of profession of producing
b. Writing that may be all right for a newspaper.
Jelas bahwa menurut kriteria kamus itu, aktivitas yang dilakukan dalam blog tidak termasuk dalam ranah jurnalisme. Sebab, jurnalisme mensyaratkan sistem yang mempengaruhi kinerja seorang wartawan, layaknya kerja wartawan selama ini.
Namun tak bisa dipungkiri, citizen journalism sebuah genre yang sudah menggejala di masyarakat digital saat ini. Jika kita sepakat bahwa jurnalisme itu adalah menginformasikan kejadian kepada masyarakat, maka citizen journalism masuk dalam ranah jurnalisme, ada atau tanpa ada sistem yang melingkupi wartawan dalam mainstream media.
a. Citizen atau Civic Journalism?
Ada dua istilah yang perlu dipahami terlebih dahulu agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman yakni tentang new media (media baru) dan mainstream media (media utama) dengan citizen journalism (jurnalisme warga negara) dan civic journalism (jurnalisme publik). Media utama menunjuk pada saluran komunikasi massa lama seperti surat kabar, majalah, tv, radio, dan sejenisnya, sementara media baru menunjuk pada jaringan internet. Citizen journalism sering juga disebut dengan participatory journalism, netizen, open source juornalism dan grassroot journalism. Baik citizen journalism dan civic journalism menjadikan masyarakat “bahan utamanya”. Hanya dalam civic journalism masyarakat didudukkan sebagai objek, sementara dalam citizen journalism masyarakat didudukkan sebagai objek sekaligus subjek.
Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu. Seseorang tanpa memandang latar belakang pendidikan, keahlian dapat merencanakan, menggali, mencari, mengolah, melaporkan informasi (tulisan, gambar, foto, tuturan), video kepada orang lain. Jadi setiap orang bisa menjadi wartawan (ini menurut penganjur citizen journalism).
Sementara itu, civic journalism adalah mengangkat derajat warga menjadi pemegang peran potensial dalam masalah publik dan bukan sekadar korban, menggerakkan orang-orang sebagai warga suatu negara agar dapat meningkatkan diskusi publik, membantu komunitas menyelesaikan masalah, dan membantu negara dalam mencari orang-orang yang produktif sehingga kegiatan politik dan kemasyarakatan dapat berjalan dengan baik (Karsten, 2004).
Atau upaya wartawan profesional dan media tempat mereka bekerja untuk lebih mendekat dengan persoalan warga (pembacanya), serta ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan itu secara langsung. Bukan hanya memberitakan peristiwa atau fenomena dalam sikap yang objektif saja, tetapi lebih menyatu dan terlibat dalam membimbing warga dan mendorong warga untuk melakukan sesuatu.
Jadi, wartawan yang bekerja di media massa biasanya melakukan liputan karena penugasan, sementara citizen journalist menuliskan pandangannya atas suatu peristiwa karena dirong oleh keinginan untuk membagi apa yang dilihat dan diketahuinya.
b. Bentuk-bentuk Citizen Journalism
D Lasica lewat tulisannya dalam Online Journalims Review (2003) pernah membagi media untuk citizen journalism dalam beberapa bentuk;
1. Partisipasi audiens (seperti komentar-komentar pengguna yang dilampirkan untuk mengomentari kisah berita, blog pribadi, foto atau video gambar yang ditangkap dari kamera HP, atau berita lokal yang ditulis oleh penghuni sebuah komunitas). Coba Anda buka blog saya di http://www.nurudin.multiply.com
2. Berita independen dan informasi yang ditulis dalam website.
3. Partisipasi di berita situs. Berisi komentar-komentar pembaca atas sebuah beria yang disiarkan oleh media tertentu. Beberapa koran seperti Media Indonesia, Koran Tempo membuka space komentar dari pembaca tentang sebuah berita yang disajikan.
4. Tulisan ringan seperti dalam milis, e-mail.
5. Situs pemancar pribadi (video situs pemancar).
Steve Outing pernah mengklasifikasikan bentuk-bentuk citizen journalism sebagai berikut:
1. Citizen journalism membuka ruang untuk komentar publik. Dalam ruang itu, pembaca atau khalayak bisa bereaksi, memuji, mengkritik, atau menambahkan bahan tulisan jurnalisme profesional. Pada media cetak konvensional jenis ini biasa dikenal dengan surat pembaca.
2. Menambahkan pendapat masyarakat sebagai bagian dari artikel yang ditulis. Warga diminta untuk ikut menuliskan pengalamannya pada sebuah topik utama liputan yang dilaporkan jurnalis.
3. Kolaborasi antara jurnalis profesional dengan nonjurnalis yang memiliki kemampuan dalam materi yang dibahas. Tujuannya dijadikan alat untuk mengarahkan atau memeriksa keakuratan artikel. Terkadang profesional nonjurnalis ini dapat juga menjadi kontributor tunggal yang menghasilkan artikel tersebut.
4. Bloghouse warga. Bentuknya blog-blog gratisan yang dikenal, misalnya ada wordpress, blogger, atau multiply. Melalui blog, orang bisa berbagi cerita tentang dunia, dan bisa menceritakan dunia berdasarkan pengalaman dan sudut pandangnya.
5. Newsroom citizen transparency blogs. Bentuk ini merupakan blog yang disediakan sebuah organisasi media sebagai upaya transparansi. Dalam hal ini pembaca bisa melakukan keluhan, kritik, atau pujian atas apa yan ditampilkan organisasi media tersebut. .
6. Stand-alone citizen journalism site, yang melalui proses editing. Sumbangan laporan dari warga, biasanya tentang hal-hal yang sifatnya sangat lokal, yang dialami langsung oleh warga. Editor berperan untuk menjaga kualitas laporan, dan mendidik warga (kontributor) tentang topik-topik yang menarik dan layak untuk dilaporkan.
7. Stand-alone citizen journalism, yang tidak melalui proses editing.
8. Gabungan stand-alone citizen journalism website dan edisi cetak.
9. Hybrid: pro + citizen journalism. Suatu kerja organisasi media yang menggabungkan pekerjaan jurnalis profesional dengan jurnalis warga.
10. Penggabungan antara jurnalisme profesional dengan jurnalisme warga dalam satu atap. Website membeli tulisan dari jurnalis profesional dan menerima tulisan jurnalis warga.
11. Model Wiki. Dalam Wiki, pembaca adalah juga seorang editor. Setiap orang bisa menulis artikel dan setiap orang juga bisa memberi tambahan atau komentar terhadap komentar yang terbit (Yudhapramesti, 2007).
(Sumber: Buku Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009)
Readmore »»

Selasa, November 18, 2008

Menghentikan Teror TV pada Anak

“Orang boleh saja mengatakan bahwa Anda cukup mematikan layar kaca,
tetapi tidak ada cara yang mudah untuk melakukannya”
(Teresa Orange dan Louise O’Flynn).

Minggu lalu, saya melihat running text di Metro TV yang menginformasikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo berencana akan menerapkan larangan menoton televisi pada pukul 18.30-20.30 WIB. Ini dilakukan karena pada jam tersebut anak-anak sedang dan seharusnya belajar, bukan menonton televisi.
Pemerintah daerah Yogyakarta pada tahun 90-an juga pernah menggalakkan program itu dengan nama Jam Belajar Masyarakat (JBM) pada pukul 18.00-21.00 WIB. Bahkan himbauan itu disosialisasikan dengan ditulis di berbagai tempat. Setelah JBM diterapkan, ada penelitian menarik yang dilakukan oleh seorang dosen IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa JBM ternyata tidak efektif. Bahkan JBM berubah menjadi Jam Belajar Menonton Televisi (JBMT). Artinya, kebanyakan masyarakat justru menonton televisi jada jam itu, meskipun ada larangan (Nurudin, 1997:63).

Niat untuk memberikan peringatan masyarakat seperti yang dilakukan di kota Solo dan Yogyakarta tersebut memang baik. Tetapi, himbauan untuk mematikan televisi -- yang sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat -- juga tidaklah gampang dilaksanakan. Sebab ada banyak variabel yang ikut memengaruhinya.

Sebenarnya, orang tua juga tidak kalah cerewetnya untuk melarang anak-anaknya menonton televisi. Alasannya, televisi kita saat ini disesaki dengan tayangan-tayangan sinetron dan hiburan lain yang tidak mencerdaskan. Anehnya, tema tayangan seperti sinetron hampir seragam; kalau tidak urusan cinta, atau konflik orang tua dengan anak, ya persoalan hamil di luar nikah. Yang berbahaya, seolah-olah tayangan televisi itu dianggap masyarakat sebagai kejadian yang sebenarnya.

Diperlukan Diet Media
Anak-anak memang sangat rentan terhadap pengaruh media. Namun, tidak semua anak-anak bisa terpengaruh. Menurut Teresa Orange dan Louise O’Flynn dalam bukunya The Media Diet for Kids (2007), ditemukan bahwa ada beberapa tipe anak yang gampang terpengaruh media. Misalnya, tipe anak yang suka bersolek atau memperhatikan penampilan, anak yang sedang bingung, anak yang tak punya teman untuk bermain atau merasa minder. Semua jenis tipe anak tersebut sangat mudah terpengaruh media, terutama televisi.

Bahkan orang tua juga berperan serta membuka peluang anak terpengaruh televisi. Orang tua yang punya waktu sedikit untuk anak-anaknya, anak yang sedang mengalami periode tak tenang (misalnya teror, perceraian dan kematian orang tua), anak yang biasa terkurung dalam rumah, anak yang sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah, orang tua yang kecanduan media, dan anak yang terjepit diantara orang tua yang berpisah berpotensi besar terpengaruh. Dampaknya, anak-anak seperti itu akan punya peluang untuk melampiaskan diri mengonsumsi media hiburan terlalu besar.
Jika kemunculan dampak negatif tayangan televisi itu dibebankan pada orang tua ada beberapa cara yang harus dilakukan mereka. Orange dan O’Flynn (2007) memberikan kiat bahwa tak ada cara ampuh selain orang tua harus selalu mengontrol konsumsi media anak alias melakukan diet ketat media pada anak-anak.

Tak terkecuali, jangan menaruh televisi di kamar anak yang belum berusia 12 tahun. Yang lainnya, jangan biasakan waktu makan dengan menonton televisi, dan jangan biasakan anak menonton televisi sebelum dan sesudah tidur. Dan yang paling penting membuat jadwal dimana keluarga sepakat untuk tidak menonton televisi.

Bagaimana dengan Anjuran itu?
Dengan demikian, anjuran agar masyarakat mematikan televisi pada pukul 18.30-20.30 WIB tidak saja tak efektif tetapi juga akan sulit dilaksanakan. Ada beberapa alasan, pertama, ketergantungan masyarakat pada televisi selama ini sangatlah tinggi. Ini sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Mayoritas pecandu sinetron kita umumnya adalah mereka yang tingkat intelektualnya tidak begitu tinggi. Alasannya, menonton acara-acara seperti itu tidak membutuhkan perangkat kecerdasan tertentu. Asal secara inderawi sempurna. Televisi juga biasanya ditonton hanya untuk hiburan semata. Itu pulalah kenapa acara-acara sinetron dan bentuk hiburan lain ditayangkan pada jam prime time.

Kedua, terkait dengan kebaradaan anak-anak, bisa jadi anak-anak menurut saja keinginan orang tua untuk tidak menonton televisi. Ini disebabkan karena mereka umumnya takut. Coba seandainya anak-anak tidak begitu takut sama mereka atau orang tua tidak ada di rumah, tak ada yang bisa menjamin mereka tidak menonton televisi.
Ketiga, anak-anak tergantung televisi karena orang tua juga pencandu televisi.

Bagaimana mungkin orang tua akan melarang anak-anaknya agar tak menonton “Cinderella (Apakah Cinta Hanyalah Mimpi?)” di SCTV, “Candy” di RCTI, yang disiarkan setiap jam prime time kalau ibunya juga kecanduan pada acara tersebut? Tentu, anak tidak mudah untuk dilarang menonton televisi, bukan?

Yang Perlu Dilakukan
Jika pemerintah kota Solo serius agar anak-anak di kota ini tidak terpengaruh tayangan negatif televisi ada beberapa pilihan yang bisa dijadikan prioritas. Pertama, melakukan kampanye anti televisi. Karena televisi punya dampak negatif yang besar, perlu dilakukan kampanye anti televisi. Langkah ini tak bermaksud melarang masyarakat tak boleh menonton televisi, tetapi bertujuan memberikan penyadaran mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan ceramah, simulasi, atau bentuk-bentuk kampanye yang lain. Tentu saja, jika memang pemeritah kota Solo serius memikirkan dampak negatif tayangan televisi pada anak-anak.

Kedua, investasikan dana untuk media literacy. Ini kegiatan yang tak kalah pentingnya. Kegiatan ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang melek media. Bahwa masyarakat bisa menimbang, memilih acara atau media apa yang berguna bagi dirinya menjadi target penting.

Pasang iklan, spanduk, himbauan, membina lembaga-lembaga non pemerintah untuk teribat aktif sangat baik dilakukan. Tentu saja, ini tidak akan lepas dari dana. Pemerintah kota jelas harus punya keberanian menginvestasikan dananya untuk kegiatan tersebut. Lembaga independen seperti LSM misalnya, perlu didanai untuk melakukan riset yang bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan apa yang baik untuk langkah antisipasi ke depan. Bukankah dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dalam era otonomi daerah ini sudah meningkat tajam?

Ketiga, memberikan social punishment pada televisi. Artinya, masyarakat harus terus dihimbau untuk memboikot televisi. Tentu saja, kegiatan ini tidak mudah dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar sadar akan pengaruh negatif televisi pada anak-anaklah yang berani dan mampu melakukannya. Masalahnya, tidak semua masyarakat mau melakukan boikot pada televisi. Artinya juga, jangan ngomong kalau tidak suka sinetron, tetapi diam-diam menontonya.

Dari kegiatan ini televisi telah terkena hukuman sosial masyarakat. Pemkot jelas punya kepentingan atas hal ini. Program kebijakan terhadap dampak negatif televisi pada anak-anak juga harus mengarah ke situ. Hal yang tak kalah pentingnya adalah mengajak anggota DPRD untuk ikut ambil bagian dalam program tersebut. Bukankah mereka wakil rakyat yang tugasnya melindungi masyarakat (termasuk dampak negatif tayangan televisi)? Inilah beberapa catatan yang layak direnungkan. Yang jelas, jangan sampai ada anggapan masyarakat, bahwa pelarangan itu dilakukan karena Pemkot punya kepentingan teselubung dibaliknya.
Readmore »»

Meluasnya Kejahatan Sosial di TV

Beberapa waktu lalu, Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi menyoroti televisi yang dinilai berlebihan dalam menayangkan gambar kasus video porno anggota DPR Yahya Zaini (YZ) dengan penyanyi dangdut Maria Eva (ME). Di mata Hasyim, penayangan gambar tanpa pakaian terus-menerus merupakan kejahatan publisistik dan kekejaman keji terhadap keluarga yang bersangkutan serta mendidik sangat buruk pada anak-anak yang menontonnya di seluruh Indonesia. Tindakan YZ memang merupakan kesalahan terbatas, sedangkan penayangan berlebihan itu merupakan kejahatan sosial yang meluas.
Dalam beberapa tayangan infotainment, televisi menayangkan adegan tersebut berulang-ulang. Bisa dipahami kalau televisi ingin menyajikan realitas sesungguhnya dari apa yang terjadi. Intinya, televisi ingin objektif dalam mengungkapkan sebuah fakta yang terjadi meskipun kenyataannya justru sebaliknya.


Kebenaran dan Fiksi
Namun demikian, dan ini diakui oleh Louis Alvin Day dalam bukunya Ethics in media Communications (2003), sungguh tidak mudah bagi televisi untuk membedakan antara kebenaran (baca: fakta) dan fiksi dalam tayangannya. Dalam kenyatannya, televisi di Indonesia mencampuradukkan antara fakta dan fiksi tersebut. Pernyataan yang dibacakan oleh narator atau pembawa acara seringkali “menuduh” pihak tertentu dan mengarahkan pembaca untuk setuju dan tidak setuju terhadap realitas yang disajikannya. Meskipun, mereka merasa hanya sekadar memberikan ilustrasi dari apa yang disajikan. Kata-kata seperti “sungguh tragis”, “sayangnya”, “tidak disangka” dan sebagainya menjadi contoh kongkrit keberpihakan tersebut.

Jika kita melihat lebih jauh, karena orang-orang yang terlibat dalam acara infotainment itu tidak banyak yang berlatarbelakang jurnalistik. Dampaknya, mereka memproduksi acara yang penting penonton. Yang berlatarbelakng jurnalistik saja belum tentu bisa mempengaruhi bahwa berita seharusnya menampilkan fakta-fakta detail yang disajikan tanpa bermaksud menggiring pembacanya. Dalam hal ini kekuasaan produser sedemikian kuatnya.

Dalam kasus poligami yang dilakukan Aa Gym media massa telah berhasil memojokkan kiai itu dan mempengaruhi opini masyarakat untuk memprotesnya. Tidak salah memang, tetapi haruskah sepihak dalam memberitakan? Ini lepas dari setuju dan tidak setujunya terhadap poligami.
Maka, media tidak akan merasa bersalah dalam menayangkan “adegan bugil” YZ-ME yang diulang-ulang dalam acara infotainment di televisi kita akhir-akhir ini. Satu sebabnya, antara fakta dan fiksi sudah dicampuradukkan. Fakta tanpa fiksi memang kering, tetapi fiksi yang dicampuradukan dengan fakta menjadi kejahatan sosial. Sebab audience sangat sulit membedakan mana fakta dan mana fiksi.

Objektivitas
Membicarakan antara fakta dan fiksi kita perlu juga mempertanyakan, bagaimana dengan objektivitas tayangan televisi yang sudah seperti itu? Dalam beberrapa kasus, televisi itu jelas telah melanggar objektivitas tayangan. Infotainmet bukan tayangan film atau sinetron yang tidak perlu berpegang teguh pada objektivitas.

Westerstahl (McQuail, 2000), pernah meyodorkan bahwa yang dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.
Dengan demikian, informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata.

Jika kita melihat tayangan infotainment di televisi, dengan memakai kriteria objektif yang diajukan Westerstahl di atas, maka kita akan mengatakan tiadanya objektivitas atas sesuatu yang diberitakan.

Tentu saja, objektivitas di sini tak hanya sekadar ada fakta saja. Fakta telanjang bisa jadi justru berdampak buruk atas diri pemirsanya. Memang, setiap kejahatan dan tindak asusila perlu diungkap agar dampaknya lebih baik di masa yang akan datang. Tetapi, mengungkap sesuatu atas dasar ikatan emosional juga bukan tindakan yang bijaksana. Ini bukan masalah membela salah satu pihak, tetapi, mencoba mendudukkan bagaimana media massa kita perlu bersikap proporsional dalam memberitakan suatu kejadian.
Akibat pemberitaan yang tidak proporsional itu pula, ketidakadilan di masyarakat terjadi. Misalnya, mengapa masyarakat sangat memprotes Aa Gym yang nikah secara sah, disetujui istrinya dan memakai dananya sendiri sementara kasus yang menimpa YZ-ME yang dianggap “selingkuh”, tanpa persetujuan istrinya, memakai uang rakyat dibiarkan begitu rupa? Bukankah ini tindakan yang tidak adil dari masyarakat atas tayangan yang selama ini diberitakan? Bagaimana enerji kita begitu terkuras hanya mengurusi masalah poligami sementara korupsi yang menimpa anggota DPR dan jajaran pemerintah sering luput dari pengamatan kita?

Social Punishment
Mengapa tayangan infotainment televisi selama ini mengkhawatirkan? Sebab, televisi itu diciptakan untuk menghibur saja. Masyarakat menikmati acara televisi kebanyakan untuk mencari hiburan dan bukan yang lainnya. Mereka tidak begitu peduli apakah yang disajikan televisi itu fakta atau fakta yang “dibumbui” fiksi. Itulah realitas hiburan televisi kita. Bahkan Neil Postman pernah menyindir “televisi menghibur diri sampai mati”.

Memprotes televisi bukan berarti benci pada tayangannya. Namun demikian, tanpa pengelolaan yang bijak, televisi justru akan semakin memperburuk keadaan masyarakat. Memang memprotes televisi yang saat ini sudah menjadi “kebutuhan dasar” masyarakat tidak pada tempatnya, tetapi membiarkannya begitu saja juga bukan tindakan yang bijak. Memprotes pengelola televisi tak ubahnya seperti informasi yang masuk ke telinga kanan, keluar di telinga kiri. Sementara, memperotes pemerintah agar bertindak tegas sering dituduh melanggar kebebasan pers. Pemerintah sering berlindung di balik kebebasan pers untuk mengelak dari tuduhan tak peduli dengan keluhan masyarakat itu.

Lalu apa tindakan yang harus dilakukan karena televisi kenyataannya sudah seperti itu? Tindakan yang lebih konkrit adalah melakukan social punishment (hukuman sosial). Hukuman sosial ini memang menekankan pada kekuatan individu dalam mewujudkannya. Artinya, tanpa inisiatif pribadi, hukuman sosial itu tidak ada gunanya.
Misalnya, kalau kita tidak suka dengan acara infotainment tidak perlu menontonnya. Atau, matikan saja televisi. Melakukan hukuman sosial juga perlu kejujuran. Misalnya, bukan perilaku jujur jika kita sering memprotes acara itu, tetapi justru kita sendiri menontonnya. Ini artinya, kita tidak jujur.

Cara seperti itu juga untuk mendidik masyarakat untuk bersikap dewasa, bijak, konsisten dan kritis terhadap acara-acara televisi. Artinya, jika kita tidak suka terhadap suatu acara, kita tak perlu menontonnya. Atau sudah sanggupkan kita melakukan boikot pada acara-acara televisi?
Readmore »»

Televisi, dan Runtuhnya Budaya Baca

Dua hal yang bertolak belakang tengah terjadi di Indonesia yakni, televisi berkembang dengan pesat sementara pendidikan belum berkembang, untuk tak mengatakan stagnan. Mengapa masyarakat kita lebih senang melihat televisi dan enggan untuk membaca buku, koran, majalah atau bentuk cetakan lain?

Oleh karena itu, asumsi yang diajukan dalam artikel ini adalah bahwa televisi menjadi salah satu penyebab rusaknya budaya baca di masyarakat. Jika diteruskan asumsi ini, bisa dikatakan bahwa usaha untuk mengentaskan “keterpurukan” masyarakat mau tidak mau akan mengalami keterlambatan jika budaya baca tidak bisa dipelihara.

Tentu saja, asumsi awal ini tidak bermaksud mengkerdilkan peran televisi dalam menciptakan kemajuan masyarakat. Tentunya, televisi bukan satu-satunya “kambing hitam” yang tertuduh. Tetapi, perkembangan televisi juga tidak akan lepas dari kekurangan yang melekat, salah satunya menurunnya budaya baca.

Perkembangan televisi telah menciptakan masyarakat budaya dengar dan lihat. Ini berarti, televisi sulit menciptakan budaya baca. Artinya, jika kita berbicara tentang budaya baca, maka televisi akan menjadi tertuduh. Perkembangan televisi telah mengantarkan masyarakat untuk terus memupuk budaya lihat dan bukan budaya baca.
Coba saja kita amati dalam sebuah keluarga. Sebuah keluarga akan menikmati televisi untuk hiburan. Bagaimana tidak, televisi bisa mempererat hubungan orang tua dengan anak atau antar saudara. Mereka bisa menikmati bersama di waktu malam hari setelah semua anggota keluarga itu berkumpul (anak sudah pulang sekolah, orang tua sudah pulang dari kerja).

Itu pulalah kenapa, acara-acara hiburan seperti sinetron biasa ditempatkan pada jam prime time (jam 7 sampai 9 malam). Jarang ada acara yang “serius” ditempatkan pada rentang jam ini. Ini pulalah kenapa jam ini harga spot iklan mencapai puluhan juta rupiah.

***
Dalam realitasnya, televisi itu memformat fungsi hiburan lebih besar dari pada fungsi-fungsi yang lain. Itu pulalah kenapa, televisi tidak akan diminati masyarakat kalau tidak bisa menghibur.

Kita bisa ambil contoh Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada awal berdirinya. Bagaimana mungkin televisi itu mau hidup (padahal pemasukan untuk pengelolaan biasanya dari iklan) kalau hanya membuat acara-acara pendidikan? Siapa yang mau menonton acara pendidikan pada jam 8 padi sampai jam 12 siang? Guru mengajar di kelas, sementara anak-anak sekolah. Maka, TPI (pendidikan) berubah menjadi TPI (umum). AN-Teve awalnya hanya menampilkan musik untuk anak-anak muda, akhirnya harus menjadi televisi umum pula.

Televisi mana yang tidak tergiur dengan acara Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang memberikan keuntungan 1 milyar bersih untuk Indosiar sekali tayang hanya dari kiriman Short Message Service (SMS? Ini belum termasuk iklan. Maka, mewabahlah acara-acara model AFI. Sebut saja KDI (TPI), Indonesian Idol (RCTI), Kontes Cantik Indonesia (Trans TV), AFI Yunior (Indosiar), Polling Capres dan semacamnya yang menggunakan fasilitas SMS. Semua acara ini meletakkan fungsi hiburan dalam posisi yang paling tinggi.

Dampaknya kemudian menciptakan generasi instan. Menjadi bintang tidak perlu bertahun-tahun (belajar dari pengalaman, membaca buku pengetahuan), cukup lewat acara-acara seperti itu. Kondisi ini tentu saja akan membuat para remaja untuk berlomba-lomba menjadi “orang terkenal”, bukan lewat kecerdasan tetapi cukup bisa menyanyi, dan punya penampilan yang lumayan.

Apa dampaknya bagi masyarakat? Masyarakat kita tentu saja akan terbawa pada budaya-budaya instan akibat tayangan di televisi. Masyarakat kita tidak diarahkan untuk berpikir kritis. Padahal pemikiran kritis lebih banyak bisa diperoleh karena bacaan buku. Dengan kata lain, banyak menonton televisi akan mengurangi sikap kritis masyarakat.

Padahal sikap kritis dan kecerdasan sangat dibutuhkan dalam upaya untuk segera mengatasi multi krisis yang tengah melanda bangsa ini. Buku-buku “kiri” yang sempat menjadi popular, saat ini sudah “sekarat”. Disamping kebosanan masyarakat, saat ini buku-buku itu sudah tidak menjadi idola lagi. Justru buku-buku seks yang sedang menjadi idola. Maraknya buku seks ini secara langsung atau tidak berkait erat dengan keberadaan televisi.

Melihat kenyataan yang seperti itu, tak ada cara lain untuk menumbuhkan daya kritis kecuali dengan cara mengurangi menonton televisi. Tentu saja, menyalahkan televisi juga bukan tindakan yang bijaksana. Melarang masyarakat menonton televisi juga tidak kalah tak bijaksananya.

Namun, televisi adalah “cucu kandung” kapitalisme dunia. Kemunculannya sebuah keniscayaan yang sulit dihindari. Dia diciptakan apalagi kalau bukan mencari keuntungan.

Mengurangi menonton televisi ini penting mengingat televisi itu hanya memfungsikan hiburan dalam porsi yang kelewat besar. Bahkan seperti yang dikatakan William Stephenson, kodrat televisi itu adalah menghibur.

Dengan kata lain, masyarakat menikmati acara televisi karena menghibur. Maka, pihak televisi hanya mau membuat acara yang menghibur. Sebab, acara itulah yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Bahkan Neil Postman pernah berujar bahwa televisi itu menghibur diri sampai mati. Nah sekarang, sudah sanggupkan kita menekan untuk tak menonton televisi? Atau sudah siapkan kita mematikan televisi? Nyata bahwa televisi telah merusak budaya kita bukan sesuatu yang mengada-ada.
Readmore »»

Pilih Mana, KUHP atau UU Pokok Pers?

Beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Mohammad Nuh, pernah mengatakan bahwa pemerintah sedang menyiapkan revisi terhadap Undang-Undang Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Menurutnya, dalam konsep rancangannya tak ada pasal yang menyebut pembredelan. Bahwa kebebasan pers itu harus dikawal. Makanya, kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab.

Sementara itu, dalam berbagai kesempatan, penolakan terhadap revisi UU Pokok Pers juga tak kalah gencarnya. Berbagai seminar yang pernah diadakan di Semarang dan Jakarta mengarah pada upaya penolakan itu. Bahkan ketika saya mengikuti acara “Konferensi dan Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnalisme di Indonesia: Tantangan dan Kompetensi” di Yogyakarta tahun 2007 usaha untuk mempengaruhi peserta agar menolak revisi UU Pokok Pers tidak kalah kuatnya.

Yang menjadi permasalahan kita adalah mengapa pemerintan bersikeras untuk melakukan revisi UU Pokok Pers? Mengapa pula kalangan pers menolak revisi UU tersebut? Apa yang perlu dilakukan kaitannya dengan pro dan kontra soal itu?

Kalangan yang menganggap bahwa UU Pokok Pers harus direvisi adalah; (1) pers saat ini sudah dianggap melanggar prinsip kebebasan pers, (2) munculnya pornografi dan pornoaksi yang tak terkendali, (3) media terlalu mencampuri urusan privat seseorang, (4) pers telah ikut menyulut konflik antar etnis.

Sementara itu, kekhawatiran kalangan pers adalah; (1) pers curiga, evisi itu hanya akal-akalan pemerintah untuk mengontrol pers, (2) UU Pokok Pers selama ini sudah menjamin kebebasan mendapatkan dan menyiarkan informasi.

Antara KUHP dan UU Pokok Pers
Satu persoalan rumit yang menyertai UU Pokok Pers adalah aplikasinya. Ternyata, UU Pokok Pers seringkali tidak dipakai untuk menyelesaikan kasus-kasus yang menimpa berita pers. Tidak jarang, kasus yang berkait dengan pemberitaan diselesaikan dengan KUHP. Sementara itu, ada kasus lain yang diselesaikan dengan UU Pokok Pers. Jadi sudah terkesan plin-plan dalam penerapannya. Kasus majalah Play Boy Vs FPI diselesaikan dengan UU Pokok Pers, sementara kasus Tomy Winata Vs Majalah Tempo diselesaikan dengan KUHP.

Kita bisa ambil contoh kasus Tomy Winata melawan majalah Tempo. Majalah berita Mingguan Berita Tempo edisi 3-9 Maret 2003 di halaman 31 memuat tulisan berjudul “Ada Tomy di Tenabang?”. Berita tersebut berkaitan dengan peristiwa kebakaran di Pasar Tanah Abang pada tanggal 19 Februari 2003. Majalah Tempo melakukan investigasi dan menemukan rumor bahwa kebakaran ini disengaja terkait dengan rencana Pemerintah daerah jakarta untuk membangun kembali menjadi pasar yang lebih modern. Rumor itu kemudian dikaitkan dengan nama Tomy Winata (pengusaha dan pemilik Bank Artha Graha).
Atas pemberitaan itu, Tomy melalui pengacaranya mengajukan tuntutan perdata maupun pidana terhadap Tempo. Pemberitaan ini dianggap mencermarkan nama baik Tomy Winata.

Tempo dituduh telah melanggar KUHP dengan mengajukan tuntutan 100 milyar sebagai kerugian material dan 100 milyar pula sebaga kerugian immaterial. Tidak itu saja, tergugat diwajibkan melakukan permohonan maaf secara terbuka kepada penggugat melalui media elektronik maupun cetak.

Disinilah kemudian terjadi silang pendapat. Pihak Tomy memakai KUHP sebagai dasar pijakan gugatan, sementara pihak tergugat memakai UU Pokok Pers sebagai dasar alasan menjawab penggugat. Tergugat mengungkapkan, berdasarkan UU Pokok Pers no. 40 tahun 1999, apabila ada pihak yang merasa dirugikan harus menggunakan mekanisme UU itu yakni menggunakan hak jawab (Pasal 1 ayat 11) dan/atau dengan cara melaporkan pers tersebut ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat 2 butir d).

Kasus tersebut juga hampir sama dengan Tomy melawan Koran Tempo. Koran Tempo edisi 6 Februari 2003 memuat tulisan berjudul “Gubernur Ali Mazi Bantah Tomy Winata Buka Usaha Judi”. Di dalam berita tersebut termuat juga berita kecil dan diberikan box dengan judul “Dari Edi Tansil Sampai Zarima”. Tomy Winata merasa dicemarkan nama baiknya. Kasus ini dilaporkan dengan memakai KUHPerdata yakni pelanggaran pasal 1365 KUHP dan 1372 KUHPerdata. Pihak tergugat menggunakan UU Pokok Pers sebagai dasar hukum pembelaannya.

Lepas dari siapa yang menang atau kalah, dua kasus di atas memperlihatkan pada kita betapa ada ketumpangtindihan antara masuk wilayah KUHP/Perdata atau wilayah UU Pokok Pers berkaitan dengan kasus pemberitaan pers. Memang, pers tetap harus dihukum jika memang punya kesalahan. Dimanapun pers jika terbukti bersalah layak dihakimi dan diberikan sanksi. Pers bukan lembaga yang bebas dari kesalahan karenanya bebas pula dari segala hukuman. Namun yang menjadi permasalahannya adalah, penggunaan aturan sebagai dasar pemutusan perkara masih simpang siur. Pers, merasa setiap kasus harus diselesaikan UU Pokok Pers, sementara pihak di luar pers mengatakan bahwa pers juga bisa dihakimi dengan KUHP/Perdata jika sudah menyangkut pidana atau perdata.

Dasar Hukum Tepat
Ada benang merah yang bisa ditarik dari pro kontra revisi UU Pokok Pers, pertama, kebebasan pers memang harus dijamin di dalam sebuah negara. Hanya dengan kebebasan pers, pemerintahan bisa berjalan lebih demokratis. Karenanya, kebebasan pers harus dijamin oleh Undang-Undang.

Kedua, pers adalah lembaga di bawah negara. Pers sama dengan manusia pada umumnya. Jika ia terbukti bersalah tak ada alasan untuk menghindar dan membenarkan segala tindakannya. Apa jadinya jika pers bertindak di luar kontrol hukum yang sudah ada di Indonesia. Masalahnya, acuan pelaksanaan hukum seringkali berat sebelah. Pers ingin segala persoalan yang menyangkut pemberitaannya diselesaikan dengan UU Pokok Pers. Sementara itu ada beberapa hal yang belum tersentuh UU Pokok Pers.

Di sinilah dibutuhkan saling pemahaman antara pihak yang setuju dengan yang tidak terkait dengan revisi UU Pokok Pers. Jadi, jangan sampai penyelesaian kasus pers diselesaikan dengan dasar hukum yang tidak tepat dan hanya sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak.
Readmore »»

Republik Mimpi Vs Sofyan Djalil

Kebebasan pers bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menciptakan masyarakat yang bebas. Cakupan dan hakikat jaminan konstitusional terhadap kebebasan pers harus dipahami dalam karangka ini (Felix Frankfurter)

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Djalil berencana akan mensomasi acara News Dot Com di Metro TV setiap hari Minggu yang menceritakan sebuah “Republik Mimpi”. Di mata menteri, tayangan parodi model seperti itu dianggap melecehkan tokoh nasional.
Bahkan secara terang-terangan Sofyan Djalil lebih suka melhiat acara Tukul Arwana dalam acara Empat Mata di Trans7 dibanding Republik Mimpi. Alasannya, Republik Mimpi tidak memberikan pendidikan politik yang bagus ke masyarakat. Padahal acara berita yang diformat dalam parodi tersebut pernah mendapat penghargaan sebagai acara talk show terbaik di Asia ketika masih ada di Indosiar dengan nama Republik BBM.

Kegalauan Pembantu Presiden
Sebagai Menkominfo era presiden SBY, Sofyan Djalil sudah melakukan beberapa kebijakan komunikasi. Tetapi, beberapa kebijakan yang dikeluarkan terkesan “hangat-hangat tahi ayam”. Sebut saja misalnya Peraturan Menkominfo Nomor II/P/M.Kominfo/7/2005 yang mewajibkan penyelenggaran siaran di Indonesia untuk menutup siaran setiap hari mulai pukul 01.00 sampai 06.00 waktu setempat. Peraturan itu hanya berlaku beberapa saat saja.

Tak terkecuali, kebijakan tentang keharusan pendaftaran kartu pra bayar. Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) pernah mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 23/Kominfo/M/10/2005 tentang Kewajiban Registrasi Pengguna Kartu Pra Bayar dan Pasca Bayar. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, maka semua pengguna kartu harus melakukan registrasi mulai pertengahan Desember 2005 sampai 28 April 2006. Jika tidak didaftarkan, nomor itu akan dinonaktifkan. Namun kenyataannya, ketika ada nomer yang tidak didaftarkan juga tidak dikenai sanksi tegas apa-apa.

Kebijakan yang dikeluarkan Menkominfo selama ini terkesan tidak menyeluruh dan hanya untuk kepentingan sesaat. Oleh karena itu, somasi terhadap tayangan News Dot Com yang akan dilakukan pun bisa jadi tidak jauh berbeda.

Pak Menteri hanya merasa bahwa parodi yang ada dalam acara Republik Mimpi dianggap menghina tokoh nasional. Padahal tokoh-tokoh nasional yang diparodikan pun belum tentu tersinggung dengan acara tersebut. Djalil bisa jadi karena ketakukan atau kepatuhan dirinya pada SBY terlalu besar, untuk tak mengatakan “mencari muka”. Acara itu jika diteruskan akan merusak reputasi presiden, yang dampaknya Menkominfo akan kena getahnya pula. Kekhawatiran pak Menteri ini bisa jadi terlalu berlebihan.

Kita juga perlu tahu bahwa sebuah acara yang dilarang akhirnya akan menimbulkan perlawanan-perlawanan. Termasuk perlawanan dengan memunculkan acara-acara yang serupa dengan format yang berbeda. Melihat keseragaman acara di televisi selama ini, jika News Dot Com hilang, saya yakin akan muncul acara model seperti itu di lain waktu. Sebab, kenyataannya acara News Dot Com memang banyak digemari masyarakat.

Belajar dari Kasus Lain
Ada baiknya, Sofyan Djalil perlu belajar dengan legenda presiden Amerika yakni Abraham Lincoln. Lincoln adalah presiden yang tidak terlalu kaku dalam menanggapi setiap kritikan media yang dialamatkan kepadanya. Bahkan dengan caranya sendiri, media atau orang di balik media tersebut tunduk dengan sendirinya, bahkan tidak dengan jalan “melawan”.

Lincoln sangat peka terhadap para editor besar yang berpengaruh. Horace Greely dari Tribune di New York adalah wartawan yang paling kritis, dan terhadapnya Lincoln berusaha lebih sabar. Suatu ketika ada yang bertanya mengapa ia begitu sabar terhadap Greely yang tidak sabaran. Setelah menarik napas panjangn Lincoln menjawab: “Rasanya saya tidak bisa mengeluhkan hal itu. Ia berada di dekat saya paling tidak empat hari dalam seminggu” (Rivers, et.tal, 2004).

Apalagi News Dot Com dilihat dari sajian materi-materinya jelas bukan parodi yang “membodohi”. Ia parodi cerdas yang memang hanya bisa dipahami oleh orang-orang cerdas. Sebab, untuk melihat acara seperti itu dibutuhkan perangkat pengetahuan yang cukup. Dan ini tidak bisa dilakukan oleh masyarakat kebanyakan.

Jika Sofyan Djalil membandingkan dengan acara Tukul Arwana, memang acara ini banyak penggemarnya, tetapi jika kita mau jujur saja, tidak ada informasi berguna untuk pencerdasan masyarakat. Bahkan pertanyaan yang diajukan Tukul asal dikatakan. Orang yang menonton acara ini murni membutuhkan hiburan dan tidak memerlukan perangkat pengetahuan yang cukup. Yang penting bisa ikut ketawa karena keluguan Tukul dan eksploitasi terhadap bintang tamu yang diundang.

Sementara itu, acara News Dot Com berisi informasi-informasi terkini peristiwa yang selama ini terjadi. Jadi, disamping menyaksikan acara hiburan, penonton juga bisa mendapatkan informasi pengetahuan yang lain. Acara ini juga melatih masyarakat untuk cerdas karena ada gesekan-gesekan pembicaraan yang mempersuasi penonton atau pejabat yang dijadikan bahan kritikan.

Kontraproduktif
Selama ini, televisi dikritik karena hanya menyuguhkan hiburan semata. Neil Postman bahkan pernah mengatakan, televisi menghibur diri sampai mati. Ini sebuah sindiran paling dalam terhadap dunia televisi.

Apa jadinya kalau sajian acara yang ditayangkan televisi melulu hiburan? Masyarakat menjadi tidak cerdas, dan berbagai perubahan masyarakat akan berjalan linear. Tentu saja, acara televisi yang memberikan kritik pada pemerintah selalu membuat gerah pejabat yang dijadikan bahan kritikan. Tetapi, di sisi lain itu justru menjadi hiburan segar bagi masyarakat. Seseorang yang menjadi pejabat harus siap dijadikan sasaran kritik, dimanapun dan kapanpun. Itu penting dilakukan agar tidak terjadi stagnasi perubahan di masyarakat. Pejabat yang mempunyai pikiran bahwa kritikan menjadi penghambat bukan tipe pejabat yang mengabdi pada masyarakat tetapi mengabdi pada kekuasaan.

Apa yang menjadi kegalauan Menkominfo bisa dipahami. Somasi perlu disambut dengan baik karena ini memang hak warga negara. Tentu saja, sangat disayangkan jika somasi tersebut orientasinya untuk menggagalkan acara parodi berita yang paling populer itu.. Jelas, pemberangusan acara media disamping tidak simpatik untuk saat ini menjadi sinyal kuat kita tidak memahami hakikat kebebasan pers dan masih rendahnya pengetahuan kita tentang masalah-masalah kemasyarakatan dan kebangsaan.
Readmore »»

Kontradiksi Registrasi Kartu Pra dan Pasca Bayar

Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 23/Kominfo/M/10/2005 tentang Kewajiban Registrasi Pengguna Kartu Pra Bayar dan Pasca Bayar. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, maka semua pengguna kartu harus melakukan registrasi mulai pertengahan Desember 2005 sampai 28 April 2006. Jika tidak didaftarkan, nomor itu akan dinonaktifkan.
Ide Menkominfo tersebut dilatarbelakangi oleh kecurigaan bahwa jaringan terorisme dan perilaku kekerasan di Indonesia memakai bantuan teknologi telepon seluler tersebut. Pemerintah tentu berharap, dengan registrasi kartu maka setiap gerak-gerik terorisme mudah terdeteksi. Tetapi semudah itukah?
Keputusan Menkominfo tentang registrasi karta pra dan pasca bayar jelas menimbulkan kontradiksi dan kesulitan dalam pelaksanaannya. Tentu saja kita setuju dan sepakat bahwa tindak kekerasan di masyarakat (salah satunya terorisme) perlu diberantas. Tetapi dengan mengorbankan kebebasan memperoleh informasi dari masyarakat bukan tindakan yang lebih bijak.
Neo Orba
Menkominfo didirikan atas desakan masyarakat untuk menghidupkan kembali Departemen Penerangan (Deppen) yang pernah dituduh sebagai lembaga yang tidak adil dan selalu mencampuri urusan memperoleh informasi di era presiden Abdurrahman Wahid. Presiden yang sering disapa Gus Dur ini menengarai bahwa Deppen sekadar “monster “ penghambat kebebasan memperoleh informasi masyarakat. Maka tak ada pilihan lain kecuali membubarkannya.
Bagaimana tidak, Deppen bertindak sebagai pemberi izin setiap kebijakan yang berkaitan dengan pers di era Orde Baru (Orba). Semua izin harus sepengatahuan Menteri Penerangan (Menpen) waktu itu. Di sini tak jarang terjadi kesepakatan politis.
Menpen juga orang yang bertanggung jawab atas pembatalan SIUPP beberapa penerbitan di era Orba. Meskipun pembatalan hanya dimungkinkan jika sudah mendapat “restu” Dewan Pers (DP), tetapi DP diketuai sendiri oleh Menpen. Jadi Menpen meminta nasihat pada ketua DP. Dengan kata lain, ia meminta nasihat pada dirinya sendiri. Cukup aneh bukan? (lihat pasal 7 ayat 1 Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 1984).
Dari sinilah kemudian Gus Dur perlu untuk membekukan Deppen. Sebagai gantinya, dikeluarkanlah Keputusan Presiden no. 153/1999 tentang Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) yang mempunyai fungsi (dalam Bab I pasal 3) sebagai berikut; (a) penetapan kebijakan di bidang pelayanan informasi dan komunikasi nasional sesuai kebijakan umum yang dite­tapkan presiden; (b) pelayanan informasi dan komunikasi kepada masyarakat; (c) pemantapan terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat di bidang pelayanan informasi dan komunikasi nasion­al; (d) pengkoordinasian kegiatan di lingkungan Badan Informasi dan Komunikasi Nasional; dan (e) pengelolaan sumber daya bagi terlaksananya tugas Badan Koordinasi Informasi dan Komunikasi Nasional secara berdaya guna dan berhasil guna. Dari fungsinya, BIKN lebih sekadar lembaga pelayanan informasi dan bukan lembaga kekuasaan. Hanya karena ambisi sekelompok orang karena kepentingannya tidak tersalurkan lagi dibentukah Menkominfo.
Dalam pelaksanaannya, ternyata Menkominfo tidak jauh berbeda dengan Menpen era Orba. Bahkan lembaga ini berusaha ikut mengatur arus informasi dengan alasan kebebasan pers sudah kelewat batas. Atau lihat pula kebijakan pembatasan siaran televisi pada malam hari melalui Peraturan Menkominfo Nomor II/P/M.Kominfo/7/2005 setelah muncul “krisis enerji” di Indonesia. Kebijakan ini jelas merugikan masyarakat, padahal kelangkaan enerji itu buah dari kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sementara kalangan televisi lebih memilih aman dengan melaksanakan himbauan Menkominfo dari pada izi siarannya dicabut. Apa yang dilakukan Menkominfo dengan mengeluarkan kebijakan registrasi kartu pra dan pasca bayar membangkitkan kembali gaya kepemimpinan Orba (neo Orba).
Kasus Registrasi Kartu
Kita memahami kegalauan pemerintah atas perilaku terorisme di tanah air. Tetapi, kita juga perlu untuk kritisi kebijakan registrasi kartu pra dan pasca bayar tersebut. Pertama, registrasi kartu jelas tidak saja membatasi masyarakat memperoleh informasi tetapi juga mengancam urusan private individu yang perlu dihormati pula. Masyarakat akan merasa setiap kegiatannya selalu diawasi pemerintah. Ini juga tidak membebaskan mereka yang biasa melakukan transaksi bisnis. Jadi, tidak ada lagi ruang private di negara ini.
Kedua, kebijakan tersebut hanya menguntungkan pemerintah dan merugikan masyarakat. Terorisme muncul karena kebijakan pemerintah selama ini tidak adil, tetapi dampaknya dipikulkan ke pundak masyarakat. Meskipun kita tahu, bahwa masalah terorisme harus diatasi bersama. Masalahnya, pemerintah sangat tegas jika kebijakan itu menguntungkan dirinya dan merugikan masyarakat. Tetapi apakah pemerintah bisa tegas terhadap para koruptor yang tidak saja merugikan negara tetapi juga masyarakat? Bagaimana dengan anggota DPR yang “jalan-jalan” ke luar negeri dengan alasan studi banding, menaikkan gaji bulanan di luar batas kewajaran yang sangat merugikan? Kenapa pula pemerintah menaikkan harga BBM padahal dampaknya begitu dahsyat di masyarakat? Kenapa pemerintah tidak tegas padahal semua itu diprotes oleh masyarakat? Inilah kebijakan yang berat sebelah dan tidak adil itu.
Ketiga, kebijakan tersebut lebih bernuansa politis dari pada kemanfaatan bagi semua pihak. Bisa karena Menkominfo membutuhkan popularitas, atau desakan internasional lewat kebijakan neoliberalisme yang sudah lama merugikan bangsa ini. Jika karena desakan internasional, nyata bahwa pemerintah tidak membela kepentingan masyarakat luas. Keluarnya Kepmenkominfo itu menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya tidak mampu menangani kasus-kasus terorisme dan tindak kekerasan yang muncul. Maunya perilaku itu tidak muncul, tetapi kebijakan yang dikeluarkan sendiri menjadi pemicu munculnya tindak terorisme dan kekerasan lain.
Seperti biasanya, protes masyarakat atas pemberlakuan kebijakan pemerintah bisa jadi akan terus dilakukan, termasuk kebijakan tentang registrasi layanan kartu pra dan pasca bayar tersebut. Namun, bersamaan dengan itu pula, pemerintah biasanya akan terus bersikukuh untuk terus memberlakukannya. Tentu saja, pihak penyedia layanan informasi terpaksa akan menerimanya daripada nanti izinnya ditutup. Sama seperti kasus pemberlakuan “jam malam” pada televisi kita beberapa waktu lalu.
Kalau sudah begini, Depkominfo tak ubahnya dengan Deppen pada zaman Orba yang punya otoritas tertinggi dalam mempengaruhi seluruh kebijakan informasi di Indonesia. Kalau Depkominfo terus ngotot mengeluarkan kebijakan yang tidak popular tersebut, apakah harus menunggu masyarakat menuntut Depkominfo dibubarkan? Sebab, otoritas pembubaran depertemen tidak ada lagi seperti zaman Gus Dur. (artikel ini pernah dipublikasikan harian Solo Pos, 2005). Readmore »»

Virus Pornoaksi di TV

Dalam acara “Clean & Clear British Film Festival 2005, Boys and Girls” di Malang, mantan video jockey MTV Nirina Zubir mengatakan bahwa saat ini tayangan TV kita banyak yang menyorot artis perempuan dari segi fisiknya saja. Itu membuat perempuan harus memenuhi kriteria tubuh tinggi, langsing, rambut hitam panjang terurai, dan kulit putih mulus.
Pernyataan Nirina ini tentu tidak mengada-ada. Coba kita lihat tayangan pada jam prime time (jam 6 sampai 9 malam). Rentang waktu itu kebayakan diisi acara-acara hiburan. Beragam acara tersebut banyak yang mengumbar eksploitasi perempuan, terutama dari sisi fisiknya. Bahkan kalau Anda melihat acara TV pada malam hari, acara-acara yang lebih “vulgar” sudah “bergentayangan”. Bahkan gambar-gambar yang nyaris bugil ditayangkan televisi. Itu belum termasuk pembawa acara yang sengaja menggiring penonton ke arah asosiasi tentang seks.
Contoh kasus adalah “Di Balik Lensa” di ANTV yang menampilkan (dengan alasan) sisi keindahan tubuh perempuan. Ini juga belum termasuk acara-acara lain yang mengungkap pengalaman seks bebas, gaya pacaran remaja kota dan perselingkuhan yang semakin dianggap wajar.
Apa yang menjadi masalah dengan berbagai tayangan tersebut di masyarakat? Tayangan model itu memang tidak bisa diingkari sebagai dampak dari perkembangan media komunikasi kita. TV bukan lagi diformat sebagai media pendidikan dan informasi, tetapi media hiburan. Artinya, fungsi hiburan ditempatkan pada posisi paling tinggi di atas fungsi lainnya.
TV juga tidak berdiri sendiri. Penonton juga melegitimasi TV agar membuat acara model itu. Buktinya, acara-acara sinetron yang di dalamnya mengeksploitasi perempuan justru yang paling digemari. Jadi gayung pun bersambut; pengelola TV ingin acaranya laku, sementara masyarakat membutuhkan hiburan dari TV. Maka, TV pun akan membuat acara-acara yang menghibur. Alasan klasik pun muncul; untuk memenuhi keinginan masyarakat.
Sinetron kita lantas punya isi seragam yang melulu bermuatan konflik orang tua-anak, masalah cinta dan hamil di luar nikah. Bahkan perempuan diposisikan sebagai tokoh yang selalu dimaki-maki, dan tidak jauh-jauh posisinya sebagai korban. Kalau tidak, ia akan dipotret dengan citra perempuan dengan karakter fisik ideal.
Dampak Nyata
Berbagai tayangan yang menjurus pada pornoaksi tersebut tentu saja punya dampak yang tidak ringan. Ada tiga hal yang bisa dilihat. Pertama, di pihak TV akan merasa punya legitimasi kuat bahwa mereka membuat acara yang berbau pornoaksi seperti itu karena masyarakat memang membutuhkan. Padahal ini hanya alasan untuk menutupi kepentingan kapitalis di balik itu semua. Pembuat acara itu juga bisa menikmati lekak-lekuk tubuh perempuan yang dijadikan sasaran.
Kedua, masyarakat akan mudah meniru sikap dan perilaku apa yang ditonton di TV. Masyarakat akan menganggap bahwa apa yang tersaji dalam TV itulah kenyataan yang sebenarnya. Bahwa mereka lebih percaya pada tayangan TV daripada kenyataan yang sebenarnya sangat beralasan.
Ketiga, bagi para perempuan yang mempunyai “kriteria ideal perempuan modern” akan menganggap tayangan pornoaksi itulah potret seharusnya juga terjadi pada dirinya saat ini. Mereka akan berlomba-lomba untuk meniru. Bagaimana tidak tertarik? TV mampu menjadikan semua menjadi instan. Ingin terkenal tidak usah berusaha keras atau berpendidikan tinggi, tetapi cukup dengan penampilan seadanya, didukung oleh bodi yang lumayan dan dibuat citra modern lalu masuk TV, jadilan ia terkenal. Tidak peduli apakah, perilakunya itu ditentang masyarakat atau tidak.
Lihat saja tahun 80-an sampai 90-an banyak artis Indonesia yang ingin terkenal secara instan dengan menerjuni film-film “panas”. Banyak diantara mereka awalnya artis-artis figuran. Kemudian mendapat tempat utama, setelah kaya dan banyak tawaran mereka kemudian bertobat. Lihat artis-artis seperti Taffana Dewi, Lela Anggraini, Sally Marcellina, Ayu Azhari, dan lain-lain. Itu tentu saja setelah semua yang ingin dicapainya terpenuhi; kaya, dan terkenal.
Fenomena munculnya Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Penghuni Terakhir, Kontes Dangdut Indonesia (KDI) menjadi salah satu bagian kecil bagaimana TV menciptakan generasi instan. Dan acara-acara itulah yang justru digemari dan diikuti oleh remaja yang ingin terkenal secara cepat.
Jadi, pornoaksi tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi ia telah memperoleh pembenaran media modern. Bahwa pornoaksi adalah gaya hidup masyarakat modern yang membuat banyak orang ingin menirunya. Readmore »»

Media, The Extension of Political Party

Beberapa partai politik (parpol) merasa perlu untuk melakukan “curhat” ke Malang Post (21/12). Inilah kegiatan cerdas pimpinan parpol dalam menyongsong Pemilu 2004. Yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa pimpinan parpol tersebut merasa perlu melakukan “curhat” kepada media? Inilah pertanyaaan yang lebih penting untuk dijawab lebih dari sekadar “curhat” parpol-parpol itu. Sangat mungkin, baru kali ini parpol menyadari akan arti pentingnya media massa (pers). Jika parpol tahu akan arti pentingnya kehadiran media, bukan tidak mungkin, kegiatan seperti itu sudah dilakukan parpol jauh hari sebelumnya.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa media itu punya kekuatan, jauh melebihi kemampuan manusia. Akan kekuatan media sampai-sampai Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “Jika media dibiarkan saja, saya tidak akan bisa berkuasa lebih dari tiga bulan”. Pendapat ini mendudukkan bahwa media dipandang sebagai kekuatan yang bisa mempengaruhi arah kebijakan dan ambisi Napoleon tersebut. Lebih dari itu, media massa menjadi satu-satunya indikator bisa langgengnya kekuasaan dirinya atau tidak.

Mengapa harus media? Sebab, meminjam istilah Marshall McLuhan, media adalah the extension of man (perluasan atau kepanjangtanganan manusia). Media itu lebih dari sekedar manusia. Jika manusia bisa bicara, media juga bisa melakukannya. Jika manusia mampu mempengaruhi orang lain, media lebih dari itu. Termasuk jika media kuat dalam menyebarkan pesan-pesan kepada publik, media lebih luas dari yang bisa dilakukan manusia.

Ambil contoh gampangnya begini. Jika Anda ingin menjadi orang terkenal hubungilah media. Misalnya, Anda ingin menjadi penjahat terkenal. Coba rampok rumah orang kaya, lalu beritahu wartawan. Dalam waktu singkat nama Anda akan terkenal di masyarakat. Itu pulalah kenapa banyak artis yang cepat terkenal karena kemampuannya berhubungan dengan media. Meskipun seringkali, ketika sudah terkenal mereka sering “jual mahal” pada media yang sebenarnya pernah membesarkan dirinya. Inul Daratista (si ratu ngebor) bisa terkenal bukan karena iklan tetapi karena publikasi media massa pula.
The extension of man juga bisa diganti dengan kata-katanya the extension of political party (perluasan parpol/kepanjangtanganan parpol). Bagi parpol, media bisa dijadikan sarana untuk sosialisasi program. Artinya, di satu sisi di tangan medialah parpol bisa besar dan dipersepsi baik oleh masyarakat, di sisi yang lain di tangan medialah citra parpol di mata masyarakat bisa hancur.

Pendapat ini tentu mudah dimengerti. Masalahnya, selama ini citra parpol kita sedemikian buruknya. Parpol belum menjadi alat penyalur aspirasi rakyat. Sebagaimana kita tahu, parpol mempunyai beberapa fungsi pokok yakni sosialisasi politik, rekruitmen politik, komunikasi politik, pengatur konflik, partisipasi politik dan kontrol politik. Beberapa fungsi itu belum maksimal, untuk tak mengatakan tidak berfungsi sama sekali. Bahkan kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing parpol lebih kelihatan dari pada fungsi ideal di atas.

Buruknya citra negatif parpol disebabkan pula oleh media. Ini tak lain karena kegiatan yang dikeluarkan/dilakukan parpol memang menimbulkan persepsi negatif media massa. Misalnya, bagaimana kepentingan parpol nyata kelihatan ketika pemilihan kepala daerah. Bagaimana politik uang (money politics) tidak tanggung-tanggung dilakukan untuk meriah ambisinya.

Citra negatif yang dimunculkan parpol pada masyarakat tersebutlah yang tentu akan menjadi bahan dasar wartawan menulis berita. Bagaimana mungkin wartawan akan menulis berita yang baik tentang parpol kalau kenyataannya berita yang disajikan adalah yang negatif-negatif? Inilah yang perlu disadari oleh masing-masing parpol dalam menyongsong Pemilu 2004, khususnya yang berhubungan untuk membangun citra.
Itu pulalah kenapa pertemuan pimpinan parpol di Malang Post menjadi sangat penting untuk dilakukan. Paling tidak, akan tercipta hubungan yang baik antara parpol dengan media. Lebih dari itu, karena Malang Post sangat berbaik hati menyediakan rubrik “Pemilu 2004”. Jadi, masing-masing parpol bisa memanfaatkan rubrik tersebut untuk sosialisasi program. Ini tentu menjadi bentuk kepedulian media terhadap parpol. Sebab bisa saja, Malang Post tak menyediakan rubrik tersebut, toh itu pilihannya.

Bahkan bisa dikatakan, di era yang jenuh media saat ini, siapa yang menguasai media dialah yang akan menang. Jika parpol tidak bisa memenangkan pertempuran ini, dia tidak akan bisa memenangkan “pemilih”. Kepentingan ini bukan untuk kepentingan sesaat saja, tapi untuk kepentingan jangka panjang. Meskipun kita akui, proses pemilihan partai politik masih berdasarkan ikatan emosional, tetapi lambat atau cepat kita akan mengarah pada pemilih rasional. Sebab, dunia ini maju ke depan dan tidak surut ke belakang.

Ini semua akan membawa konsekuensi positif bagi parpol tidak saja dari publisitas media, tetapi kecerdasan dalam memilih program-programnya. Jika parpol ingin dicitrakan secara baik, tentu parpol harus cerdas memilih program yang baik. Tetapi jangan lupa pula, masyarakat kita tidak serta merta percaya begitu saja tentang program parpol. Di mata masyarakat, parpol masih dicitrakan sebagai kelompok kepentingan, bukan kelompok penyalur aspirasi masyarakat.

Lakukanlah program-program yang cerdas, bukan untuk menarik simpati masyarakat tetapi untuk menarik perhatian media sebelum kebosanan masyarakat akan perilaku parpol kian memuncak. Publisitas media yang baik dan gencar berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pemilih. (pernah dipublikasikan harian Malang Post, 24 Desember 2003)
Readmore »»

Twitter

Blog Archive

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics